Bantu Anak Korban "Child Grooming" Sentra Darma Guna Kemensos Berikan Terapi Psikososial

Bantu Anak Korban "Child Grooming" Sentra Darma Guna Kemensos Berikan Terapi Psikososial
Penulis :
Rizka Surya Ananda
Penerjemah :
Intan Qonita N
Editor :
Karlina Irsalyana

REJANG LEBONG (11 MARET 2023) – Secercah rasa lega terlukis di wajah D (15). Akhirnya, setelah menjalani rehabilitasi sosial di Sentra Dharma Guna di Bengkulu selama 10 hari, ia bisa pulang ke rumah. Meskipun lega, di hatinya masih ada getir, peristiwa memilukan itu masih terpikir.

D mengalami kekerasan seksual oleh oknum kepala sekolah dan juga ayah tirinya. Pemberitaan tentang kasusnya menjadi ramai hingga terpantau Menteri Sosial Tri Rismaharini.

“Atas arahan Ibu Mensos, kami langsung merespon cepat masalah sosial yang terjadi di masyarakat, termasuk kasus yang dialami D,” kata Kepala Sentra Dharma Guna di Bengkulu Syam Wuryani saat dihubungi via telpon pada Kamis (9/3).

Sejak kasusnya mencuat pada akhir februari lalu, Kemensos melalui Sentra Dharma Guna di Bengkulu langsung menurunkan tim untuk menangani kasus D. Bersama dengan stake holder lain, Kemensos mendampingi D menjalani BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di kantor polisi. Tim juga melakukan asesmen mendalam mengenai kronologis kejadian. Mirisnya, tim menemukan kenyataan yang mencengangkan. 

“Awalnya yang dilaporkan itu adalah oknum kepala sekolah. Namun setelah kita asesmen lebih dalam, ternyata sebelumnya anak mendapatkan kekerasan seksual dari ayah tirinya selama lebih dari satu tahun,” ujar wanita yang akrab disapa Yani ini.

Menurut Yani, D sudah pernah melaporkan kekerasan seksual oleh ayah tirinya kepada sang ibu. Namun alih-alih dukungan yang didapat, ia malah dimarahi. Rasa tidak dipercaya itu pun kemudian membuatnya mengubur rapat-rapat kejadian traumatis yang dialaminya.

“Saat kami tanyai, ibu nya masih bilang enggak lihat. Tapi anehnya dia nangis. Dari situ lah kami dorong hingga akhirnya mau mengakui,” ujar Yani.

Proses memberikan edukasi kepada keluarga mengenai pentingnya melaporkan aksi kekerasan seksual adalah hal yang sulit. Diakui Yani, pihaknya harus melakukan penguatan beberapa kali agar keluarga D yaitu Ibu, Kakek, dan Neneknya mau berbicara. Kesulitan ini dikarenakan kuatnya relasi kuasa antara ayah tiri dan ibu kandung D. Ibu kandung D mengaku ketakutan karena mendapatkan ancaman serius dari suaminya. Selama pernikahan, ayah tiri pun membatasi sosialisasi ibunya dengan masyarakat.

“Alhamdulillah, atas dorongan tim, keluarganya mau melapor. Sekarang ayah tiri sudah ditahan dan proses hukumnya sedang berjalan,” kata Yani.

Sebelumnya, Kemensos bersama Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), polsek setempat  dan keluarga sepakat untuk membawa D ke Sentra Dharma Guna di Bengkulu. Langkah ini diambil untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada D. 

Remaja yang masih duduk di bangku SMP itu menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan fisik dan mental yang difasilitasi oleh Kemensos. D menjalani tes hemoglobin, HIV, sifilis, dan hepatitis yang semuanya menunjukan hasil negatif. Selain itu, ia juga dibawa ke psikiater dan psikolog klinis untuk mengetahui kondisi mentalnya.

Selama di Sentra, D mendapatkan terapi dan konseling secara rutin dari pekerja sosial dan psikolog. Sentra bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Bengkulu dalam menangani D. Salah satu bentuk penanganan adalah  recreational therapy  yang bertujuan untuk mengurangi perasaan tertekan yang dialaminya sekaligus menanamkan nilai-nilai positif. D diajak berbelanja perlengkapan sekolah dan bermain di lokasi wisata, sembari pekerja sosial dan psikolog melakukan konseling ringan dan memberikan penguatan positif. 

