Pemerintah Tekankan 4 Isu Krusial dalam Pembahasan RUU PB
JAKARTA (7 September 2020) - DPR RI
dan pemerintah sepakat memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Penanggulangan Bencana di tingkat Panitia Kerja (Panja). Melalui Rapat Kerja
Gabungan yang digelar bersama Komisi VIII, hari ini, enam wakil pemerintah
hadir dan menyepakati dimulainya pembahasan di tingkat Panitia Kerja (panja).
Dalam Raker tersebut, Menteri Sosial Juliari
P. Batubara selaku wakil pemerintah menyampaikan empat isu krusial dalam
pembahasan RUU Penanggulangan Bencana. Empat isu krusial tersebut terkait
kelembagaan, anggaran, ketentuan pidana serta peran lembaga dan masyarakat.
“Terkait lembaga, pemerintah memandang
pengaturannya terkait 3 fungsi yakni koordinasi, komando, dan pelaksana.
Terkait nama lembaga, tidak perlu menyebut nama lembaga yang menyelenggarakan
penanggulangan bencana,” kata Mensos Juliari dalam Raker dengan Komisi VIII
(07/09).
Raker dihadiri tiga menteri dan tiga wakil
kementerian. Selain Mensos, hadir pula Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly,
dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putaranto. Hadir pula Dirjen Bina
Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA, Direktur Harmonisasi Peraturan
Penganggaran Dirjen Anggaran Kemenkeu Didik Kusnaini, dan Staf Ahli Bidang
Politik dan Hukum Kementerian PAN-RB Imanuddin.
Dalam Raker dipimpin Ketua Komisi VIII Yandri
Susanto, selanjutnya Mensos menyatakan, adapun pengaturan terkait syarat dan
tata cara pengangkatan kepala lembaga, penjabaran fungsi koordinasi, komando,
dan pelaksana serta tugas, struktur organisasi, dan tata kerja lembaga,
pemerintah berpendapat akan diatur dengan Peraturan Presiden.
“Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
fleksibilitas pengaturan yang memudahkan dalam melakukan perubahan atau
adaptasi sesuai kondisi dan perkembangan kebutuhan tata kelola pemerintahan
yang akan datang,” katanya.
Terkait anggaran, pemerintah berpendapat
pengalokasian anggaran agar tidak dicantumkan persentase secara spesifik,
melainkan cukup diatur secara memadai. “Untuk menghindari adanya “mandatory
spending” yang akan membebani anggaran negara dan untuk memberikan keleluasaan
fiskal,” katanya.
Dalam hubungannya dengan sanksi pidana,
pemerintah mengusulkan untuk tidak menerapkan sanksi pidana minimal baik pidana
penjara maupun pidana denda, melainkan sanksi pidana maksimal. “Sebab, tindak
pidana pada dalam penanganan bencana termasuk dalam kategori kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime),” katanya.
Kemudian terkait, peran lembaga usaha dan
lembaga internasional, pemerintah sepakat untuk menambahkan peran masyarakat.
Dalam praktiknya, selama ini masyarakat berperan aktif membantu Pemerintah.
Sebagai contoh adalah para filantropis yang menyelenggarakan pengumpulan
sumbangan masyarakat untuk membantu penanggulangan bencana.
“Demikian juga peran lembaga sosial, lembaga
keagamaan maupun organisasi sosial. Sehingga peran masyarakat ini perlu
diakomodir dalamnya,” katanya.
RUU tentang Penanggulangan Bencana merupakan
inisiatif DPR RI dan telah disampaikan oleh Ketua DPR RI kepada Presiden dengan
surat Nomor LG/05919/DPR RI/V/2020 tanggal 20 Mei 2020. Pada prinsipnya
Pemerintah sangat mendukung usulan inisiatif DPR RI ini.
Penanganan bencana selama ini diatur dalam UU
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Namun dalam perjalanannya,
dinilai tidak sesuai dan terdapat dinamika tantangan yang belum terakomodir
dalam penyelenggaraan penanggulangan kebencanaan.
Untuk itu perlu ada undang-undang baru
mengenai penanggulangan bencana yang lebih komprehensif. UU baru pengganti UU
No. 24/2007, diharapkan berisikan sistem atau pengaturan penanggulangan bencana
yang lebih terencana dan terpadu.
Biro
Hubungan Masyarakat
Kementerian
Sosial RI