MAKASSAR (11 Oktober 2023) – Ke-13 delegasi dari 9 negara ASEAN, 1 Negara
Observer dari Timor Leste, serta 3 Negara ASEAN Partners yaitu US, UK dan
Australia, disuguhkan rangkaian musik tradisional Indonesia.
Bukan sembarang musik tradisional untuk memeriahkan Gala
Dinner dan Art Perfomance of ASEAN High-Level Forum (AHLF)
di bawah langit cerah Fort Rotterdam, Kota Makassar yang sarat dengan pesan
alam yang disampaikan menembus ke segenap arah cakrawala bumi Nusantara.
Di antara bintang ‘terang’ malam itu, ada penampilan gamelan khas Bali
dengan penabuh cantik berumur 19-an tahun. Berbalut baju merah dipadu selendang
keemasan dan rok panjang serasi dan terkesan anggun.
Gadis asal Bali itu tidak bisa melihat dengan mata, melaikan merasakan
dengan hati hingga bisa melihat keindahan semesta yang yang turut mendukung
penampilan di acara perhelatan internasional itu.
Ia seorang penyandang disabilitas netra, yang merasakan pahit-getir
perjalan hidup yang telah dilalui hingga bisa tampil di acara bergengsi ini.
“Keterbatasan adalah kekuatan aku untuk maju, berlatih dan menempa
kemampuan dengan memainkan alat musik tradisional gamelan jublak dan
bernyanyi,” ucap Yessi—panggilan akrab Nikomang Yessi Anjani Putri itu.
Yessi mengkau nervous saat memamerkan kemampuan memainkan musik gamelan
Jublak. Tapi ia yakin dengan segala kemampuan yang telah diasah bisa
menyuguhkan tampilan yang memesona bagi para delegasi AHLF dan hadirin.
“Jujur aku bisa meraskan ada kebanggan bisa hadir di acara AHLF ini,
karena tahun lalu tidak bisa ikut, kendati cuaca di Kota Makassar lebih panas
daripada di Bali,” ucapnya.
Kendati ia lebih memilih alat musik, tapi hobi nyanyi tidak bisa
dikatakan kaleng-kaleng juga dengan terbukti sukses menyabet sejumlah
penghargaaan hingga pernah menjadi juara di tingkat Provinsi Bali.
“Pernah ikut lomba nyanyi dan juara 1 tingkat Provinsi Bali. Tapi masih
ada keinginan yang belum terwujud yaitu nyobain jadi anggota drum perempuan di
sekolah,” ucapnya.
Persiapan untuk bisa tampil di acara HLF di Makassar, ia mengaku
berlatih secara khusus hampir setiap hari memainkan alat musik tradisional
gemelan jublak selama 1-2 jam.
“Kuncinya adalah terus berlatih kurang dari 1 bulan dan tidak banyak
waktu jadi hanya butuh 1-2 jam setiap hari itu sudah cukup,” katanya.
Dari semu yang telah diraih, Yessi memiliki keinginan yang belum
terlaksana, yaitu mau jalan-jalan ke Yogyakarta dan ingin terus mengasah
kemampuan di bidang musik tradisional di Kota Budaya itu.
“Iya, aku pengen jalan-jalan ke Pantai Prangtritis Yogyakarta. Walaupun
di Bali juga ada pantai tapi asyik juga bisa ke Pantai Parangtritis, dan di
Yogya juga ingin terus mengasah kemampuan musik tradisional gamelan jublak,”
harapnya.
Namun, di balik kesuskesannya ada sosok pendamping yaitu Retno yang
sabar dan telaten mendampingi dan melatih Yessi bermain alat musik hingga
memotivasi agar tampil dan percaya diri di tengah keterbatasan.
“Melatih mereka tidak telalu sulit, cukup mempraktikan suatu suara
seperti bunyi…cek…cek..cek….tidak perlu diajarin note dan tanda musik, cukup
pendengaran saja, tidak seperti orang normal, ” ungkap Retno.
Retno membuka rahasia, penampilan musik tradisional yang memukau di Gala
Dinner itu cukup sulit, mengingat tari dari satu derah ke daerah lain seperti
dari Betawi ke Palembang yang dikolaborasikan secara panjang.
“Semua penari disabilitas dan penyanyi sebagian besar disabilitas juga.
Itu tingkat kesulitan yang tinggi terlebih mengkolaborasikan tarian tradisional
dari daerah satu ke daerah lainnya,” pungkas Retno, bangga.