Profesionalisme Jadi Tuntutan, Kompetensi Pendamping Harus Tersertifikasi

  • Profesionalisme Jadi Tuntutan, Kompetensi Pendamping Harus Tersertifikasi
  • 15966659072483
  • 15966658905083
  • 15966658769006

Penulis :
OHH Ditjen Rehsos
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Dewi Purbaningrum; Karlina Irsalyana

JAKARTA (3 Agustus 2020) - Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Harry Hikmat menjadi narasumber pada Diklat Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) Family Development Session (FDS) Program Keluarga Harapan (PKH) secara virtual. Dirinya menyampaikan bahwa pekerja sosial, Pendamping PKH, Pendamping Rehsos dan semua pilar kesejahteraan sosial lainnya harus berada di baris terdepan sebagai pekerja kemanusiaan.

Perubahan paradigama di lingkungan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial (Ditjen Rehsos) mengisyaratkan bahwa kini profesionalisme menjadi tuntutan dalam menjalankan tugas kemanusiaan.

"Kedepan, arah profesionalisme itu menjadi tuntutan. Para pendamping harus punya kompetensi yang tersertifikasi," ungkap Dirjen Rehsos.

Hal ini ditunjukkan dalam Arah Kebijakan dan Program Rehabilitasi Sosial yang mengalami perubahan paradigma menjadi layanan sosial yang bersifat terpadu, menjangkau seluruh warga, sistem yang komprehensif dan terstandarisasi, mengedepankan peran keluarga dan masyarakat, layanan sosial di lembaga bersifat temporer (sementara) serta sumberdaya manusia yang berbasis profesionalisme.

Selain tuntutan SDM berbasis profesionalisme, Ditjen Rehsos juga akan memulai layanan sosial terpadu dalam bentuk centrelink, yaitu pusat penyedia layanan rehabilitasi sosial bagi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) secara langsung atau melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS).

Layanan Rehabilitasi Sosial ini berupa Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) yang terdiri dari pemenuhan kebutuhan dasar, terapi (fisik, mental, spiritual, psikososial keterampilan/kewirausahaan), perawatan sosial dan dukungan keluarga.

PKH sebagai bentuk dukungan keluarga punya peran penting untuk mencegah lahirnya PPKS jalanan, retan dan sangat miskin. "Asistensi Rehabilitasi Sosial akan bekerja lebih berat lagi di hilir jika tidak ada PKH dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang memiliki posisi strategis sebagai bentuk dukungan keluarga (family suport), " tutur Dirjen Rehsos.

Oleh karena itu, Menteri Sosial RI, Juliari P. Batubara mengarahkan untuk membangun Super Team. Di lapangan, antara Pendamping PKH dengan Pendamping Rehsos harus bahu membahu dan membangun tim kerja yang kuat guna kesejahteraan masyarakat.

Populasi 5 klaster Rehabilitasi Sosial yang terdiri dari Anak, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, Korban Penyalahgunaan Napza serta Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang sebanyak 75,04 juta jiwa ini harus bisa dijangkau oleh program bantuan sosial dari Direktorat Perlindungan dan Jaminan Sosial (Ditjen Linjamsos), salah satunya adalah PKH.

Hal ini dikarenakan Ditjen Rehsos hanya berperan dalam pemberian layanan sosial, yaitu Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) pada 5 Klaster Rehabilitasi Sosial,  Sedangkan Ditjen Linjamsos berperan pada pemberian bantuan sosial (bansos) agar Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) mampu bertahan hidup.

Contoh layanan sosial yang diberikan Ditjen Rehsos yaitu menindaklanjuti arahan Menteri Sosial, Juliari P. Batubara untuk melakukan Penanganan Warga Terlantar Terdampak Covid-19 (PWTC)  dengan menyediakan Tempat Penampungan Sementara (TPS) bagi warga terlantar terdampak Covid-19.

TPS ini difungsikan untuk menampung warga terlantar yang meningkat saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mereka yang berada di ruang publik seperti pemulung, gelandangan dan pengemis merupakan warga tidak mampu hingga korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Selain kesulitan dalam mengais rezeki di tengah Pandemi, mereka pun sulit akses terhadap bantuan sosial karena alamat yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak sesuai dengan alamat domisili saat ini. 

Atas beberapa kendala tersebut, Kementerian Sosial kedepan akan mengupayakan pemberian bantuan berbasis Nomor Induk Kependudukan, sehingga semua PPKS dapat akses terhadap bantuan sosial seperti PKH.

PWTC ini menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan berbasis keluarga dan komunitas melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), berbasis Temporary Shelter/(TPS) dan berbasis balai Rehabilitasi Sosial.

Berdasarkan evaluasi, pendekatan berbasis keluarga dan komunitas melalui LKS efektif menurunkan jumlah warga terlantar yang berada di ruang publik. Hal ini dibuktikan dari sedikitnya jumlah warga terlantar yang terjaring operasi penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

"LKS bersama komunitas menyelenggarakan dapur mandiri, menyalurkan sembako, melakukan sosialisasi tentang Covid-19 hingga membuat kelas kreatif anak-anak pemulung untuk membuat tempat pensil dan lain-lain. Ini contoh efektifas penguatan di dalam komunitas dan mencegah mereka untuk ke ruang publik," kata Dirjen Rehsos.

Hingga kini, total warga terlantar yang telah ditangani sebanyak 5.836 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 2.652 ditangani di TPS berupa Gelang Olahraga di 5 wilayah di DKI Jakarta, 403 jiwa ditangani di Balai Rehabilitasi Sosial yang merupakan lokasi rujukan bagi PPKS yang membutuhkan pelayanan khusus (Ibu Hamil, Anak Usia Dini, Penyandang Disabilitas dan Lansia) dan 2.781 ditangani di keluarga dan komunitas melalui LKS.

"Harapan kami, teman-teman PKH mampu membangun passion keberpihakan terhadap saudara-saudara dengan status kemiskinan yang lebih spesifik, contohnya pada klaster Rehabilitasi Sosial," pungkas Dirjen Rehsos.

Diklat virtual ini diikuti oleh 156 pendamping PKH di wilayah kerja Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang, Ketua BBPPKS Padang beserta jajarannya.
Bagikan :