JAKARTA (22 Agustus 2019) - Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengajak semua pihak mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng). Mensos mengindikasikan ada kejahatan terorganisasi di balik operasional gepeng.

“Maka dalam kesempatan ini, kami mengajak pemerintah daerah. Tanggung jawab utama berada di tangan pemda. Pemda bisa berperan memberikan rehabilitasi dasar buat mereka,” kata Mensos, dalam sambutannya pada “Workshop Nasional Penanganan Gelandangan dan Pengemis dalam Implementasi Permensos RI No. 9 Tahun 2018”, di Jakarta, Kamis (22/08/2019).

Mensos mendapat laporan, komunitas gepeng dimobilisasi di kawasan tertentu dengan menggunakan kendaraan. Tidak jarang mereka menggunakan anak untuk menarik simpati masyarakat, sewa menyewa anak, dan sewa menyewa orang.

Dalam sambutannya Mensos menyatakan, persoalan dasar dari keberadaan gepeng bersumber dari persoalan kemiskinan. Kata Mensos, ketidaksiapan dan ketidakmampuan menjadi masalah yang membuat mereka memihak untuk menjadi pengemis dan gelandangan.

“Populasi geladangan dan pengemis pada tahun 2019 sebanyak 58.4923. Angka ini memang masih perlu ditanyakan validitasnya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang sangat tinggi,” kata Mensos.

Namun yang pasti, kata Mensos, angka ini seperti fenomena puncak gunung es dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi.

Untuk menangani masalah gepeng, Mensos mendesak pemda baik provinsi maupun daerah kabupaten/kota menjadikan Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagai landasan payung hukum dalam menangani permasalahan gepeng di daerah masing-masing.

“Dengan begitu, gepeng dapat terlayani kebutuhan dasarnya dan dapat diberdayakan sesuai potensi yang ada pada dirinya sehingga dapat hidup layak sesuai norma yang ada di masyarakat,” kata Mensos.

Masih eksisnya fenomena gepeng, menurut Mensos, menunjukkan bahwa program rehabilitasi sosial belum menyentuh akar permasalahan yaitu kemiskinan. “Bila daerah-daerah miskin yang menjadi daerah asal tidak ditangani dengan baik maka persoalan gepeng akan terus berlanjut,” kata Mensos.

Kemensos selama ini serius dan berkomitmen kuat menangani gepeng. Hal ini ditunjukkan adanya program penanganan gepeng “Desaku Menanti” yaitu salah satu model penanganan gepeng dengan memberikan sentuhan komprehensif.

“Program ini tidak hanya menyentuh aspek rehabilitasi sosial saja, tapi juga memperhatikan aspek preventif, jaminan dan perlindungan sosial serta aspek pemberdayaan sosial,” kata Mensos. Kegiatan Desaku Menanti berfokus kepada penanganan keluarga gelandangan dan pengemis termasuk didalamnya anak dan orang tuanya.

Kemensos memberikan penanganan lanjutan, dalam bentuk berbagai bantuan yang diberikan, termasuk di antaranya pemberian keterampilan, pelatihan, dan bahkan bantuan modal usaha, agar mereka memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi.

Dalam kesempatan sama, Dirjen Rehabilitasi Sosial Edi Suharto menyatakan, berbagai macam program pemerintah pusat dan daerah dalam upaya penanganan gepeng sudah dilakukan baik yang bersifat, preventif, represif, dan kuratif melalui rehabilitasi sosial, namun hal ini belum mampu mengatasi secara optimal.

“Pada Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan pelaksanaan Rehabilitasi Sosial, termasuk penanganan gepeng menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota,” katanya.

Untuk mempertegas dan mengatur lebih rinci terhadap UU tersebut maka Menteri Sosial menerbitkan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 Tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial. “Salah satunya disebutkan bahwa Penanganan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis menjadi Tugas dan tanggungjawab Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota,” kata Edi.


Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sosial RI
Sonny W Manalu