Semangat Baja Penerima Manfaat ODHIV Ukir Karya
JAKARTA (1 Desember
2020) – Sejak pelaporan kasus pertamanya di Indonesia pada 1987, kasus HIV/AIDS
saat ini diperkirakan sebanyak 543.075 kasus yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sama seperti kasus kesehatan pada umumnya, HIV/AIDS sering dikaitkan
dengan isu penting, salah satunya adalah rehabilitasi sosial pada Orang dengan
HIV (ODHIV).
Menteri Sosial Juliari
P. Batubara menyatakan bahwa salah satu kebijakan program Kementerian Sosial
saat ini berfokus pada peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia
Penerima Manfaat (PM) melalui program rehabilitasi sosial, dimana salah satu
targetnya adalah ODHIV. Hal ini dibuktikan dengan adanya empat Balai dan Loka
Rehabilitasi Sosial untuk ODHIV yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
AP (43 tahun) adalah
salah satu Penerima Manfaat (PM) ODHIV Balai Rehabilitasi Sosial Orang dengan
HIV (BRSODH) “Bahagia” Medan yang telah menyelesaikan Time Bound
Shelter (layanan rehabilitasi sosial terhadap ODHIV di balai) pada Juni
2019 lalu. Dalam kurun waktu enam bulan di balai, AP merasakan efek positif
yang luar biasa besar.
“Banyak kegiatan yang dilakukan selama berada di balai. Saya tidak pernah
merasa bosan karena dari pagi sampai sore pasti selalu ada acara,” ujar pria yang kini tinggal di Muara Enim,
Sumatra Selatan tersebut.
Salah satu kegiatan
favorit AP adalah memotret objek di alam sekitar. Hobinya dalam bidang
fotografi merupakan salah satu keahlian yang ia pelajari selama menjalani Time
Bound Shelter.
“Saya memilih fotografi karena kagum dengan keindahan alam. Dalam
pelatihan fotografi yang diarahkan oleh instruktur, kami mempelajari
teori-teori fotografi yang kemudian dipraktekkan di dalam ruangan dan luar
ruangan, termasuk luar balai,” jelas AP.
Tak hanya terapi
penghidupan, AP juga rutin menjalani berbagai macam terapi lainnya di Balai “Bahagia” Medan, antara lain terapi fisik, terapi
mental dan spiritual, terapi psikososial, dan terapi seni. Semua kegiatan
tersebut dilaksanakan secara individu maupun berkelompok dan dipandu oleh
pekerja sosial, psikolog atau pemuka agama, berdasarkan spesialisasinya masing-masing.
Sesuai dengan
Peringatan HIV/AIDS sedunia tahun ini yang mengangkat tema ‘Solidaritas Global, Tanggung Jawab Bersama’, dukungan dari keluarga, komunitas, serta
pemerintah melalui pendampingan Balai Rehabilitasi Sosial terhadap ODHIV
diperlukan guna membangun semangat dan daya juang mereka di tengah masyarakat.
“Sejak awal saya open status sebagai ODHIV, seluruh anggota
keluarga maupun teman-teman alumni kampus saya selalu memberikan dukungan yang
ditunjukkan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan mengirimkan
hidangan dari kampung halaman ketika saya berada di balai. Peran istri saya pun
cukup besar karena ia mendukung saya untuk pergi ke Balai “Bahagia” Medan tepat dua minggu setelah kami menikah,” ucap AP penuh syukur.
Dukungan keluarga,
lanjut AP, merupakan penyemangatnya dalam mengembangkan minatnya di bidang
fotografi. Saat ini ia tengah mengumpulkan modal usaha di bidang fotografi,
dimana selama setahun terakhir ia merintis usaha toko parfum refill dan
makanan yang modalnya berasa dari BanTu (Bantuan Bertujuan) Kemensos serta
bantuan dari orang tuanya.
Sama halnya dengan
dukungan keluarga, AP juga merasakan hangatnya dukungan pendamping dan staf
balai selama menjalani Time Bound Shelter. “Meskipun sudah tidak menjadi PM, saya tetap
menjaga tali silaturahmi dengan mereka. Bagi saya, teman-teman di Balai “Bahagia” adalah orang tua sekaligus keluarga kedua
saya di Medan,” kenang AP.
