Perlukah Terapi Wicara dalam Pelayanan Sosial?

Perlukah Terapi Wicara dalam Pelayanan Sosial?
Penulis :
Nusation Anwar
Editor :
Early Febriana
Penerjemah :
Intan Qonita N

Konsep pelayanan sosial dalam kerangka program-program kesejahteraan sosial yang dituangkan di berbagai peraturan yang ada tidak terlepas dari minimal tiga domain utama, yakni Pemberdayaan Sosial, Rehabilitasi Sosial serta Perlindungan dan Jaminan Sosial. Muara sasarannya juga dipastikan tertuju kepada individu, keluarga, komunitas atau kelompok yang termarginalkan (residual). Dikalangan pelayan, pelaku, penggerak, pegiat pekerjaan sosial di Indonesia, sasaran penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini dimasukkan ke dalam kategori Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau istilah lainnya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Sebagai penyandang masalah atau pemerlu pelayanan tentunya bersinggungan dengan pemenuhan hak-hak sosial dasar yang layak mereka dapatkan sesuai kapasitas dan kebutuhan yang sedang dialaminya. Salah satu permasalahan sosial yang mungkin perlu mendapatkan perhatian khusus adalah kebutuhan pelayanan sosial bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Irisan pelayanan sosial dalam perlakuan dan keadilan bagi anak berkebutuhan khusus ini jangan hanya dilihat dari aspek pendidikan dan kesehatan saja, lebih dari itu pelayanan sosial bagi anak berkebutuhan khusus selayaknya diarahkan kepada komitmen dan tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan dasar sosialnya termasuk layanan rehabilitasi sosial baik keluarganya apalagi anaknya. Terlebih khusus lagi untuk keluarga tidak mampu. Karena bagi keluarga tidak mampu hampir dipastikan tidak memiliki pilihan terbaik bagi anak-anaknya kecuali menerima keadaan apa adanya. Apalagi secara geografis banyak keluarga tidak mampu di Indonesia ini berdomisili di pesisir, pulau-pulau kecil, pedesaan yang jauh dari akses pelayanan seperti itu.

Memang pada sisi lain kesadaran untuk mendeteksi tumbuh kembang anak usia dini bukan hanya terjadi pada keluarga kurang mampu yang pastinya sangat rendah perhatiannya bahkan justru dikalangan orang yang berkecukupan dan memiliki status sosial yang tinggi pun sering kebablasan. Bisa dibayangkan bagaimana peliknya permasalahan sosial yang dihadapi keluarga tidak mampu, kebutuhan perut juga masih menjadi masalah pokok bagi mereka apalagi ditambah dengan kondisi anak berkebutuhan khusus tentunya memilukan sekali. Lalu, siapa lagi yang peduli dengan hal ini selain instansi yang mengurusi pelayanan sosial.

Berangkat dari semakin tingginya permintaan pelayanan sosial terhadap anak berkebutuhan khusus terutama di daerah yang belum memiliki atau pun memiliki namun sangat minim dan terbatas baik sarana prasarana, kebijakan daerah, anggaran, hingga sumber daya manusia, tentunya kenyataan ini semakin menguatkan pentingnya pemahaman edukasi, motivasi dan informasi kepada mereka tentang perlunya deteksi dini anak-anak berkebutuhan khusus. Salah satunya adalah perlunya pelibatan tenaga-tenaga terapis wicara dalam memberikan pembekalan dan penyuluhan secara masif dan melembaga.

Kolaborasi pelaksanaan fungsi antara pelayanan sosial dengan pelayanan kesehatan sekaligus pendidikan nampaknya suatu keharusan sehingga diharapkan mampu memutus mata rantai atau paling tidak ada upaya pencegahan dan penanganannya sesuai standar untuk menghentikan persoalan baru bagi keluarga tidak mampu guna memberikan pengetahuan, wawasan, dan juga bimbingan menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus ini. Kehadiran Pusat Layanan Autis, SLB, Yayasan Disabilitas, Ruang Terapi Berbayar di Rumah Sakit, klinik kesehatan yang keberadaan di kota ternyata belum mampu menjangkau layanan lebih luas baru sebatas wilayah terdekat dan itu pun dibatasi layanannya meskipun sebagian berbayar. Bagaimana dengan si miskin nan jauh di sana…..!?

Lambat bicara atau lambat belajar bagian dari disabilitas intelektual yang harus menjadi perhatian serius khususnya yang menangani rehabilitasi sosial baik dalam panti maupun luar panti. Kewenangan penanganan baik pendekatan pelayanan dalam panti maupun luar panti jangan diperdebatkan terlalu vulgar yang hanya menambah penderitaan orang-orang yang termarginalkan. Di daerah hiruk pikuk pembahasan batas-batas tentang itu masih dijadikan kendala dan penghalang dalam memberikan pelayanan sosial sesungguhnya, belum lagi dihadapkan dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Perihal sarana prasarana layanan saja masih teledor dan ‘memble’, bagaimana dengan sumber daya manusia pendukungnya. Sungguh kondisi ini, jika tidak dipahami dengan bijak berimplikasi pada pengabaian pemenuhan hak-hak konstitusi yang sudah diamanahkan. Rentang kemiskinan bisa jadi diwarisi dengan sempurna oleh keluarga tidak mampu kepada anak-anaknya, bisa dibayangkan kegetiran hidup yang akan diterima dan dialaminya di masa datang.

Di penghujung tulisan ini, tentunya kita semua tidak berharap perpanjangan kemiskinan membayangi generasi nanti, pangkas garis kemiskinan dari kebodohan karena itulah awal sumber petaka segalanya. Lebih elok hidup miskin tapi tidak bodoh, daripada bodoh tapi hidup miskin lagi, lengkap sudah kisahnya. Agar semua itu sedini mungkin bisa dihindari, ayo kita kawal generasi (keluarga kurang mampu) sejak kelahiran hingga usia tumbuh kembang dengan memberikan edukasi dan pelayanan maksimal tentang pentingnya terapi wicara bagi anak lambat belajar atau lambat bicara secara proaktif dan gratis melalui lembaga-lembaga pemerintah/pemda secara masif. Lekatkan pada program-program pelayanan sosial dengan memperluas informasi dan edukasi melalui pengembangan kemitraan dan jejaring kerja guna memaksimalkan penjangkauan layanannya.

Mari sudahi cerita kelam mereka, ayo cerdaskan mereka dengan generasi yang kuat, sehat dan semangat hidup yang tinggi agar memiliki kemampuan mengurai ketidakberdayaan menjadi sebuah asa yang menunggu di sana. 

Bagikan :