Sebuah catatan perjalanan asesmen persiapan peringatan Hari Anak Nasional 2022
Kembali melakukan perjalanan panjang ke muara Sungai Mamberamo untuk melakukan asesmen kebutuhan persiapan peringatan Hari Anak Nasional tahun 2022, berarti membuka kembali cerita masa remaja blusukan keliling Papua, sekaligus menguak keberadaan anak dan masa kanak-kanak dalam struktur masyarakat adat terpencil Mamberamo. Literatur tentang anak dalam kelompok minoritas dan keterpencilan memang sangat terbatas, namun setidaknya catatan perjalanan ini dapat menjadi masukan dalam penyelenggaraan peringatan Hari Anak Nasional, khususnya pada Kampung Warembori, Distrik Mamberamo Hilir, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua.
Perjalanan panjang bersama teman-teman satu tim dari Direktorat Komunitas Adat Terpencil (KAT) menuju Muara Sungai Mamberamo di Papua sungguh sangat menyenangkan. Bukan hanya membuka kembali lembaran-lembaran mozaik masa remaja, tetapi juga terapan etnografi kekinian dari perpaduan antar pendatang dengan masyarakat lokal, sehingga bisa melihat dari dekat Mamberamo yang saat ini telah mulai multikultur.
Perjalanan dimulai dari Jakarta, Minggu dinihari (19/6) menuju Jayapura dan singgah sesaat di BBPPKS Jayapura. Menjelang sore kami melanjutkan perjalananan darat menuju Sarmi Raya, dimana kami mengantar dua teman yang akan melakukan asesmen pada wilayah tersebut selama empat jam. Perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Sarmi dan menjelang pagi bermalam di penginapan yang ada. Tidak lagi ada pilihan, karena dua penginapan yang dituju sebelumnya telah penuh. Pertimbangan atas kondisi ketahanan fisik anggota tim yang beragam, untuk dapat melakukan perjalanan laut dan sungai saat dini hari itu, menjadikan keberangkatan ke arah Mamberamo Hilir dijadwalkan ulang keesokan paginya sesuai dengan irama pasang surut air laut dan sungai.
Dengan diantar dua teman yang akan tinggal di Kabupaten Sarmi, sesuai waktu terjadwal pada Selasa subuh, kami berenam mulai lakukan perjalanan laut dengan dua mesin dan juru mesin pensiunan kapal speedboat milik mantan Bupati, dan satu pemandu perjalanan laut. Perjalanan yang semestinya dapat ditempuh antara dua sampai tiga jam, melambung jadi enam jam karena ketiadaan navigasi pemandu dan kealpaan motoris yang mulai beranjak uzur. Tidak apa, masih ada udara laut yang menyegarkan, deru ombak dan harapan. Beruntung jika kami dapat mengulang memori terdahulu melihat kawanan lumba-lumba, mamalia jinak yang acapkali suka mengikuti kapal atau melawan arus menuju muara sungai kala subuh.
Setelah dievaluasi oleh pendamping Pdt. Frans Tanate (Sinode GKI Jayapura), kapal speedboat putar balik menuju arah dan posisi muara Sungai Mamberamo, setelah sebelumnya pelayaran mulai mengarah ke laut. Akhirnya kami sampai di hamparan pesisir Kampung Warembori yang terletak di bibir muara Sungai Mamberamo. Kedatangan tim KAT diterima secara adat dalam Kowata, upacara penyambutan tamu dari luar untuk dapat masuk ke dalam Kampung Warembori.
Saat kapal mulai merapat mendekat ke pesisir, para mama ibu mengangkat tombak, parang dan piring keramik besar. Mereka mengarahkan dua parang itu tepat ke bawah jempol kaki dan berbisik agar sepatu air saya dilepaskan. Wusss…dengan sangat sigap mama-mama mengarahkan satu jempol kaki tepat berada pada dua mata tajam golok yang beradu seperti halnya gerbang komplek Kopassus.
Saya percaya sepenuhnya pada dua mama tersebut, yakin jempol kaki saya tidak akan terluka karenanya meski ditekan kuat-kuat pada mata pisau sembari ditetes dan akhirnya diguyur dengan air muara sungai dan mulai melangkah di atas piring keramik yang ditadahkan dan kawalan mama membawa tombak kayu. Bismilah, dengan nama-Mu saya berkesempatan kembali masuk ke muara Sungai Mamberamo, tepatnya kampung Warembori yang indah.
