Penulis :
Abd. Rahman Hamid (Koordinator Wilayah PKH Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah)
Editor :
Annisa YH
“Every man his own historian”, demikian satu ungkapan mengenai pentingnya menulis sejarah. Bertepatan dengan 75 tahun lahirnya Pancasila, pada hari ini, Program Keluarga Harapan (PKH) di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah genap berusia satu dekade (1 Juni 2010 - 1 Juni 2020).
Begini Awalnya
Ketika melamar pekerjaan ini (Maret, 2010), saya memilih wilayah tugas untuk Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana informasi yang diumumkan. Namun, entah mengapa, pada saat wawancara, yang pesertanya berjumlah 16 orang, jika tidak salah ingat, kami diminta memilih satu atau dua provinsi sekaligus. Tentu ini bukan pilihan mudah.
Saya pikir ini adalah tantangan yang harus dipilih dan mengandung nilai strategis dalam suatu kompetisi. Lantas, saya memilih dua provinsi, sesuai tawaran tim penguji (Oetami Dewi, Buyung Rochim, dan Moch. Aswad). Ternyata, tidak cukup hanya memilih, kami harus memberikan alasan yang logis. Setiap peserta mengajukan alasan untuk bisa meyakinkan penguji. Pengalaman dalam bidang yang relevan, pekerja sosial atau tenaga ahli, misalnya, sudah tentu menjadi pertimbangan penting.
Ketika tiba giliran menjawab, saya berkata, “Saya adalah pendatang baru di dunia sosial”. Ini pertama kalinya keluar dari kelas (pengajaran). Selama ini, setelah lulus sarjana (2004), saya mengajar sebagai dosen Luar Biasa (LB) pada Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar (2005-2009) dan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin (2010), serta pengajar Mata Pelajaran IPS-Sejarah pada Bimbingan Belajar Ganesha Operation cabang Makassar (2004-2007).
“Apa yang menarik dari pengalaman Anda yang bisa membuat kami yakin bahwa Anda layak untuk posisi ini, termasuk pilihan dua provinsi di luar rencana pertama?” Begitulah kira-kira pertanyaan dari penguji.
Tanpa basa-basi, saya menyampaikan pengalaman kuliah ketika proses penelitian tugas akhir (skripsi dan tesis). “Semua lokasi riset saya, tidak pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya hanya mengetahuinya lewat bacaan”. Setelah itu, saya mulai bercerita, layaknya pengajar menyampaikan kuliah di kelas kuliah.
Tahun 2004, saya riset (skripsi) di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, tentang gerakan DI/TII, suatu tema yang agak sensitif kala itu, karena menyangkut kisah kelam masyarakat pada masa itu. Tak jarang, orang yang saya temui berkata, “Saya tidak tahu”. Namun, dengan pendekatan tertentu, pada akhirnya, mereka bersedia menceritakan pengalamannya kepada saya. Hal itu juga saya alami saat riset kedua (tesis) di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada tahun 2007, mengenai pelayaran masyarakat Buton. Bagian dari riset terakhir juga agak sensitif, karena menyangkut pengalaman pelaut melintasi “batas negara” ke Singapura, Tawau (Malaysia), dan Tawao (Filipina). Saya mencoba meyakinkan para pelaku sejarah bahwa informasi yang saya butuhkan murni adalah untuk kepentingan akademik agar saya bisa menyelesaikan pendidikan, seperti apabila (ada) anak mereka mengenyam bangku perkuliahan. Alasan tersebut adalah alasan yang kerap saya gunakan. Alhamdulillah, alasan tersebut mampu membuat informan saya yakin dan bersedia menceritakannya kepada saya.
Saya tidak tahu, apakah jawaban itu memenuhi harapan para penguji. Jika kegiatan tersebut bisa saya lakukan dengan dana sendiri dan waktu yang terbatas, serta tanpa pengetahuan mendalam mengenai lokasi, maka tentu akan berbeda dengan tugas saya kelak di sini, jika dinyatakan lulus. Saya akan diperjalankan oleh pemerintah dengan biaya dan waktu yang tersedia. Lagi pula, jelas dengan siapa nanti saya akan bertemu di setiap daerah ketika bertugas. Kira-kira jawaban saya itu menunjukan tantangan dan cara mengatasinya, berikut pendekatan yang digunakan di lapangan.
