Matahari bersinar garang di atas kepala. Sepanjang Jalan Letjen Soeprapto di kawasan sibuk Kota Balikpapan, mobil pribadi beradu cepat dengan mikrolet, dan motor. Di salah satu ruas jalan nan sibuk ini, Kumalasari mulai menata lapak mie ayamnya. Dibantu sang suami Suwarno nan setia. Clik, kompor gas mulai menyala. Air kaldu di dalam dandang mulai bergolak.
 
Bumbu dan sayur ditata mengisi mangkuk-mangkuk digeser, dipindahkan mendekati jangkuan tangan. Sejalan dengan itu, pelanggan setianya mulai berdatangan. Ada yang pesan tanpa kuah, ada yang pakai bakso, ada pula yang tanpa sambal. Kumalasari melayani dengan tekun, sabar dan ramah. Sepasang tangan perempuan kelahiran 3 Oktober 1972 itu mulai sigap bergerak.

Mengisi mangkuk-mangkuk kosong dengan bumbu. Mie yang telah sedikit lembek dari dalam dandang, menyusul masuk diaduk bersama bumbu. Adonan ayam, rajangan daun bawang, dan sambal bila ada yang memintanya, mengisi ruang mangkuk yang tak lagi longgar.

Puluhan mangkuk mie ayam bisa terjual dalam sehari. Olahan tangan Kumalasari dirasa cocok bagi banyak orang. Pelanggannya pun terus bertambah.

“Saya dibantu suami berjualan mulai jam 13.00 sampai jam 17.00. Pelanggannya banyak, pak. Yah penghasilan lumayan juga,” kata perempuan tamatan sekolah dasar ini. Penghasilan yang bisa diraih selama itu, cukup menjanjikan.

Sebagai gambaran, rumah yang ditempati di Kota Balikpapan bersama keluarga, dibeli sebagian dari hasil bisnis Mie Ayam Jakarta – begitu nama warung mie ayam milik Kumalasari.

Sayang sekali masa-masa penuh kebahagiaan itu, tidak lama berlangsung. Pembangunan yang terus berkembang di kota minyak ini, menuntut penataan kota di sana sini. Pada tahun 2015, lokasi dimana Mie Ayam Jakarta  milik Kumalasari berada menjadi target lokasi penataan kota. Pemerintah kota melaksanakan pelebaran jalan sehingga warung milik Kumalasari tidak lagi mendapat tempat.

Matahari di atas kepala, yang senantiasa menemani Kumalasari saat menata lapak mie ayam, seakan jatuh tiba-tiba. Dunia sempat gelap dan berputar. Jelas ini merupakan pukulan keras dalam hidup Kumalasari.

Penghasilan tidak ada lagi. Biaya hidup tidak mungkin ditangguhkan. Tagihan dari bank, juga terus berjalan. Situasi serba sulit dan hidup seperti berada dalam labirin yang entah dimana ada jalan keluar. Bisnisnya yang sangat diandalkan tutup. Pembayaran di bank pun macet. Tagihan yang tidak terbayar membuat Kumalasari dinyatakan pailit.

“Situasi sulit sekali pak. Penghasilan tidak ada. Pihak bank akhirnya menyatakan kami pailit karena tidak mampu membayar tagihan,” kata Kumalasari.

Syukurlah pasangan suami-istri ini masih dikaruniai iman dan taqwa. Berserah diri kepada Allah SWT, keduanya tiada henti bemunajat, memohon dan berdoa, kiranya dapat diberikan petunjuk dan perlindungan.

Selain doa, ikhtiar juga terus dilakukan. Tanpa menyerah, pasangan ini terus mencari jalan keluar. “Usaha mie ayam tidak dilanjutkan di tempat berbeda. Karena kami tidak melihat adanya lokasi yang strategis,” kata Kumalasari.

Sekitar satu tahun keduanya berada dalam situasi sulit. Sampai kemudian tahun 2016, mulai titik terang.

Pada tahun 2016, Kumalasari mendapatkan modal pinjaman dari saudaranya sebesar Rp3 juta. “Tadinya uang pinjaman itu akan kami gunakan untuk berjualan di sekolah namun tidak jadi,” kata Kumalasari.

Kumalasari tidak menginvestasikan uang hasil pinjaman untuk berjualan di sekolah karena tenaga ketiadaan tenaga yang membantu dan medan dari rumah ke sekolah tersebut cukup sulit, yakni naik turun gunung.

Keputusan yang kemudian diambil adalah uang tersebut ia digunakan untuk membeli mesin cuci dan memulai membuka usaha binatu. Tidak ada pertimbangan khusus dengan keputusan ini, selain hanya awalnya sekedar coba-coba.

“Karena salah satu saudara kani juga sudah usaha binatu. Usaha saudara ini mendapat respon bagus dari masyarakat sekitar,” kata ibu dua anak ini.


Usaha Binatu dan KPM PKH

Di samping itu, usaha binatu bisa dilakukan di rumah sehingga lebih efisien dan menguntungkan karena tidak perlu menyewa tempat. Perhitungan Kumalasari tidak meleset.

Dengan ongkos Rp6.000/kilogram, usaha binatunya diminati masyarakat. Ini karena Kumalasari memiliki banyak teman dan saudara yang kemudian menjadi pelanggannya. Selain itu kualitas binatunya juga bagus ditambah lagi berada di kawasan padat penduduk.

Usaha Kumalasari juga memanfaatkan Facebook dan menerima antar jemput dalam radius tertentu. Saat ini usaha binatunya memberdayakan tenaga KPM PKH yang tinggal di sekitar rumah.

“Ada KPM PKH yang bertugas membantu menyetrika baju-baju. Keuntungan didapat dari usaha binatu sampai sekarang Rp 2 juta bersih setiap bulannya,” kata Kumalasari.

Selain sudah sukses membuka usaha binatu, Kumalasari juga mengembangkan usaha berjualan sembako, tahun 2018. “Usaha ini dibangun dengan skema pinjaman modal dalam bentuk barang seperti beras, minyak sayur, bawang putih dan yang lainnya,”  kata Dewi, pendamping Kumalasari dalam Program Keluarga Harapan (PKH).

Proses pengembalian pinjaman untuk buka usaha sembako dicicil setiap pekan, sebelum lebaran 2018 sudah bisa melunasinya.

Keuntungan berjualan sembako dibelanjakan lagi untuk membeli aneka jajanan anak-anak, usaha pembayaran listrik, pembelian pulsa, tv kabel, BPJS Kesehatan melalui aplikasi. Supaya lebih mudah dikenal di depan warung dipasang spanduk "Warung Belle".  “Karena sejak dulu saya sudah dipanggil Belle,” katanya.

Kepesertaan Kumalasari dalam program PKH dimulai tahun 2017. “Bantuan PKH digunakan untuk keperluan anak sekolah, ditabung, dan sebagian untuk tambah modal usaha,” katanya.

Perkembangan usaha yang baik, membuat Kumalasari memutuskan untuk keluar secara sukarela atau graduasi mandiri dari kepesertaan PKH pada Februari 2019.

Sampai sekarang ini masih juga sering menerima pesanan mie ayam dan bakso bila ada acara hajatan disekitar tempat tinggalnya. Alhamdulillah, berkat kerja keras dan ketekunan ibu Kumalasari dan suaminya dalam berwirausaha akhirnya sudah sejahtera dan mandiri. (Bahan berita: Subejo/Dewi Arumsasi)