Senada dengan AP,
Maidinse Hutasoit selaku Pekerja Sosial di Balai “Bahagia” Medan menyebutkan bahwa dukungan dan
pendampingan terhadap ODHIV adalah hal krusial.
“Setelah PM menyelesaikan Time Bound Shelter, Balai “Bahagia” Medan tetap melakukan pemantauan terhadap
mereka,” kata perempuan yang
akrab disapa May ini.
Ia menyebut bahwa tidak
hanya mampu berdikari dengan berwirausaha, para PM Balai “Bahagia” Medan yang sudah melakukan terminasi juga
kerap menjadi motivator bagi sesama ODHIV di Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
maupun Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).
Di tengah pandemi
COVID-19 saat ini, Maidinse mengakui bahwa ada sedikit perubahan dalam
pelayanan Balai “Bahagia” Medan, yakni dengan menerapkan sistem daycare
dimana petugas-petugas balai sesuai dengan kompetensi bidang masing-masing
datang ke beberapa LKS untuk melakukan pelayanan dan terapi bagi PM. Akibatnya,
pelayanan balai kurang maksimal karena adanya pembatasan fisik dan durasi
layanan.
“Hal ini tentu berlawanan dengan praktek pekerja sosial yang harus selalu
dekat dengan PM untuk melakukan terapi, konseling maupun memberikan pelayanan
rehabilitasi sosial lainnya,” kata Maidinse.
Gaung Anti Stigma
Terhadap ODHIV di Tengah Pandemi
Sejalan dengan
penetapan pemerintah Indonesia tentang Three Zero (tidak ada lagi
infeksi baru HIV, tidak ada lagi kematian ODHIV akibat AIDS, dan tidak ada lagi
diskriminasi terhadap ODHIV) untuk pengendalian kasus HIV/AIDS pada tahun 2030
mendatang, AP menyampaikan harapannya sebagai ODHIV dalam peringatan HIV/AIDS
sedunia tahun ini.
“Saya berharap Three Zero dapat terwujud secepatnya, terutama Zero
Stigma dimana tidak ada lagi diskriminasi terhadap teman-teman ODHIV.
Pemerintah harus lebih fokus terhadap penghapusan stigma karena selama 30 tahun
kemunculannya di Indonesia, HIV/AIDS masih cenderung dikaitkan dengan
mortalitas dan seks bebas,” kata AP.
Kampanye yang harus
ditekankan oleh pemerintah adalah pelenyapan stigma negatif yang melekat pada
ODHIV. “Hal ini bisa dimulai
dari iklan yang tidak menyudutkan ODHIV. Sebaliknya, iklan seharusnya
menggambarkan ODHIV seperti individual pada umumnya yakni sehat, berpenampilan
menarik serta mampu berprestasi,” terang AP.
Selain itu, tambah AP, total
undetectable viral load (rendahnya atau tidak terdeteksinya jumlah virus
dalam darah) untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia baru sekitar 4,5 persen. Jumlah
ini jauh dari yang diharapkan dalam upaya penghentian penularan HIV melalui
pengobatan ARV (antiretroviral), sehingga perwujudan hakiki nol kematian karena
AIDS pada ODHIV masih membutuhkan waktu yang lama.
“Saya tidak mungkin bisa mengubah status saya sebagai ODHIV karena virus
itu sudah ada di dalam tubuh saya, namun masyarakat dapat mengubah sikap dan
perilaku mereka untuk menerima ODHIV,” ujar AP.
Mengamini harapan AP,
Maidinse menyatakan bahwa edukasi mengenai HIV/AIDS perlu lebih digalakkan
kepada masyarakat.
“PM ODHIV seringkali sudah berada dalam kondisi terpuruk saat memulai Time
Bound Shelter. Padahal, yang mereka butuhkan adalah penguatan dan rangkulan
agar dapat kembali bangkit dari keterpurukan. Hal ini tentu membutuhkan peran
serta dukungan penuh dari keluarga, komunitas dan pemerintah,” pungkasnya.
Biro Hubungan Masyarakat
Kementerian Sosial RI