Saya juga tidak mengerti, entah mengapa, seorang penguji yang tampak ‘garang’ dengan pertanyaan-pertanyaan ‘menjebak’ berkata, “Dalam pekerjaan ini dibutuhkan kemampuan menulis untuk membuat laporan kinerja”. Kemudian, saya diminta menjelaskan relevansi pengalaman saya dengan hal itu. Pertanyaan ini, tampaknya, sangat menguntungkan bagi saya. Pada hari itu, tulisan saya dimuat di Harian Fajar (1/4/2010) dengan judul “Runtuhnya Teori Balapan”. Sudah lebih dari satu minggu saya mengirim tulisan itu kepada redaksi. Biasanya, jika isunya menarik, tulisan akan terbit dalam dua atau tiga hari. Alhamdulilah, tulisan itu terbit di saat yang tepat. Seorang penguji, lantas meminta panitia mengambil Harian Fajar untuk mengeceknya, dan benar saja, tulisan saya ada di sana.
Saya sendiri tidak mengerti apa korelasinya dengan tes hari itu, kini giliran penguji lain mengajukan pertanyaan. Kali ini mengenai sebuah buku yang (sengaja) saya selipkan dalam berkas lamaran atas saran ketua panitia, yang tak lain ialah Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos) Dinas Sosial Provinsi Sulsel, Syakhruddin DN, tiga hari sebelum ujian (29 Maret 2010). Buku itu berjudul “Qahhar Mudzakkar di Persimpangan Jalan?” Lantas, penguji pun bertanya mengenai isi buku itu. Tentu saya tidak merasa kesulitan menjawabnya karena buku itu berasal dari tugas akhir pertama (skripsi) saya. Saya merasa suasana tempat wawancara seketika berubah seperti suasana ujian skripsi. “Bagaimana penilaian Anda mengenai Qahhar Mudzakkar?”, begitu kira-kira salah satu bentuk pertanyaannya. Saya menjawab dengan penuh semangat, disertai keterangan sumber sejarah yang saya gunakan. Menjelang akhir sesi wawancara, kembali saya mendapat pertanyaan mengenai isu di luar alur tugas yang akan saya emban jika kelak lulus. Saya mulai menduga-duga bahwa mungkin saya tidak layak untuk melakoni pekerjaan ini. Namun, dalam hati saya berkata, “Sudahlah, yang penting saya sudah menjawab. Soal relevasinya, biarlah penguji yang memutuskan”.
Di antara pertanyaan yang paling sulit dijawab, menurut saya, adalah terkait jumlah honor atau gaji yang diminta dari pekerjaan yang tengah saya lamar. Berbeda dengan peserta lain yang mayoritas sudah berpengalaman dan memiliki standar honor yang lumayan (tinggi), honor saya sebagai dosen LB di kampus, tidak seberapa, itu pun baru bisa diterima setelah semester berakhir. Para peserta pun menyampaikan nominal masing-masing, yang berkisar antara dua sampai sepuluh juta rupiah. Saya sendiri, selama bekerja, belum pernah mendapat honor bahkan pada nilai terendah dari peserta lain sekalipun. Lalu, bagaimana saya menjawabnya?
Beruntung ada tiga sampai empat orang yang lebih dulu mendapat kesempatan menjawab pertanyaan itu, sehingga saya punya ancang-ancang perkiraan di antara nominal lain yang lebih dulu disampaikan. Namun, hal lain yang sempat membuat saya heran, mungkin juga yang lain, adalah fakta bahwa setiap nominal yang disebut harus disertai penjelasan yang logis dan terukur dalam pandangan penguji. Nah, saat tiba giliran saya untuk mengajukan sebuah angka, saya sertakan pernyataan “Saya akan berupaya bekerja lebih dari nilai itu”, sebagai kalimat pendukung.
