Penulis :
Humas "Paramita" Mataram
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Intan Qonita N
JAKARTA (1 Oktober 2020) - Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Harry Hikmat memberikan arahan pada kegiatan Rapat Koordinasi Regional Program Asistensi Rehabilitasi Sosial Anak BRSAMPK "Paramita" Mataram secara virtual.
“Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial perlu mengupdate perkembangan situasi Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK) serta memastikan respon perlindungan kepada AMPK sesuai dengan arah kebijakan dan strategi yang terus dikembangkan oleh Kemensos,” kata Harry Hikmat.
Forum ini merupakan salah satu media sosialisasi atas berbagai penyesuaian kebijakan, strategi dan program khususnya melalui Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI), yang akan sangat bertumpu pada kinerja Balai Rehsos Anak. Balai mempunyai mandat yang sangat kuat untuk melaksanakan ATENSI dengan dukungan penuh dari Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak (RSA).
Harry menyampaikan berdasarkan data (DTKS) ada sekitar 27,4 juta anak yang membutuhkan perhatian khusus dari total 75,04 juta jiwa. Kemensos telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan data anak yang membutuhkan pelayanan sosial bisa tercatat dan teregistrasi.
Direktorat RSA telah melakukan komunikasi, koordinasi,sinkronisasi serta bersinergi untuk memastikan data anak melalui Lembaga Kesejahteran Sosial Anak (LKSA) terdaftar. Melalui sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan tambahan modul DTKS-PPKS Anak, sampai saat ini telah teregistrasi hampir 5 ribu LKSA dan data anak yang masuk sekitar 183 ribu.
Berdasarkan jenis masalah, teridentifikasi sejumlah kategori yaitu Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK), Anak memerlukan Pengembangan Fungsi Sosial, Anak Jalanan, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), Anak Balita (dari keluarga miskin, dibuang, tidak terdokumentasi, membutuhkan keluarga pengganti) dan Anak terlantar.
“Data Anak ini agar diupdate khususnya di wilayah-wilayah jangkauan Balai "Paramita". Segera pastikan LKSA di wilayah jangkauan Balai untuk meregistrasi diri, self registration, self reporting, self entry kepada sistem DTKS-PPKSA yang terintegrasi di Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Pusdatin Kemensos,” ujar Harry. Negara berkewajiban untuk melakukan registrasi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan diupayakan untuk menjangkau keseluruhan data anak.
“Kejadian-kejadian yang menimpa anak-anak mulai dari ABH, korban kejahatan seksual, korban perlakuan salah, korban trafficking dan yang lainnya bagaimana hal ini tidak terjadi, tidak meningkat,” ujar Harry. Karena itu, penting melakukan upaya yang sifatnya pencegahan (preventif) sekaligus penguatan keluarga yang rentan, miskin, kurang mampu yang berpotensi anak-anaknya mengalami masalah eksploitasi, kekerasan, perlakuan salah, diskriminasi dan berbagai masalah lainnya.
Harry menyatakan kemiskinan masih menjadi faktor pendorong (push factor) terjadinya masalah-masalah yang menimpa anak-anak. Ini yang harus dibahas lebih detil dalam rapat koordinasi. “Upaya-upaya mencegah agar Balai terutama tidak hanya berorientasi kuratif rehabilitatif. Respon kasus dengan pendekatan profesional pekerjaan sosial tetap diperlukan. Tetapi, tidak kalah penting adalah upaya penguatan keluarganya (family support),” ujar Harry.
Program Kelaurga Harapan (PKH) misalnya, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), bantuan sembako dan bantuan sosial lainnya bertujuan untuk preventif atau mencegah terjadinya permasalahan sosial. Kalau keluarganya tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, tidak mendapatkan pendampingan, boleh jadi mereka melakukan hal-hal yang tidak diharapkan pada situasi yang sulit (anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus).
“Upaya pencegahan secara masif, termasuk penyadaran masyarakat, kampanye pencegahan agar tidak terjadi anak-anak menjadi korban eksploitasi, tindakan kekerasan, penelantaran, perlakuan salah, berhadapan dengan hukum, ini perlu gencar kita lakukan,”tegas Harry. Dengan situasi dan kondisi tersebut, arah kebijakan rehabilitasi sosial akan disesuaikan kembali.
“Visi rehabilitasi sosial akan bertranformasi, bahwa rehabilitasi sosial merupakan fungsi dari pelayanan sosial, bukan sekedar bantuan sosial. Disitulah letak penting adanya Asistensi Rehabilitasi Sosial Anak,” kata Harry. Orientasinya kepada pelayanan sosial. Didalam pelayanan sosial secara keseluruhan, memang terdapat bantuan sosial yang diarahkan kepada segmen kelompok rentan, miskin dan sangat miskin.
