Anak Penyintas Kekerasan Seksual di Sukabumi Bercita-cita Ingin Jadi Dokter
Penulis :
Humas Balai Anak Handayani Jakarta
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Intan Qonita N
JAKARTA (2 April 2021) - Di Amerika Serikat, bulan April ditetapkan sebagai Bulan Kesadaran Kekerasan Seksual (Sexual Assault Awarness Month). Hal ini didedikasikan untuk kampanye menghentikan kekerasan seksual dan memberikan awareness kepada korban bahwa selalu ada bantuan yang dapat mereka akses. Selama ini, banyak korban kekerasan seksual enggan meminta bantuan atau melapor karena stigma negatif yang selalu dekat dengan korban.
Jasmin (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu penyintas yang melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Sejak kecil, ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Hal ini pula lah yang membuatnya enggan melapor karena diancam akan ditelantarkan.
Butuh waktu enam tahun bagi anak berusia 12 tahun ini untuk menceritakan kejadian traumatis itu kepada teman terdekatnya. Cerita ini lah yang kemudian berujung pada laporan kepolisian yang mengakibatkan ayahnya ditangkap.
Jasmin dirujuk oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Satuan Bakti Pekerja Sosial Sukabumi ke Balai Anak "Handayani" pada tanggal 8 Oktober 2020. Pekerja Sosial yang menangani Jasmin di Balai, Sri Musfiah mengatakan ia terlihat cemas dan takut saat pertama kali datang.
"Dia terlihat cemas dan takut, juga tidak berani menatap lawan bicara. Namun kami terus berusaha membangun kepercayaan dan relasi agar anak merasa nyaman," ujar Sri.
Di Balai Anak "Handayani", Jasmin mendapatkan program rehabilitasi sosial yang komprehensif, seperti pemenuhan kebutuhan layak, perawatan kesehatan, pemeriksaan dan konseling psikologis, terapi psikososial, terapi mental spiritual, serta akses pendidikan.
"Kami mengupayakan agar Jasmin tetap bisa sekolah. Selama di balai dia terdaftar sebagai siswa Kelas 5 di SLB E Handayani," ungkap Sri.
Jasmin memiliki motivasi yang kuat untuk belajar. Ia bercita-cita ingin jadi dokter agar bisa membantu banyak orang.
"Anak nya ingin jadi dokter. Makanya dia selalu semangat ke sekolah. Selain itu, dia juga tertarik dengan seni lukis," tambah Sri.
Selama kurang lebih 6 bulan menjalani rehabilitasi sosial, Jasmin telah menunjukkan perkembangan psikologis, relasi sosial, dan perilaku yang baik dan stabil sesuai dengan perkembangannya. Jasmin juga menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang baik, terlihat dari bagaimana ia bisa menatap lawan bicara dan tersenyum saat berbicara. Ia juga mulai menunjukkan perilaku asertif dengan mampu mengungkapkan pendapatnya.
"Kondisinya saat ini sudah stabil, memang ada masa-masa sulit saat dia diminta untuk jadi saksi atas sidang ayahnya bulan Januari lalu. Namun dia tetap kuat dan bisa menjalani sidang dengan baik. Maka dari itu kami berani melakukan reintegrasi," jelas Sri.
Balai Anak" Handayani" telah menggelar _case conference_ terkait reintegrasi Jasmin pada tanggal 23 Maret 2021. Case conference ini dihadiri Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak, Ketua P2TP2A Kabupaten Sukabumi, Dinas Sosial Kabupaten Sukabumi, Dinas Sosial Kabupaten Cianjur, Sakti Peksos Sukabumi dan Cianjur. Dari CC tersebut, disepakati bahwa Jasmin direintegrasi ke salah satu Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) di Cianjur.
Keputusan ini diambil karena lokasi LKSA dekat dengan keluarganya yang saat ini berada di Cianjur. Anak tidak langsung di reintegrasi ke keluarga karena belum terjalin kelekatan akibat sudah 7 tahun berpisah. Namun penempatan di LKSA hanya bersifat sementara hingga nanti anak dapat direintegrasi kepada keluarga.
Kepala Balai Anak Handayani, Hasrifah Musa mengatakan bahwa pihak nya sangat konsen terhadap korban dan penyintas kekerasan seksual.
"Kasus anak korban kekerasan seksual adalah salah satu kasus yg lumayan banyak kami tangani. Persoalan nya itu rata-rata hampir sama, yaitu pelaku nya adalah orang terdekat," ucap Hasrifah.
Menurutnya, pelaku memanfaatkan relasi kuasa untuk melakukan tindakan keji kepada korban. Relasi kuasa dalam kekerasan seksual adalah unsur kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban.
"Orang yang memiliki kekuasaan, dalam hal ini adalah pelaku, dapat melakukan tindakan kepada kelompok yang berada di bawah nya. Misalnya ayah kepada anak, atau orang dewasa kepada anak. Jenjang kekuasaan ini lah yang menjadi dasar kejahatan seksual," paparnya.
Selanjutnya, Hasrifah menyayangkan budaya victim blaming dan stigma negatif yang masih lekat di Indonesia. Hal ini mengakibatkan banyak korban tidak mau melapor dan meminta bantuan karena takut akan disalahkan dan menjadi aib keluarga.
"Stigma negatif itu masih sangat kentara, dan ini yang ditakutkan korban. Ini saya dapat dari laporan teman-teman yang melakukan konseling online untuk anak-anak yang mengalami depresi. Hampir semua disebabkan oleh kekerasan seksual. Mereka tidak berani lapor. Ada yang sudah lapor tetapi kecewa karena merasa disalahkan," ungkapnya.
Terakhir, Hasrifah mengungkapkan bahwa korban harus diberikan dukungan dan dijauhkan dari stigma negatif. Kesadaran masyarakat mengenai isu ini harus ditingkatkan. Balai Anak Handayani terus mengupayakan hal ini, salah satu nya dengan membuka konseling online dan tindakan pencegahan melalui kegiatan Peksos Goes to School (PGTS).
نشر :