Upacara tidak terhenti sampai disitu, tetapi dilanjutkan dengan upacara turun tanah. Tepat dibawah naungan janur kuning yang dibentang melintang jalan, dua golok besar kembali disilangkan dan jempol gendut saya ditekan diatasnya searah putaran jarum jam. Rapal doa para mama secara ritmis menggema diiringi Urure, lagu keselamatan dan suka cita penyambutan. Setelahnya saya baru diminta melompati pisau. Hap, seperti halnya atlit loncat indah melompat, saya hinggap tepat pada lembar peta diatas tanah, menyerupai gambar huruf hiragana Jepang, yang terbuat dari sagu. Luther Rumaykewi, bapak angkat saya yang kedua di tanah Papua sekaligus pemberi nama keluarga saya menjadi Rumaykewi, menjelaskan bahwa gambar sagu yang saya injak mantap itu adalah gambar hantu!
Waw, waw… saya telah menginjak hantuuuu…
Tidak terbayang saat itu bahwa gambar seperti huruf hiragana itu adalah sosok hantu yang harus saya kalahkan. Jika diberitahu lebih awal jika gambar itu adalah hantu tentunya saya akan berpikir ulang. Hantu di tanah Jawa saja saya gentar, apalagi hantu di Warembori, Papua. Untuk menghibur hati, saya mengingat ritual tarian arwah yang dulu sering saya ikuti di Asmat dan Korowai. Esensinya adalah dengan diterimanya menjadi warga dan keluarga di Kampung Warembori, maka keselamatan dan kesejahteraan menyertai.
Komunitas masyarakat di Kampung Warembori, Distrik Mamberamo Hilir terbentuk melalui kategori genealogis, keterikatan satu sama lain karena persamaan keturunan, teritorial dan menetap bersama dalam satu kawasan tertentu. Terbentuk dalam genealogis-teritorial, berada dalam ikatan satu keturunan dan juga ikatan daerah tempat tinggal. Geneologis dirunut baik dari garis bapak dan ibu, sementara Territorial dimulai dari tetangga sampai kampung. Genologis-teritorial berarti rerata kampung masih merupakan satu tali kekerabatan. Kehidupan kampung sangat kental dengan suasana komunal. Hubungan antar individu dalam masyarakat umumnya berbentuk paguyuban yang dinaungi dalam konstruksi majelis gereja, tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan, melainkan atas kepatutan, keharmonisan, dan keselarasan.
Menurut Mansur dan Keesing, kekerabatan (kinship) dalam suatu masyarakat merupakan pola hubungan yang bertalian dengan ikatan keturunan, perkawinan, dan karena wasiat. Sistem kekerabatan mengenal kelompok keluarga inti dan keluarga besar. Wujud keluarga besar terdiri dari inti senior, dan keluarga inti dari anak-anak perempuannya karena sistem keluarga mengikuti adat menetap nikah patrilokal.
Sesudah menikah, seorang perempuan menetap di lingkungan kerabat suami. Hidup dalam satu rumah dan satu kesatuan ekonomi yang diatur oleh kepala keluarga inti senior. Apabila salah satu anggota keluarga sudah kawin, ia akan pindah ke dalam satu bilik (kamar), tetapi masih dalam rumah itu juga, dan masih dalam kesatuan ekonomi dengan keluarga batih senior. Pada suatu saat keluarga batih ini berdiri sendiri secara ekonomi dan terpisah dari keluarga luas.
Kesatuan keluarga luas mendiami satu rumah inti. Kadang-kadang tidak harus satu rumah, tetapi berada pada beberapa rumah. Di Kampung Warembori, Mamberamo Hilir masih mempraktikkan sistem ini, karena pada umumnya anggota keluarga mereka mempunyai mata pencaharian yang tidak memungkinkan berpindah ke tempat lain.
Luther Rumaykewi selaku tetua adat sekaligus wakil ketua Gereja Bethel Mamberami dan mantan kepala kampung menjelaskan bahwa masyarakat di sepanjang muara Sungai Mamberamo saat ini mulai multikultur sebagai Suku Danbo, perpaduan dari hasil perkawinan dan akulturasi dari Suku Mamberamo, Manado, Ambon dan Bugis. Mereka menarik garis keturunan berdasarkan garis prinsip bilateral dengan memperhitungkan hubungan kekerabatan ke pihak laki-laki, dan pihak perempuan. Kelompok lelaki dianggap lebih tinggi daripada kelompok perempuan, terutama berkaitan dengan pembagian harta dan anggota kerabat. Meski secara faktual hubungan kekerabatan lebih intim dengan anggota pihak lelaki, disebabkan oleh adat menetap nikah patrilokal.
