Ketika Mensos Risma Menawarkan Solusi Berdasarkan Tradisi Suku Anak Dalam
Penulis :
Rizka Surya Ananda
Penerjemah :
Karlina Irsalyana
BATANGHARI (21 Agustus 2024) - Anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) di pedalaman Desa Hajran, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Rabu (20/8/2024) siang itu sedang sibuk. Di antara pepohonan kelapa sawit, mereka dengan riang mengikuti arahan petugas dari Kementerian Sosial yang mengajak mereka bermain dan bernyanyi. Satu per satu anak diberi bendera merah putih. Beberapa alat permainan pun dikeluarkan. Anak Rimba, sebutan lain bagi SAD, sudah ada yang berpakaian lengkap, namun ada juga yang belum, terutama anak perempuan. Staf Kemensos pun bergegas memasangkan pakaian, dan mereka pun senang.
Suku Anak Dalam memiliki bahasa khas yang digunakan dalam berkomunikasi intra komunitas, termasuk anak-anak. Namun, jangan salah, Anak Rimba tidak kesulitan saat diajarkan bernyanyi. Ada beberapa lagu yang diajarkan, seperti “satu-satu, aku sayang ibu.” Liriknya diganti menjadi “satu-satu, sayang ibu menteri.” Mereka bersemangat, meminta latihan berkali-kali agar tidak salah. Usaha mereka pun membuahkan hasil ketika Menteri Sosial Tri Rismaharini terkesan saat mereka tampil.
Di hadapan Mensos Risma, anak-anak Suku Anak Dalam unjuk kebolehan. Dengan antusias, mereka menjawab berbagai pertanyaan. “Ini huruf apa?” tanya Mensos Risma sembari menunjuk huruf C, yang dijawab benar oleh seorang anak bernama Arga. Interaksi pun berlanjut. Mensos Risma sangat terkesan dengan kecerdasan Arga yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar. Di hadapan Mensos Risma, Arga bilang ingin jadi tentara. Kecerdasan Arga bukan tanpa alasan. Dari belasan anak di Kelompok Tumenggung Ngalembo dan Tumenggung Ngalembu, hanya dua anak yang bersekolah, salah satunya Arga.
Selain isu sosial, isu pendidikan dan kesehatan anak juga menjadi perhatian khusus Mensos Risma. Anak-anak Suku Anak Dalam tidak sekolah atau putus sekolah karena harus pindah mengikuti orang tua yang pergi “melangun.” Melangun adalah tradisi berpindah tempat karena kedukaan, biasanya karena ada anggota kelompok yang meninggal dunia. Saat melangun, anak-anak tinggal bersama orang tua di hutan atau di perkebunan kelapa sawit. Hanya ada terpal yang menjadi atap, tidak ada alas tidur, apalagi bantal atau kasur.
Melangun adalah tradisi. Jika tidak melangun, bukan orang Rimba namanya. Saat dialog dengan sejumlah tumenggung (kepala suku adat Suku Anak Dalam), Mensos beberapa kali terlihat dilema. Sebab, beberapa usulan bantuan tidak diterima. Alasannya lagi-lagi karena harus melangun. Namun Mensos Risma tidak menyerah. “Kalau harus berpindah terus, kasihan anak-anak. Mereka harus sekolah dan kesehatan mereka harus diperhatikan,” kata Mensos Risma membujuk para tumenggung. Para tumenggung pada dasarnya menyadari bahwa hak anak harus dipenuhi. Namun warisan leluhur mereka juga patut dihormati. Mereka menyampaikan apresiasi atas bantuan pemerintah, namun khawatir bantuan seperti pemukiman tetap itu tidak akan terpakai sehingga merugikan negara.
Setelah beberapa lama bertukar pikiran, akhirnya Mensos Risma dan para tumenggung sampai pada satu kesepakatan. Mensos Risma menawarkan konsep pembangunan pemukiman di dalam satu kawasan. Pemerintah akan membangun beberapa pemukiman sebagai tujuan melangun. Sebagai ilustrasi, akan dibangun empat pemukiman dalam satu kawasan. Para warga Suku Anak Dalam bisa melangun dari pemukiman 1 ke pemukiman 2, selanjutnya ke pemukiman 3 dan 4. Adanya pemukiman tetap akan memudahkan penyaluran bantuan oleh pemerintah daerah maupun pusat. Pada tiap pemukiman nanti, akan dibangun fasilitas pendidikan dan kesehatan. Tujuannya agar anak-anak bisa sekolah dan kesehatan mereka terjamin.
Selama ini, penyaluran bantuan mengalami kendala karena Suku Anak Dalam sulit ditemui akibat sering berpindah tempat. Mensos Risma berjanji akan mengikuti saran dan masukan para tumenggung dalam pembangunan kawasan nantinya. “Bangunannya akan kita buat dengan papan yang memiliki celah, jadi angin bisa masuk. Atapnya juga dari rumbia, sehingga kesan hutannya masih terasa,” ujar Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto, yang ikut mendampingi Mensos Risma. Penanganan komunitas adat terpencil (KAT) memang memiliki tantangan unik, namun bukan berarti pemerintah tidak bertindak. Dialog Mensos Risma dengan para tumenggung adalah bentuk praktek baik di mana penerima bantuan menjadi “subjek.” Mereka berperan dalam pembangunan yang juga akan mereka rasakan sendiri manfaatnya. Bersama masyarakat adat, Mensos Risma menawarkan solusi sekaligus menghormati tradisi.
نشر :