Sentra juga mengadvokasi sekolah agar D bisa tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar dan memastikan tidak ada stigma yang diterimanya di sekolah. Kemensos juga berkoordinasi dengan dinas sosial dan perangkat desa setempat agar memastikan D tidak menjadi korban stigma di lingkungannya.

Sentra akhirnya memutuskan memulangkan D ke keluarga mengingat situasi di rumah dianggap sudah kondusif karena ayah tirinya sudah ditangkap. Pendidikan D juga menjadi pertimbangan. Selain itu, kondisi psikisnya juga sudah menunjukkan kemajuan.

“Saat dibawa ke sentra, dia terlihat murung. Sedih, sering nangis karena merasa diperlakukan kasar oleh ayah tirinya. Alhamdulillah setelah beberapa hari di sini (Sentra), anaknya mulai ceria. Bahkan bisa bercanda sama peksos,” kata Yani.

Selain dukungan moril, Kemensos juga memberikan dukungan materil yaitu Bantuan Assitensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) berupa pemenuhan nutrisi, alat kebersihan diri, perlengkapan sekolah dan ibadah, boneka dan pakaian harian.

Sementara itu, Yani mengungkapkan Kemensos akan terus mengawal kasus D hingga tuntas. “Kami dorong ke Polres dan Kajari agar dua pelaku bisa dihukum maksimal. Kalau bisa ditambah sepertiga,” ujarnya.

Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 jo. UU No. 35 tahun 2014 jo. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual pada anak dapat dipidana penjara maksimal 15 tahun.

Namun, apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Dikatakan Yani, pelaku harus dihukum berat karena dampak serius yang dialami anak. D mengalami trauma dan masalah kepercayaan diri akibat tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh orang yang seharusnya memberikan perlindungan kepadanya. 

Korban Child Grooming

Kasus D berawal dari laporan keluarganya terhadap oknum kepala sekolah. Ibunya curiga karena D sering bertukar pesan tidak senonoh dengan pria dewasa melalui sosial media. 

Selanjutnya D terjerumus menjadi korban kekerasan seksual oleh pelaku. Fenomena ini disebut Child Grooming. Yakni jenis kejahatan seksual siber yang menyasar anak dengan cara membangun kedekatan emosional agar anak bersedia melakukan aktivitas seksual. Salah satu caranya dengan memberikan perhatian, hadiah, barang atau uang sehingga pelaku mendapatkan kepercayaan dari korban.

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kanya Eka Santi mengatakan Child Grooming adalah bentuk ekspolitasi pada anak.  Menurutnya, orang dewasa pelaku child groming memengaruhi dan membujuk anak sehingga anak tidak sadar bahwa ia sedang dimanfaatkan. Tingkat berpikir kritis anak di bawah umur tidak bisa disejajarkan dengan orang dewasa. Oleh karena itu, dikatakan Kanya, child grooming adalah bentuk kekerasan kepada anak.

“Yang harus kita selesaikan adalah dari orang dewasa nya itu sendiri. Orang-orang dewasa seperti ini termasuk pelaku kejahatan terhadap anak. Pemanfaatan anak untuk berbagai kepentingan pribadi atau bahkan untuk kepentingan kepentingan seksual yang akan merugikan masa depan anak sehingga kejahatan ini harus diberantas,” jelasnya.

Selanjutnya, Kanya meminta agar para orangtua untuk mengawasi anak, terutama anak-anak yang berada pada usia remaja awal. “Sejak kelas 5 ke 6 (SD) kemudian masuk SMP. Biasanya pada masa ini, anak mempunyai idola-idola tertentu. Misalnya anak perempuan ke guru laki-laki atau sebaliknya. Hal ini kemudian juga bisa dimanfaatkan oleh oknum guru yang tidak bertanggung jawab,” jelasnya.

Kanya menerangkan bahwa rasa kagum dapat berkembang menjadi kedekatan. Dalam beberapa kasus, kedekatan kemudian berubah menjadi ancaman-ancaman. Menurutnya, dengan relasi kuasa yang tidak seimbang maka anak kemudian cenderung menjadi patuh. *

Biro Hubungan Masyarakat
Kementerian Sosial RI 

نشر :