Kemensos Susun Pedoman Operasional ATENSI Penyandang Disabilitas

  • Kemensos Susun Pedoman Operasional ATENSI Penyandang Disabilitas
  • WhatsApp Image 2020-09-02 at 21.16.36 (1)
  • WhatsApp Image 2020-09-02 at 21.16.37 (1)
  • WhatsApp Image 2020-09-02 at 21.16.36

Penulis :
OHH Ditjen Rehsos
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Sulis Setianingsih; Karlina Irsalyana

BEKASI (1 September 2020) - Kementerian Sosial RI melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial meneguhkan komitmen penghormatan, pemenuhan hak dan perlindungan kepada penyandang disabilitas dengan menyusun pedoman operasional Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) Penyandang Disabilitas. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Harry Hikmat pada kegiatan penyusunan Draft Petunjuk Operasional Asistensi Rehabilitasi Sosial Penyandang disablilitas yang diselenggarakan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas. 

Harry menyampaikan agar disusun pedoman operasional Asistensi Rehabilitasi Sosial Penyandang disablilitas, bukan petunjuk teknis, karena dari pedoman operasional  dimungkinkan ada pedoman-pedoman teknis seperti modul yang spesifik, tergantung dari ragam disabilitas dan sub-sub ragam disabilitas. Penyusunan pedoman-pedoman tersebut merupakan tugas dari Kemensos melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (Dit. RSPD).

Menurut Harry, di Kemensos terdapat 5 kluster Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) untuk Program Rehabilitasi Sosial, yaitu Korban Penyalahgunaan Napza, Lanjut Usia, Penyandang Disabilitas, Anak (Balita Terlantar, Anak Terlantar, ABH, AMPK), Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang. Populasi penyandang disabilitas sejumlah 30,4 Juta  orang berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018.

Harry berharap dengan sensus penduduk long form yang akan dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, akan memberikan gambaran populasi penyandang disabilitas.  

“Dalam pedoman operasional, data-data  yang menggambarkan situasi dan kondisi terkini penyandang disabilitas bisa dimasukkan, jangan hanya  kualitatif, karena pedoman operasional ini menjadi baseline tahun awal perjalanan ATENSI,” kata Harry. Ragam disabilitas penting dijelaskan diawal untuk memberikan gambaran adanya keberagaman dari kondisi disabilitas yang membutuhkan respon kebijakan, program dan kegiatan yang  sesuai dengan kebutuhan. 

“Kalau dimungkinkan, pedoman operasional juga menggambarkan diferensiasi habilitasi dan rehabilitasi sosial karena dalam kriteria egibilitas, akan menggunakan pendekatan life cycle, tidak hanya segmentasi pada  kelompok usia dewasa (15 tahun keatas), tetapi sejak usia dini,” kata Harry. Fakta membuktikan jika proses rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dilakukan pada usia dewasa, kapabilitasnya tidak optimal. Seharusnya penyandang disabilitas dihabilitasi pada usia dini sehingga kapabilitas yang dicapai bisa optimal.

Harry menekankan perlunya dibuat pedoman operasional khusus habilitasi sosial untuk merespon kebutuhan dan peningkatan kemampuan penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas sejak usia dini.

"Kita harus mempunyai glosarium tentang ragam disabilitas, agar tidak diinterprestasikan berbeda-beda oleh banyak pihak. Di pedoman ini harus tegas, karena kita merujuk pada Undang-undang, gunakan ragam disabilitas dengan nomenklatur yang  sesuai dengan  UU penyandang disabilitas,” tegas Harry.

Menurut Harry, Pusdatin sudah menyiapkan Dashboard Business intelligence SIKS-NG Penyandang Disabilitas, basis datanya dari DTKS. DTKS sudah menyesuaikan kategorinya sesuai dengan ragam disabilitas pada UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.  “Dashboard Penyandang Disabilitas agar dimasukkan ke dalam pedoman operasional dengan jumlah atau prosentase untuk memberikan gambaran baselinenya, sehingga ada analisis, misal distribusi berdasarkan ragam disabilitas,” kata Harry.

Untuk mendapatkan data nasional yang teregistrasi seluruh disabilitas akan disiapkan dengan sistem online (self register). Kemensos telah menyiapkan eKPD (Kartu Penyandang Disabilitas Elektronik), dimana hak sipil dan kartu keluarga bisa teregister, serta  bisa dimasukkan fitur basic saving account dan fitur wallet seperti kesehatan dan transportasi.

