Bagi saya, Program Keluarga Harapan (PKH) adalah takdir indah Indonesia. Bukan karena saya pernah belajar dan berkarya tentangnya, tapi memang desain program prioritas nasional ini mengalir menyala.

PKH mengalir memanggul bantuan sosial hingga pelosok nusantara. Melalui PKH, rupiah tak dibiarkan berputar di ibukota belaka. Ia "dipaksa" menderas menerjang lorong-lorong sempit gang perkotaan, menelisik padatnya perkampungan, lapangnya pedesaan, menyusuri panjangnya sungai-sungai, luasnya lautan, danau, pegunungan, lembah, hutan bahkan perbatasan. Mengalirnya bantuan sosial itu mengurangi beban hidup dan meningkatkan pendapatan Keluarga Penerima Manfaat (KPM), juga mengurangi ketimpangan sosial pada saat yang sama.

Andai PKH pembangkit listrik maka SDMnya -dari pusat sampai daerah- laksana gardu, jaringan dan kabel-kabel berkualitas tinggi. Mereka menyala mengantar terang ke rumah-rumah penerima manfaat, hilangkan gelapnya kehidupan, memantik semangat mengakses kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Jejaringnya mengusung perubahan perilaku, membangun modal sosial berupa trust, network, dan nilai-nilai perubahan, meningkatkan kapasitas kepesertaan hingga 'entas' graduasi dari keterpurukan. 

Tak heran, jika hari ini telah hadir generasi harapan yang lahir dari rahim PKH. Berapa banyak pengusaha, konsultan, pegawai pemerintah pusat dan daerah, legislator, tentara, juara olimpiade internasional, tenaga pendidik, pemuka agama, doktor pengajar di universitas-universitas ternama, dan sekian profesi strategis lainnya adalah anak-anak KPM PKH dan juga eks SDM PKH? Ini bukti bahwa PKH bukan sekadar mengalirkan bantuan sosial, namun juga menyalakan kualitas hidup manusia. 

Orkestra

PKH bukanlah program kemarin sore yang mudah menggoda pelakunya. Ia terbukti agile bak air bah yang mampu memutar turbin kebermanfaatan. Tujuh kali berganti nahkoda Kementerian Sosial hingga saat ini, semua "jatuh hati" membawa PKH arungi bahtera menuju kesempurnaan dengan caranya masing-masing.

Bahkan, dalam orkestra pengentasan kemiskinan di Indonesia, PKH sering didapuk sebagai dirigennya, mengatur pertunjukan melalui gerak isyarat menghasilkan harmoni tiada dua. Inklusifnya, PKH mengandung magnet. Saya menjadi saksi ketika 2014 PKH "diujung tanduk" dipertaruhkan keberlangsungannya, justru dukungan berbagai pihak mengalir deras menginginkan berlanjutnya program ini. 

Sampai sini, saya ingin cium tangan para founding fathers karena telah melahirkan program sehebat PKH. Salim! Dan kepada penerusnya, baik yang masih mengampu program, maupun yang telah melaju di berbagai bidang, namun tetap mendukung kepentingan PKH. Salam takzim

So, tiada kata pisah dengan PKH sebab kontribusi, bukan hanya saat menggunakan seragamnya, namun seberapa besar pembelaan terhadapnya begitulah sejarah berbicara.

Terakhir, saya ingin menukil sebait lirik gubahan Tulus dalam lagu Monokrom, 
“Di manapun kalian berada, kukirimkan terima kasih, untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah, kau melukis aku.”