Hakikat dari ATENSI Anak yang berwujud pada pelayanan sosial, merentang untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sosial dari kalangan yang paling miskin sampai kalangan berpendapatan menengah keatas. Orientasi ini berlaku pada strategi jaminan sosial, yang mencakup semua orang. Kalau bicara anak, bukan hanya sebatas anak-anak dari keluarga miskin, walaupun tetap menjadi skala prioritas. Anak-anak pada umumnya membutuhkan asistensi rehabilitasi sosial. Misal, anak-anak korban trafficking, bisa saja dari kalangan menengah keatas.
“Kalau bicara rehabilitasi sosial, tidak sebatas menjangkau keluarga yang rentan dan miskin,tetapi masyarakat pada umumnya membutuhkan pelayanan rehabilitasi sosial ketika mengalami disfungsi sosial,” ujar Harry. Karena jangkauannya cukup luas, keterpaduan, menjangkau lebih luas dan inklusif menjadi sangat penting. Upaya tersebut dilaksanakan secara profesional dan terstandar, serta upaya yang intens yang sifatnya pencegahan. Peran dan tanggungjawab keluarga dan masyarakat menjadi penting, karena kalau hanya bertumpu pada pelayanan yang sifatnya lembaga/residensial, antara kemampuan Balai dalam memberikan pelayanan dengan kebutuhan gabnya sangat tidak memadai.
Menurut Harry, diperlukan strategi baru yang mendorong agar Balai-balai di lingkungan Direktorat RSA melakukan reorientasi dengan melakukan berbagai intervensi langsung didalam keluarga. Manakala keluarga itu dipandang masih mampu melakukan peran dan tanggungjawabnya turut menyelesaikan masalah yang dialami anak. Balai bisa melibatkan LKSA seperti panti asuhan, panti pemda, panti masyarakat, LPA di daerah, perkumpulan-perkumpulan remaja, anak, untuk bisa memberikan kontribusi didalam pelayanan sosial bahkan dalam pencegahan.
“Strategi berbasis keluarga dan komunitas menjadi tumpuan kita kedepan dengan pusat layanannya ada di Balai. Optimalkan keberadaan lembaga tersebut untuk memberikan layanan kepada anak dan remaja secara luas, tidak terkungkung oleh kriteria tertentu. Dan memungkinkan melaksanakan layanan yang bersifat temporer, bahkan melakukan intervensi-intervensi dini agar masalah yang ada tidak berkembang dan menjadi kasus yang lebih berat,” kata Harry.
Lembaga-lembaga yang ada termasuk Balai menjadi pusat layanan kepada keluarga dan pemberdayaan komunitas. Fungsi lembaga tidak hanya “memelihara” anak-anak di dalam Balai, tetapi memastikan anak-anak itu bisa kembali mendapatkan pengasuhan dan perlindungan dari orang tua atau keluarga atau kerabatnya.
“Fungsi pelayanan sosial dalam bentuk ATENSI ditujukan untuk pemulihan dan pengembangan fungsi sosial. Ini hal yang dapat ditunjukkan ke masyarakat bagaimana kekhasan dari ATENSI,” ujar Harry. Atas dasar itu, arah kebijakan teknisnya merujuk pada penghormatan, pemenuhan hak dasar dan perlindungan anak. Selanjutnya penguatan sistem rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial anak dan keluarga, perluasan jangkauan rehabilitasi sosial anak berbasis keluarga, komunitas dan residensial. Kemudian, penguatan kapasitas dan kelembagaan Balai Rehabilitasi Sosial dan LKS di bidang perlindungan anak dan keluarga, pencegahan harus diperkuat, peran masyarakat dan swasta dalam pelayanan sosial anak dan keluarga ditingkatkan.
“Dan itu diberikan branding baru,yaitu Asistensi Rehabilitasi Sosial, disingkat ATENSI. Wujudnya berbagai kegiatan, mulai dari pemenuhan kebutuhan hidup layak, pengasuhan anak, dukungan keluarga, terapi fisik, terapi psikososial, terapi mental spiritual, latihan vokasional, kewirausahaan, bahkan bantuan dimungkinkan serta dukungan aksesibilitas bagi anak-anak yang mengalami disabilitas,” kata Harry. ATENSI merupakan layanan rehabilitasi sosial yang menggunakan pendekatan berbasis keluarga, komunitas, dan/atau residensial.
“Ketika berbicara pendekatan berbasis keluarga, persoalan AMPK itu, untuk diperkuat tanggungjawab keluarga, terutama dalam hal pengasuhan. AMPK itu masih dimungkinkan untuk tidak dibawa ke Balai/panti. Seandainya keluarga inti tidak mampu melakukan pengasuhan, masih ada keluarga kerabat yang dimungkinkan melakukan pengasuhan (pengasuhan berbasis keluarga pengganti),”pungkas Harry.
Kegiatan Rapat Koordinasi Regional Program Asistensi Rehabilitasi Sosial Anak BRSAMPK "Paramita" Mataram ini diikuti oleh 50 peserta dari perwakilan instansi Dinas Sosial, Kepolisian Daerah, Bapas, LPA, BP3A, dan Satuan Bhakti Pekerja Sosial dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sulawesi Barat.
Bagikan :