Selamat, Anda Lulus!
Kurang dari sebulan, persisnya saya tidak ingat, ketika dalam perjalanan menggunakan moda transportasi kereta api dari Surabaya ke Yogyakarta, saya mendapat pesan singkat (sms) dari nomor yang tidak saya kenal, jelasnya panitia seleksi. Pesan itu berisi “Selamat, Anda terpilih sebagai peserta terbaik dan dinyatakan lulus menjadi koordinator wilayah PKH. Lengkapi berkas Anda dan segera melapor ke Jakarta [Depsos]”.
Setelah membaca pesan itu, saya menghubungi seorang rekan di kampus (Unhas) untuk mempercepat jadwal penerbangan saya dari Yogyakarta ke Makassar. Pada saat itu, saya baru selesai mengikuti pelatihan pengelolaan jurnal terakreditasi di Surabaya yang diselenggakan oleh DIKTI, kemudian menambah waktu untuk travelling ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, saya menginap di kediaman Bung M. Nursam (nakhoda penerbit Ombak, yang saya kenal melalui sejumlah diskusi buku terbitan Ombak. Hanya semalam saya bermalam di sana, lalu bertolak ke Makassar. Esok harinya, saya menuju kampus guna melaporkan hasil pelatihan dan melengkapi dokumen akreditasi jurnal Lensa Budaya Fakultas Sastra Unhas untuk dikirim ke DIKTI. Kemudian, saya baru berangkat ke Jakarta dengan pesawat sehari setelahnya.
Dari Bandara Soekarno-Hatta, saya langsung menuju kantor Departemen Sosial RI di Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat. Setibanya di sana, saya bergegas ke Gedung D, saya tidak ingat persisnya lantai berapa, untuk melapor. Sebelum masuk ke ruangan, saya bertemu dengan dua peserta lain yang lulus dari Kalimantan, yakni Abd. Malik (Kalimantan Barat) dan Yudha (Kalimantan Tengah). Kami sempat bercakap seadanya. Sejak saat itu, Pak Malik menjadi sahabat karib saya selama menjabat sebagai koordinator wilayah (korwil). Pada setiap kesempatan, terutama di luar daerah, kami selalu membuat janji bersama, misalnya, tiba di bandara dalam waktu yang tidak berselang lama, saling menunggu menuju lokasi kegiatan, hingga kerap berbagi kamar jika acara berlangsung dalam hitungan hari.
Di dalam Gedung D, kami diterima oeh dua orang pegawai, Pak Sudarsono dan Ibu Risna Kusumaningrum. Di sana, kami menyampaikan berkas dan bernegosiasi mengenai honor. Tanpa saya duga, pertanyaan paling sulit pada saat seleksi kembali terulang. Sebagai pendatang baru, saya diam (belum menjawab), sambil menunggu jawaban dari dua kawan lainnya. Mereka menyampaikan honor terakhir yang mereka terima dari pekerjaan sebelumnya, disertai bukti pendukung. Sementara saya sendiri masih ragu menyampaikan nominal itu, karena bukti pendukung yang saya miliki jauh dari nilai minimum yang ditawarkan oleh panitia seleksi. Akhirnya, saya menerima standar yang ditawarkan. Saya bersyukur dalam hati, Alhamdulillah, ini adalah honor pertama terbesar yang akan saya terima sejak bekerja pasca studi (Sarjana dan Magister).
Dua dokumen penting telah saya tanda tangani, dan akan dikirimkan ke Makassar setelah ditandatangani oleh Direktur Jaminan Kesejahteraan Sosial, selaku pejabat Pembuat Komitmen, Akifah Elansari, pada saat itu. Dokumen yang dimaksud adalah Surat Perjanjian Kontrak Kerja (SPKK) dan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), tertanggal 1 Juni 2010, sebagai Tenaga Ahli Bidang Koordinator Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (untuk Kota Makassar, Kabupaten Bone, Kabupaten Gowa) dan Provinsi Sulawesi Tengah (untuk Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong). Setelah itu, kami kembali ke daerah masing-masing. Saya pribadi, sebelum pulang ke Makassar, memutuskan menyambangi kerabat saya dulu, Jais Salisu, yang kini menetap di Kota Depok, selama dua hari.