Harry menjelaskan arah kebijakan program perlindungan dan rehabilitasi sosial sesuai dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), yaitu penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas. Kemensos menempatkan to respect (penghormatan, pengakuan), to fullfill (pemenuhan hak hak dasar) dan to protect (perlindungan atas resiko yang terjadi) sebagai komitmen utama. “Pendekatan hak dalam praktek pekerjaan sosial menjadi roh dalam pedoman ini, bukan pendekatan welfare,” kata Harry.

Kebijakan selanjutnya adalah penguatan sistem rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial, perluasan jangkauan rehabilitasi sosial berbasis keluarga, komunitas dan residensial, penguatan kapasitas dan kelembagaan Balai Besar/ Balai/ Loka/Panti rehabilitasi sosial dan LKS. Kemudian, peningkatan kampanye pencegahan, rehabilitasi, pemberdayaan, jaminan dan perlindungan sosial di seluruh sektor dan masyarakat, peningkatan peran Pemda, masyarakat dan swasta dalam pelayanan sosial.

Berbagai kebijakan tersebut dilakukan melalui Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) dengan memperkuat kinerja Balai Besar/ Balai/ Loka dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial berbasis keluarga, komunitas dan residensial, renovasi Balai/Loka, menyediakan sarana prasarana Sentra Layanan Sosial (SERASI), Piloting SERASI (memastikan PPKS terpenuhi hak-hak dasarnya dan dalam perlindungan keluarga melalui layanan ATENSI), kampanye nasional, Standarisasi Balai/Loka/ LKS/ PantiSosial, akreditasi lembaga kesejahteraan sosial dan sertifikasi pendamping rehabilitasi sosial, dan Contact center dengan menyediakan sistem pengaduan masyarakat melalui call centre yang terintegrasi dengan pengaduan melalui media online, case management system, DTKS PPKS, dan public relation.

“Di pedoman operasional atau di lampiran, UU dan PP terkait bisa dilampirkan misal PP tentang habilitasi, kesejahteraan sosial dan lainnya. Penting dalam menjelaskan pedoman, bahwa orientasi kita mengalami perubahan cukup signifikan,  seperti dari obyek menjadi subyek, Charity base ke Human Right base, kemandirian tanpa diskriminasi serta multi sektor,” kata Harry.

Dalam pedoman operasional, harus kental isi dari aksi-aksi nyata yang relevan dari peraturan pemerintah terkait dan dijelaskan dalam bentuk naratif terutama pasal-pasal kunci atau dilampirkan tabel yang relevan dengan pokok materi dari pedoman tersebut.

“Rehsos akan banyak bergerak di layanan sosial, yang bisa diintegrasikan dengan berbagai skema bantuan sosial dan program lain ”kata Harry. Balai/LKS berperan strategis dalam perluasan layanan sosial bagi penduduk. Untuk itu diperlukan penguatan skema layanan dan rujukan, redefinisi peran pusat-daerah dan penguatan balai serta keterkaitan dengan bansos dan program lainnya terutama terkait Kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan dan akses permodalan koperasi serta UKM. 

“Asistensi Rehsos harus mengcover keseluruhan level status sosial ekonomi, karena disabilitas dalam posisi sebagai kelompok rentan. Tidak semua disabilitas miskin tapi bisa dikatakan semua disabilitas mempunyai tingkat kerentanan karena mempunyai keterbatasan sekecil apapun,” tegas Dirjen Rehsos.

“Kita orientasinya ke pelayanan sosial bukan ke bantuan sosial. Perjuangkan penyandang disabilitas untuk dapat akses di program-program reguler, program prioritas nasional,program jaring pengaman sosial,” terang Dirjen Rehsos.

Menurut Harry, pedoman operasional berisi skenario alternatif-alternatif dan tidak kaku berbeda dengan juknis. Pedoman juga berisi perubahan paradigma layanan dari pelayanan sosial sektoral/fragmentaris, jangkauan terbatas dan eksklusif, berbasis institusi/panti sosial berbasis voluntarism menjadi pelayanan sosial terpadu dan berkelanjutan melaui Centrelink/SERASI, menjangkau seluruh warga dan strategi inklusif, komprehensif dan terstandarisasi, mengedepankan peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, layanan dalam lembaga bersifat temporer dan berbasis profesionalitas. 

“Praktek-praktek terbaik di lapangan baik dari Balai/Panti/LKS agar dituangkan di pedoman ini, sehingga muncul kekhasan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas,” pungkas Harry.
Bagikan :