Kemajuan teknologi telah membawa banyak perubahan positif, namun di sisi lain, muncul pula tantangan baru yang semakin rumit. Dua fenomena yang saat ini menimbulkan masalah sosial signifikan di berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol). Kedua praktik ini tidak hanya memberikan dampak finansial, tetapi juga menimbulkan berbagai persoalan sosial yang kompleks.

 

Menurut laporan dari beberapa media seperti detik.com, sebanyak 703 istri mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama Kabupaten Malang antara Januari hingga Mei 2024. Alasan yang disampaikan para istri tersebut termasuk masalah ekonomi, suami yang enggan bekerja, serta kecanduan judol. Sementara tempo.co melaporkan bahwa seorang pria di Sambas, Kalimantan Barat, melakukan tindakan nekat dengan membunuh seorang pegawai koperasi simpan pinjam pada Rabu, 19 Juni 2024, akibat terlibat dalam judol.

 

Selanjutnya CNBC Indonesia melaporkan kejadian-kejadian dari dampak pinjol seperti kasus “K” yang meminjam Rp9,4 juta dari platform pinjaman online, tetapi terpaksa harus mengembalikan dua kali lipatnya sekitar Rp18-19 juta. Akibat kesulitan membayar, “K” menghadapi teror dari penagih utang. Telepon berulang-ulang ke kantornya menyebabkan “K” dipecat. Setelah dipecat, istri dan anaknya pulang ke rumah orang tua, dan pada Mei 2023, “K” memutuskan untuk bunuh diri. Masih banyak lagi korban judol seperti yang menjerat mahasiswa IPB maupun UI.

 

Sementara beberapa ahli juga menyatakan dampak judol dan pinjol terhadap masalah sosial. Keberadaan platform-platform judi dan pinjaman yang semakin mudah diakses memicu peningkatan jumlah orang yang terlibat, termasuk di kalangan anak muda.

 

Menurut Mark Griffiths (2003), seorang pakar perilaku dari Nottingham Trent University, judol memiliki karakteristik unik yang membuatnya sangat berisiko bagi pecandu judi. Aksesibilitas 24 jam dan privasi yang terjamin mendorong perilaku berjudi secara berlebihan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kecanduan judi. Kecanduan ini berpotensi menyebabkan kehancuran finansial, kerusakan hubungan interpersonal, serta gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi. Ia juga menyoroti bahwa mereka yang kecanduan judol lebih sulit terdeteksi karena sifatnya yang tidak terlihat dibandingkan dengan perjudian konvensional.

 

Dalam studi yang dilakukan oleh Shaffer et al. (2004), ditemukan bahwa peningkatan judol berkontribusi terhadap masalah sosial yang lebih luas. Mereka menyebutkan bahwa kelompok-kelompok rentan, seperti remaja dan mereka yang memiliki masalah finansial, lebih mungkin mengalami kecanduan. Dampak dari kecanduan ini tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga dapat merusak struktur sosial keluarga, menyebabkan kemiskinan, serta memicu kriminalitas akibat desakan finansial.

 

Pendapat lain datang dari Sally Gainsbury (2015), seorang peneliti perilaku judi dari University of Sydney. Ia menegaskan bahwa generasi muda adalah kelompok yang paling terdampak oleh judol. Kesederhanaan akses, serta elemen interaktif dari platform perjudian, membuat anak muda lebih mudah terjerat. Judol dapat menimbulkan dampak seperti isolasi sosial, gangguan prestasi akademik, dan konflik dalam relasi sosial akibat waktu yang dihabiskan untuk berjudi.

 

Selain judol, fenomena pinjol juga memunculkan masalah sosial yang cukup serius. Platform pinjol menawarkan pinjaman cepat dengan persyaratan yang mudah, namun seringkali disertai bunga tinggi yang sulit dilunasi.

 

Endang Kesumawati (2018), seorang ahli keuangan, menyebutkan bahwa pinjol banyak menjebak masyarakat dalam lingkaran utang. Kemudahan akses dan proses yang cepat membuat banyak orang tidak mempertimbangkan risiko yang mereka hadapi. Tingginya bunga dan pendeknya jangka waktu pelunasan sering kali menyebabkan gagal bayar, yang kemudian menimbulkan masalah ekonomi keluarga, konflik interpersonal, dan bahkan kriminalitas terkait utang.

 

Menurut David Lee (2019) dari Stanford University, pinjol yang tidak diatur dengan baik dapat memperparah ketimpangan ekonomi. Masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan cenderung menggunakan pinjol sebagai solusi, namun mereka justru terperangkap dalam beban bunga yang tinggi. Kondisi ini memperburuk kemiskinan dan membuat mereka semakin sulit untuk keluar dari masalah ekonomi.

 

Fitriana Kusuma (2021) dari Universitas Indonesia juga menyoroti dampak dari praktik penagihan yang agresif oleh perusahaan pinjol. Banyak laporan menyebutkan bahwa peminjam yang mengalami gagal bayar sering kali menjadi korban intimidasi dan pelecehan. Metode penagihan yang kasar menyebabkan trauma psikologis di kalangan masyarakat, menciptakan ketakutan sosial, dan dalam beberapa kasus memicu tindakan bunuh diri.

 

Dampak negatif dari judol dan pinjol terhadap masyarakat tidak bisa diabaikan. Judol menciptakan kecanduan, kerusakan hubungan sosial, dan krisis finansial bagi individu yang terlibat. Sementara itu, pinjol menjerat masyarakat dalam lingkaran utang, memperburuk ketidaksetaraan ekonomi, dan menimbulkan tekanan psikologis akibat metode penagihan yang tidak manusiawi.

 

Para ahli sepakat bahwa untuk mengatasi dampak sosial yang ditimbulkan oleh kedua fenomena ini, dibutuhkan regulasi yang lebih ketat, terutama dalam pengawasan dan pembatasan akses terhadap judol dan pinjol. Selain itu, literasi keuangan dan pendidikan teknologi perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih sadar dan berhati-hati sebelum terlibat dalam aktivitas yang berisiko tinggi. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan masalah sosial yang disebabkan oleh judol dan pinjol dapat diminimalisasi.