Penulis :
Humas Ditjen Rehabilitasi Sosial
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Karlina Irsalyana
JAKARTA (30 Juli 2021) - Kementerian Sosial menjadi salah satu Kementerian yang hadir dalam Talkshow "Meningkatkan Sinergitas Layanan Terpadu untuk Melindungi dan Memenuhi Hak-hak Korban dan Saksi TPPO" dalam acara puncak Hari Dunia Anti Perdagangan Orang.
Dalam talkshow ini, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial diwakili Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial & Korban Perdagangan Orang, Waskito Budi Kusumo menyampaikan beberapa upaya yang dilakukan Kementerian Sosial dalam memenuhi hak korban dan saksi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sebagai informasi, laporan lima tahunan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) pada tahun 2015-2019 menunjukkan, terdapat 2.648 korban perdagangan orang yang terdiri dari 2.319 perempuan dan 329 laki-laki.
"Angka ini menunjukkan kasus TPPO semakin meningkat dan perempuan banyak yang menjadi korbannya, apalagi dimasa pandemi Covid-19. Seperti yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Bintang, ini adalah kejahatan yang luar biasa," ungkap Fatma Ayu Husnasari, presenter Metro TV yang menjadi Moderator dalam Talkshow.
Waskito juga membenarkan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga yang menyebutkan bahwa TPPO merupakan kejahatan yang luar biasa, bahkan menjadi kejahatan yang sangat sulit untuk dihapuskan karena hampir semua negara mengalami dampaknya. Untuk itu perlu upaya bersama dalam menghapuskan TPPO.
Kementerian Sosial berupaya memenuhi hak korban dan saksi TPPO dengan layanan rehabilitasi sosial. Di tahun 2021, Kementerian Sosial telah merubah paradigma layanan menjadi multifungsi.
Kementerian Sosial memiliki balai-balai rehabilitasi sosial yang semula memberikan layanan berdasarkan klaster rehabilitasi sosial, misal balai anak hanya menangani permasalahan anak, begitu juga dengan lansia, penyandang disabilitas, korban penyalahgunaan Napza serta tuna sosial dan korban perdagangan orang.
Namun kini perubahan paradigma layanan menjadi multifungsi membuat 41 balai rehabilitasi sosial harus bisa melayani semua klaster rehabilitasi sosial, salah satunya menangani korban perdagangan orang. "Jadi jika semula korban dan saksi TPPO hanya bisa dilayani oleh Balai Mulya Jaya di Jakarta dan 2 Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) di Jakarta dan Tanjung Pinang, sekarang bisa dilayani di 41 balai di seluruh Indonesia", jelas Waskito.
Ini menandakan pemberian layanan akan semakin luas jangkauannya dan bisa direspon cepat. Layanan rehabilitasi sosial yang diberikan melalui program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) mengedepankan kebutuhan dari korban atau saksi yang diistilahkan dengan Penerima Manfaat.
Layanan ATENSI ini berbasis keluarga, komunitas dan/atau residensial (balai). Sebanyak 7 komponen ATENSI yang dapat diberikan kepada Penerima Manfaat, yaitu dukungan pemenuhan hidup layak, perawatan pengasuhan, dukungan keluarga, terapi (fisik, psikososial, mental dan spiritual), pelatihan keterampilan/kewirausahaan, bantuan asistensi sosial, dan dukungan aksesabilitas.
Penentuan basis layanan dan komponen layanan bagi Penerima Manfaat adalah melalui asesmen komprehensif yang dilakukan oleh Pekerja Sosial yang ada di Balai.
Sebagai bekal keterampilan, Kementerian Sosial juga telah menyiapkan wadah untuk melatih para penerima manfaat, khususnya dalam berwirausaha, yaitu Sentra Kreasi ATENSI (SKA). Di SKA terdapat berbagai macam usaha, mulai dari kuliner, kerajinan tangan hingga jasa yang bisa digeluti oleh Penerima Manfaat.
"Sentra Kreasi ATENSI ini bisa mengembangkan minat dan bakat Penerima Manfaat sehingga ketika mereka pulang ke daerahnya, mereka punya bekal keterampilan untuk usaha dan mandiri secara sosial dan ekonomi," tambah Waskito.
Waskito juga menambahkan bahwa Kementerian Sosial memiliki sumberdaya manusia yang siap melakukan respon cepat di lapangan, yaitu ada Pekerja sosial, Penyuluh Sosial, Pendamping Rehsos, Tagana dan Tim Reaksi Cepat (TRC). SDM ini akan bersinergi di lapangan, paling tidak di tingkat daerah untuk bisa menjangkau berbagai masalah sosial.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dan melakukan langkah penanganan TPPO, salah satunya adalah pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO yang salah satunya mengamanatkan pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GTPP-TPPO).
"Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 32 Gugus Tugas Provinsi dan 245 Gugus Tugas Kabupaten/Kota. Berbagai upaya pencegahan terjadinya TPPO terus dilakukan baik melalui sosialisasi, edukasi, literasi dan penyadaran sosial agar masyarakat tidak menjadi korban,” tutur Femmy.
Talkshow ini dihadiri oleh anggota GTPP-TPPO di pusat maupun daerah, Kementerian/Lembaga terkait, organisasi dan komunitas pemerhati TPPO, media dan masyarakat umum.
نشر :