Kelompok kekerabatan yang lebih besar, terdiri dari orang-orang yang yang masih menyadari sebagai satu keturunan garis laki-laki selagi masih terjalin interaksi. Sesama anggota kampung saling membantu secara moral, sosial, ekonomi dan keamanan. Setiap ada upacara adat berkewajiban dalam adat membantu tenaga, material, keuangan dan akan mencoba mencarikan jalan keluar jika terjadi musibah atau gangguan keamanan. Saat ini anggota masyarakat semakin mobile sehingga mereka tidak dapat tinggal dalam satu wilayah dan ikatan antar sesamanya mulai cenderung menurun. Namun silsilah dari para kerabat dijaga dan disimpan melalui digelarnya perkumpulan yang berhubungan dengan lingkaran hidup individu, seperti pernikahan, kelahiran, dan kematian.
Bentuk kelompok lain yang tidak berdasarkan garis keturunan disebut keluarga. Hubungan antara anggota kelompok terbentuk karena persamaan kepentingan, se-gereja, seperjuangan, persamaan pekerjaan, se-kampung. Acapkali hubungan sosial ini sedemikian dekat, sehingga dapat setara, bahkan lebih tinggi, dibandingkan kelompok keturunan yang diperhitungkan secara turun-temurun.
Perlindungan anak dalam praktik budaya masyarakat Mamberamo Hilir dilakukan bertingkat. Jika anak tidak dapat dilindungi oleh orang tuanya, maka fungsi itu beralih kepada kakek dan neneknya, baik dari garis bapak maupun dari garis ibu. Fungsi itu juga dapat diambil alih oleh salah seorang saudara bapak atau ibunya. Dalam kondisi dimana anak memiliki saudara tua yang mampu, maka perlindungan dilakukan oleh saudaranya. Anak menjadi tanggung jawab bersama dari sebuah keluarga yang berjumlah lebih besar. Dengan demikian diharapkan anak akan selalu terlindungi dan dapat hidup normal hingga mampu mandiri. Anak dari keluarga tidak mampu tanggung jawab perindungan beralih pada masyarakat. Fungsi perlindungan masyarakat pertama diambil oleh ketua adat yang mampu untuk menghidupi anak sampai dewasa.
Jika semua relasi tersebut tidak ada, maka kesepakatan majelis gereja akan menghidupi anak dalam rumah noviatnya, seperti anak pendeta sendiri sambil belajar ilmu agama. Sebuah konstruksi masyarakat ideal yang sempurna, namun ternyata masih belum cukup memadai dalam upaya menangani keberadaan anak yang berada dalam kelompok minoritas dan terisolasi. Salah satu kriteria anak yang memperoleh perlindungan khusus sesuai dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Hak-hak Anak, Pasal 59 dan Undang Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979, menyebutkan anak-anak bermasalah memerlukan penanganan khusus.
Keberadaan anak dalam kelompok minoritas dan terisolasi menjadi permasalahan yang sangat kompleks di Indonesia, mengingat kondisi faktual menunjukkan besarnya jumlah populasi serta kondisinya yang memprihatinkan. Faktor penyebab potensial memungkinkan jumlahnya bertambah. Geografi, topografi dan kondisi alam yang jauh dari peradaban dan mengalami keterasingan menunjukan fluktuasi peningkatan dalam berbagai skala. Sementara upaya intervensi khususnya dukungan sosial, yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak-anak yang berada dalam kelompok minoritas dan terisolasi masih sangat terbatas. Jauh dari penghargaan dan pengakuan terhadap hak anak, khususnya hak tumbuh kembang dan partisipasi atas masa depan.
Melihat kondisi tersebut, upaya untuk menyelenggarakan Pusat Komunitas untuk anak-anak komunitas adat terpencil, yang mana merupakan kategori dari anak yang berada dalam kelompok minoritas dan terisolasi yang memerlukan perlindungan khusus, menemukan relevansinya. Beberapa pertimbangan salah satunya memiliki kecenderungan kesatuan sosial budaya yang terpisah, kurang atau belum terlibat, dalam jaringan layanan masyarakat.
Anak yang berada dalam kelompok minoritas dan terisolir merupakan salah satu dari 15 permasalahan anak memerlukan perlindungan khusus yang menjadi perhatian Kementerian Sosial RI. Diperlukan kebijakan spesifik bagi anak dalam kelompok minoritas dan terisolasi yang kondusif pada masing-masing kondisi lapangan dengan mandat mengedepankan sarana dan prasarana terkait perspektif upaya pemenuhan haknya. Anakaanak yang berada dalam kelompok minoritas dan terisolasi memiliki hak yang sama seperti anak lain, termasuk dalam penghentian label anak asli Papua dan non Papua.
