Mensos Ajak Tunawisma Tinggal di Rusun Kemensos
Penulis :
Riska Surya Ananda
Penerjemah :
Laili Hariroh
JAKARTA (19 Januari 2024) –
Sebagai seorang Menteri yang menangani masyarakat miskin, Menteri
Sosial Tri Rismaharini gerak cepat menyelesaikan masalah yang ia temui.
Saat melewati flyover Kampung Melayu, Mensos melihat banyak tuna wisma
yang berkumpul. Sontak Mensos langsung menerjunkan staff untuk melakukan
asesmen pada Kamis (18/1). Lalu hari ini, Jumat (19/1), Mensos
berdialog dengan para tunawisma tersebut di Gedung Aneka Bhakti
Kemensos.
Dengan pendekatan personal, Mensos menanyai satu per satu masalah dan keinginan para tunawisma yang kebanyakan adalah pemulung. Ada beberapa opsi yang ditawarkan. Di antaranya adalah mendapatkan pelatihan kewirausahaan di sentra Kemensos, pulang ke kampung halaman, atau tinggal di rusunawa milik Kemensos.
Mensos menekankan, yang bisa tinggal di rusunawa hanya mereka yang memiliki KTP DKI Jakarta dan sudah berkeluarga. “Rusun untuk keluarga. Kalau nanti sekolah anak-anak jauh, kami bisa bantu pindah sekolah,” kata Mensos.
Dari 21 orang yang di asesmen, tak sampai sebagian yang memiliki kartu identitas. Bagi mereka, Mensos menawarkan kembali ke kampung halaman dan berwirausaha, dan akan dipantau perkembangan usahanya oleh Sentra Kemensos terdekat. Dikatakan Mensos, sukses tak selalu harus di Jakarta, di kampung juga bisa sukses.
“Kami siap antar bagi bapak ibu yang mau kembali ke kampung,” ujar Mensos membujuk agar masyarakat tanpa kartu identitas mau kembali ke daerah asal.
Respon yang di dapat pun beragam. Ada yang langsung setuju kembali, ada yang masih ingin di Jakarta dan tidak mau kembali. Untuk itu, Mensos menawarkan untuk tinggal dan mendapatkan pelatihan di Sentra Kemensos di Jakarta, terutama bagi yang sudah lansia. “Tua harus ada tabungan. Kalau di sentra semua ditanggung. Misalnya kalau sakit, KTP gak ada, gimana caranya mau berobat,” kata Mensos.
Salah satu tunawisma asal Surabaya, Ubay (83), mengaku akan mengikuti saran dari Mensos. Ia telah tinggal di Jakarta sejak kecil, namun beberapa tahun belakangan ini ia hidup menggelandang dan tidur di taman. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pemulung dengan penghasilan Rp35.000 – Rp50.000 per hari. Kakek yang akrab disapa Pak Uban ini berharap bisa kembali ke Surabaya.
“Saya ingin kembali. Ingat alamatnya (rumah di Surabaya), tapi lupa nomor rumahnya,” katanya kepada Mensos.
Mensos langsung menghubungi koleganya di Surabaya untuk membantu menemukan keluarga Ubay. Harapannya Ubay bisa kembali ke Surabaya.
Dengan pendekatan personal, Mensos menanyai satu per satu masalah dan keinginan para tunawisma yang kebanyakan adalah pemulung. Ada beberapa opsi yang ditawarkan. Di antaranya adalah mendapatkan pelatihan kewirausahaan di sentra Kemensos, pulang ke kampung halaman, atau tinggal di rusunawa milik Kemensos.
Mensos menekankan, yang bisa tinggal di rusunawa hanya mereka yang memiliki KTP DKI Jakarta dan sudah berkeluarga. “Rusun untuk keluarga. Kalau nanti sekolah anak-anak jauh, kami bisa bantu pindah sekolah,” kata Mensos.
Dari 21 orang yang di asesmen, tak sampai sebagian yang memiliki kartu identitas. Bagi mereka, Mensos menawarkan kembali ke kampung halaman dan berwirausaha, dan akan dipantau perkembangan usahanya oleh Sentra Kemensos terdekat. Dikatakan Mensos, sukses tak selalu harus di Jakarta, di kampung juga bisa sukses.
“Kami siap antar bagi bapak ibu yang mau kembali ke kampung,” ujar Mensos membujuk agar masyarakat tanpa kartu identitas mau kembali ke daerah asal.
Respon yang di dapat pun beragam. Ada yang langsung setuju kembali, ada yang masih ingin di Jakarta dan tidak mau kembali. Untuk itu, Mensos menawarkan untuk tinggal dan mendapatkan pelatihan di Sentra Kemensos di Jakarta, terutama bagi yang sudah lansia. “Tua harus ada tabungan. Kalau di sentra semua ditanggung. Misalnya kalau sakit, KTP gak ada, gimana caranya mau berobat,” kata Mensos.
Salah satu tunawisma asal Surabaya, Ubay (83), mengaku akan mengikuti saran dari Mensos. Ia telah tinggal di Jakarta sejak kecil, namun beberapa tahun belakangan ini ia hidup menggelandang dan tidur di taman. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pemulung dengan penghasilan Rp35.000 – Rp50.000 per hari. Kakek yang akrab disapa Pak Uban ini berharap bisa kembali ke Surabaya.
“Saya ingin kembali. Ingat alamatnya (rumah di Surabaya), tapi lupa nomor rumahnya,” katanya kepada Mensos.
Mensos langsung menghubungi koleganya di Surabaya untuk membantu menemukan keluarga Ubay. Harapannya Ubay bisa kembali ke Surabaya.
Bagikan :