Beberapa minggu sejak menandatangi kontrak kerja, saya belum sampai mendatangi kantor dinas atau bertugas di lapangan, karena masih menunggu Surat Keputusan (SK) dari Jakarta. Beberapa kali saya dihubungi oleh seorang pendamping PKH dari Kota Makassar, bernama Syarifuddin Akbar, yang biasa disebut Rimba. Pihaknya meminta saya untuk bertemu dengan para pendamping PKH. Atas dasar SK yang belum kunjung saya terima, saya belum bisa memenuhi permintaannya. Namun, ia berupaya ‘memaksakan’ pertemuan itu. Hal yang sama pun saya lakukan saat dihubungi Pak Aswad. Dari perbincangan singkat yang kami lakukan, beliau tampak sesosok yang bijaksana dan memiliki segudang pengalaman hidup.
Mulai Bertugas
16 Juni 2010, menjadi kali pertama saya memulai tugas dan mengikuti rapat koordinasi dengan Kepala Dinas Sosial, Ibrahim Saleh, bersama seluruh pendamping (44 orang) dan operator (4 orang) di ruang rapat lantai II Dinas Sosial Kota Makassar. Agenda terakhir dalam rapat itu adalah pemilihan koordinator pendamping tingkat kota. Syahruddin, SE (pendamping Kec. Mariso) menjadi orang terpilih.
Dua belas hari kemudian, saya mengikuti rakor di Kabupaten Bone, bersama Narasumber Pusat Depsos RI (Kanita dan Roebidin) dan Kabid Linjamsos (Syahruddin DN), di The Café Park, Jl. Sambalope Baru. Kegiatan itu diikuti 14 pendamping dan 4 operator. 22 Juli 2010, kegiatan yang sama juga dilakukan di Kabupaten Gowa, bertempat di Aula Karaeng Patingaloang Kantor Bupati Gowa, diikuti 31 pendamping dan 4 operator.
Bulan berikutnya (Juli), saya mengikuti rapat koordinasi pertama PKH tingkat pusat pada 6-7 Juli 2010 di Hotel Sahid Jaya Lippo Cikarang, Kota Bekasi. Perkenalan peserta dipandu oleh Wakil Ketua UPPKH Pusat, Drs. Buyung Rochim, M.Si. Ini menjadi kesempatan pertama saya bertemu dengan seluruh korwil dari provinsi lain, mereka adalah Noldy Mangenkonda (Sulawesi Utara), Abd. Malik (Kalimantan Barat), Yudha (Kalimantan Tengah), Reza (Kalimantan Selatan), Rizal Zulkifli (Yogyakarta), Atoillah (Jawa Barat 1), Muhammad Disson (Jawa Barat 2), Andriansyah (Jakarta dan Banten), R.M. Taufik (Jawa Timur 1), Yudi Haris (Jawa Timur 2), Dodi (Jawa Timur 3), Zulhardi (Sumatera Barat), Ivo Nilasari (Sumatera Utara), Awaluddin (Aceh), Taslim Daeng Muslim (NTT 1), Jakaria Amahala (NTT 2), I Gede Putu Sarjaan (Bali dan NTB). Ini juga jadi momen pertama bertemu dua ‘orangtua’ kami, Moch. Aswad (Koordinator Regional Wilayah Timur) dan Mardi (Koordinator Regional Wilayah Barat). Tak lupa, kami juga berkonsultasi dengan lima pemeriksa laporan kami yakni Tati Nurcahyati, Rohima, Dewi Suhartini, Anna Puspasari, dan Henny Dahniar.