Menurut Mead, dunia anak dipahami sebagai dunia sosial termasuk sosialisasi. Secara aktif anak mengamati dan berinteraksi secara fisik dan sosial sekaligus memperoleh informasi dari proses tersebut. Lebih lanjut, Mead memberikan perhatian pada sosialisasi yang menekankan pada bahasa dan pemberian peranan sebagai alat bersosialisasi.
Kecenderungan anak Kampung Warembori lebih suka menggunakan bahasa lokal dalam berkomunikasi sehari-hari, khususnya dalam aktivitas bermain. Melalui bermain dan permainan, anak berada dalam struktur yang lebih baik karena adanya aturan bermain. Aturan diberlakukan oleh anak-anak sendiri agar dapat keluar dari kesulitan dalam permainan. Melalui bermain, anak dapat belajar untuk mengorganisir dan mengontrol tindakan sesuai dengan aturan berlaku karena mereka memiliki kemampuan berbagi peran, partisipasi dalam bermain dan permainan dalam masa kanak-kanak.
Rerata anak-anak sangat menyukai permainan dengan menggunakan media bola, baik bola tenis yang digunakan sebagai bola kasti, dan bola yang lebih besar untuk sepakbola. Berikut penuturan dari partisipan anak:
"Ya ibu, saya suka kasti. harus ada aturannya agar tidak curang... menang terus!”
”Gantian ibu...main jadi senang jika tidak curang...kalu curang tidak diajak turun main lagi."
Masa kanak-kanak juga membentuk struktur khusus dan menjadi periode sementara bagi anak dari keseluruhan periode masa hidupnya. Masa kanak-kanak termasuk kategori struktural dalam masyarakat yang bersifat permanen, dimana semua anak akan mengalami masa kanak-kanak sebelum dewasa. Struktur ini akan terus ada dalam masyarakat sebagai kekuatan, memberikan kontribusi dan merupakan partisipasi aktif anak. Secara aktif masa kanak-kanak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kejadian dan perkembangan masyarakat.
”Ya, sekarang lebih seru main HP (ponsel pintar)...ada banyak mainan kaya pretorian itu seru kita bisa main rame-rame, tidak mahal, orang tua juga tidak marah, malah senang kita main komputer."
Anak-anak mulai mengembangkan budaya bermain sebaya sendiri. Mulai mengurangi permainan perang-perangan di lapangan terbuka, menggantikannya dengan berbagai permainan perang-perangan yang ada dalam fasilitas ponsel pintar. Menjadi generasi pertama digital native yang melek teknologi informasi, meninggalkan orang-tuanya yang masih menjadi immigrant native. Namun demikian, main perang di lingkungan masih menjadi prioritas. Perilaku anak ini ditunjang oleh orang tua dengan menyediakan aplikasi permainan pada ponsel pintar, menjadikan mereka makin kental membentuk diri dalam perilaku banal. Satu-satunya yang melakukan serangan balik atas berbagai kepungan industri konsumtif tersebut adalah gereja dan sekolah, dimana berbagai tatanan pekerti luhur masih kuat tertanam dalam mengembangkan karakter anak.
Keberadaan sekolah PAUD, SD, SMP di Kampung Warembori dan partisipasi anak sekolah menunjukan bahwa berbagai komponen penyelenggaraan pendidikan strata pendidikan Sekolah Dasar telah sangat mencukupi. Namun, sangat disayangkan keberadaan sekolah tersebut masih terkonsentrasi di sentra pemukiman, khususnya di sekitar gereja, sebab belum menjangkau kantong-kantong daerah kelompok minoritas dan keterpencilan. Diyakini bahwa salah satu tatanan yang masih berjalan dalam situasi minoritas dan keterpencilan adalah lembaga sekolah. Jika anak masih dapat mengakses pendidikan dalam sistem sekolah, dimungkinkan masih berpeluang untuk mempelajari tatanan kemasyarakatan yang normal dan wajar. Mereka tidak terjebak dalam fenomena feral man, manusia yang tumbuh tanpa tatanan nilai.
Diperlukan dukungan ekologi sosial hulu hilir untuk dapat memutus mata rantai anak yang berada dalam kelompok minoritas dan keterisolasian, utamanya masyarakat adat terpencil. Sejatinya, kelompok minoritas berdasar kondisi khusus seperti dalam komunitas adat terpencil ,dapat memunculkan kecenderungan diskriminasi. Terlindungi dari diskriminasi merupakan salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi dimana negara harus hadir karenanya. Tidak ada lagi kesenjangan antara anak Papua dan non Papua, semua adalah anak-anak Papua yang hebat, anak-anak Indonesia hebat!
Dituliskan kembali di Bekasi, 30 Juni 2022.