Orientasi Pembangunan Infrastruktur Bencana Mensos Risma Mendapatkan Apresiasi dari Forum Infrastruktur OECD
Writer :
Indah Octavia Putri
PARIS (11 April 2024) – Forum Infrastruktur Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
Rabu siang (10/4) waktu Perancis, menyelenggarakan diskusi yang
bertujuan untuk menggali mekanisme yang efektif untuk melibatkan
masyarakat dan pemangku kepentingan dalam upaya membangun ketahanan
infrastruktur.
Hadir
dalam diskusi tersebut empat pembicara, yaitu Menteri Sosial (Mensos)
RI, Tri Rismaharini, Xavier Pelletier, Préfet (Provinsi) Loir-et-Cher,
Perancis, Grégoire Tirot, Direktur Antar Kementerian untuk Transformasi
Publik (DITP), Perancis, dan Barbara Minguez Garcia, Manajemen Bencana
McAllister & Craig, merangkap Konsultan World Bank. Sebagai
moderator, tampil Gillian Dorner, dari Direktorat Tata Kelola Publik,
OECD.
Ketahanan
infrastruktur menjadi pembahasan yang penting mengingat ada tren
peningkatan bencana alam yang signifikan akhir-akhir ini, seperti
banjir, badai, tanah longsor, gempa, serta kekeringan/kebakaran.
Pelibatan masyarakat menjadi isu penting karena tidak mudah dilakukan
menurut pengalaman di banyak negara.
Pada
kesempatan tersebut, Mensos Risma memaparkan tentang bagaimana
antisipasi bencana, penanganan selama bencana, dan pemulihan pasca
bencana di Indonesia yang justru berbasis masyarakat. Kementerian Sosial
telah melatih dan membina lebih dari 25.000 relawan Taruna Siaga
Bencana (Tagana) dari unsur masyarakat yang tersebar di seluruh
Indonesia. Ada program Tagana Masuk Sekolah (TMS) untuk melatih
penyelamatan diri, evakuasi, termasuk menghadapi gempa, dan tsunami. Ada
program Kampung Siaga Bencana (KSB) untuk menggalang kesiapan
menghadapi bencana di lingkungan yang rawan bencana.
Selain
itu, ada lebih dari 49.000 pendamping sosial yang dapat membantu saat
terjadi bencana dan dalam masa pemulihan setelah bencana. Ada pula, 613
Lumbung Sosial di 328 kabupaten/kota yang dikelola oleh komunitas untuk
menyediakan logistik yang dibutuhkan masyarakat ketika terjadi bencana.
Di dalamnya, ada persediaan makanan, pakaian, tenda, tanki air,
penjernih air, dan peralatan penerangan memakai energi matahari.
Cadangan logistik tersebut untuk mengantisipasi isolasi akibat rusaknya
infrastruktur transportasi.
Dijelaskan
pula oleh Mensos Risma contoh penanganan krisis pangan akibat cuaca
ekstrem dingin di Papua Tengah dan Papua Pegunungan, di mana distribusi
bantuan pangan dibantu oleh komunitas-komunitas gereja dan didukung
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, terdapat studi kasus di
Wini, Nusa Tenggara Timur, bantuan infrastruktur air di daerah bencana
dikelola oleh masyarakat telah berhasil meningkatkan penghasilan mereka,
melalui penanaman bunga matahari, serta sayuran seperti cabai dan
tomat.
Semua
sumber daya manusia (SDM), seperti Tagana dan Pendamping Sosial, yang
mencapai 74.000 personal tersebut terhubung secara digital dengan Command Center.
Dari peringatan yang didapat dari BMKG, hanya perlu waktu 10 menit
untuk seseorang menerima instruksi, dan hanya perlu waktu 30 menit bagi
SDM yang menerima instruksi di lokasi bencana melaporkan kondisi sekitar
yang disertai foto-foto untuk pengambilan keputusan di Command Center. Solusi teknologi digital ini telah diimplementasikan melengkapi dan berintegrasi dengan solusi berbasis masyarakat.
Jawaban
Mensos Risma mengejutkan semua peserta ketika Gillian Dorner
melontarkan pertanyaan kritis tentang apa yang menjadi kunci sukses
Surabaya sebagai kota yang tahan bencana ketika Risma menjadi Walikota
di sana, padahal Surabaya rentan banjir karena ketinggiannya hanya 2
meter di atas permukaan laut.
Mensos
Risma menjelaskan kemampuan infrastruktur pengendali banjir justru
datang dari partisipasi masyarakat sebagai kader lingkungan dalam
mengelola sampah. Dengan melakukan pemilahan dan daur ulang dalam
komunitasnya, telah mereduksi sampah Surabaya ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) menjadi sekitar 35 persen saja per harinya. Partisipasi warga
tersebut, serta didukung pembangunan infrastruktur kota, telah
menjadikan Surabaya sebagai kota yang bebas banjir saat itu.
Sebagai
Menteri Sosial, Risma telah menerapkan pengalaman pelibatan komunitas
tersebut menjadi strategi di tingkat nasional. Agar masyarakat dapat
dilibatkan, penting untuk memahami apa yang dipikirkan masyarakat untuk
menjadi prioritas dalam penanganan dampak bencana. Contohnya, ketika
menangani dampak gempa di Padang, orang tidak mau meninggalkan rumahnya,
karena tidak mau meninggalkan harta bendanya.
Belajar
dari budaya tersebut, tenda yang dibutuhkan adalah yang berukuran untuk
keluarga yang dirancangnya sendiri, bukan tenda besar yang menampung
puluhan orang. Dari seringnya gempa, Mensos Risma merancang sendiri
rumah tahan gempa, yang telah menjadi model bantuan rumah pasca gempa.
Diharapkan rancangan rumah tanpa gempa tersebut dapat ditiru masyarakat
sekitar sebagai bentuk antisipasi gempa.
Jawaban
Mensos tersebut telah dicatat sebagai kesimpulan diskusi bahwa
pemulihan infrastruktur seharusnya tidak hanya direncanakan secara top-down, tetapi juga memperhatikan apa yang menjadi pemikiran masyarakat (bottom-up). Dan sangatlah menarik jika seorang Menteri di tingkat nasional telah memperoleh pengalaman yang tuntas di tingkat lokalnya.
Barbara
pun setuju dengan strategi Mensos Risma tersebut dan mengkonfirmasi
dengan pengalamannya sebagai konsultan Bank Dunia di berbagai negara.
Gillian menutup dengan pernyataan bahwa infrastruktur harus berorientasi
pada warga, sama persis dengan orientasi yang telah diterapkan Mensos
Risma di Kementerian Sosial.
Share :