Sepulang dari Bekasi, saya langsung bertugas ke wilayah Sulawesi Tengah, bertepatan dengan pelaksanaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Kota Palu, 20 Juli 2010. Inilah kesempatan pertama bertemu dengan 13 pendamping dan 4 operator di Kabupaten Sigi. Saya tiba di Bandara Mutiara Sis Aljufri Palu pada 16 Juli, lalu dijemput seorang operator, Mardiam. Dengan sepeda motornya, saya diboncengnya menuju sebuah penginapan di Jl. Kartini. Esok harinya, saya mendatangi Dinsos Provinsi Sulteng guna melaporkan kedatangan, kemudian beranjak ke Dinsos Kabupaten Sigi untuk mengikuti rapat koordinasi. Sayangnya, rencana rakor di Kabupaten Parigi Moutong pada 20 Juli harus tertunda, karena saya telah menjadwalkan rakor di Kab. Gowa, sehingga baru terlaksana pada 22 Juli yang diikuti 9 pendamping dan 4 operator.
Untuk mengenalkan program ini, saya menulis artikel yang dimuat pada Harian Radar Sulteng (20/7/2010) dengan judul “Harganas dan Keluarga Harapan” dan Harian Fajar (29/7/2010) berjudul “Harapan Baru Orang Miskin”. Selanjutnya, bertepatan dengan launching PKH di Wilayah Timur, yang bertempat di Hotel Clarion Makassar, 23 November 2010, tulisan saya dimuat di Harian Fajar (23/11/2010) berjudul “PKH dan MDGs”.
Lokasi penerima PKH di Sulsel terus bertambah secara signifikan pada tahun 2010 (Makassar, Gowa, dan Bone), 2010 (Jeneponto), 2013 (Maros, Pangkep, Takalar, Bulukumba, Soppeng, Sidrap, Enrekang, Luwu Utara, Luwu, Palopo, Pare-Pare), 2014 (Bantaeng, Sinjai, Selayar, Pinrang, Luwu Timur, Wajo), dan 2015 (Barru, Toraja, dan Toraja Utara). Selama kurun waktu itu juga, ‘sejuta’ kenangan antara Keluarga Penerima Manfaat (KPM), penyebutan bagi penerima bantuan PKH, dengan Sumber Daya Manusia (SDM)nya (sejak 2011, Sulteng sudah punya korwil sendiri) tersusun rapi dalam bingkai.
Selama satu dekade, telah tercatat enam koordinator wilayah, dengan nama dan waktu tugas masing-masing: Abd. Rahman Hamid (2010-2020), Amirullah (2013-2015), Kasim (2016-2017), Asrullah Syam (2016-2020), Jupri (2019-2020), dan Andi Anugerah (2019-2020). Salah satu korwil, Kasim, kemudian menjadi Koordinator Regional Wilayah Papua dan Papua Barat (2017-2019).
Terus Belajar
Berada di antara para pendamping yang sudah puluhan tahun menggeluti dunia pekerja sosial, tentu bukan suatu hal yang mudah. Mereka sudah berbekal sejuta pengalaman yang memandu mereka menghadapi berbagai situasi pekerjaan di lapangan. Memang, ada juga yang baru memasuki dunia sosial, seperti saya, yang pada umumnya masih fresh graduate. Karena itu, saya harus mampu melihat situasi dari berbagi sisi. Pasalnya, sebagai korwil, tidak ada pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus, seperti yang diikuti oleh para pendamping dan operator. Pada akhirnya, kami (korwil) hanya mampu mengandalkan pengalaman. Saya sendiri, dengan bekal pengalaman mengajar di kampus, berupaya mengelola situasi yang ada, terutama ketika mengikuti rakor.
Selama sepuluh tahun dititipi amanah sebagai korwil, saya banyak belajar dari orang-orang yang saya temui, dengan beragam latar belakang keilmuan, karakter, suku, budaya, dan agama, baik saat berinteraksi dengan para pekerja sosial (pendamping, operator, koordinator) maupun para pegawai pemerintah (daerah dan pusat). Dunia sosial memang penuh dinamika. Semua hal di dalamnya, mendorong saya mampu membaca, memahami, dan memaknai kehidupan. Jangan pernah berhenti belajar, karena hidup pada dasarnya adalah sebuah pembelajaran tiada akhir (long life education), kata ‘orang sana’.
نشر :