Makanan merupakan salah satu aspek fundamental dalam kehidupan manusia yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik tetapi juga berpengaruh besar terhadap perilaku sosial individu (Satter, 2007). Dalam konteks sosial, makanan dapat berfungsi sebagai alat komunikasi, simbol identitas, serta penguat hubungan antarindividu (Counihan, 1999; Lévi-Strauss, 1966; Visser, 1991). Korelasi antara makanan sehari-hari dan perilaku sosial individu ini patut dicermati, mengingat bahwa kebiasaan makan sering kali mencerminkan nilai-nilai dan budaya suatu masyarakat (Fischler, 1988).

Pertama-tama, mari kita bahas peran makanan sebagai alat komunikasi. Dalam masyarakat, makanan sering kali menjadi bagian integral dari pertemuan sosial (Sutton, 2001). Acara seperti pernikahan, ulang tahun, atau pertemuan keluarga sering kali diwarnai dengan hidangan khas yang disajikan. Dalam konteks ini, makanan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan individu-individu dari berbagai latar belakang. Melalui berbagi makanan, individu tidak hanya berbagi nutrisi tetapi juga cerita, tradisi, dan nilai-nilai yang mereka anut (Kittler & Sucher, 2017; Patterson, 2015; Mintz & Du Bois, 2002). Oleh karena itu, makanan dapat dianggap sebagai medium yang menyatukan individu dalam interaksi sosial, memperkuat ikatan antarpersonal, dan menciptakan rasa kebersamaan dalam komunitas.

Selanjutnya, makanan juga memiliki kekuatan simbolis yang erat kaitannya dengan identitas sosial. Setiap kelompok sosial atau etnis memiliki makanan khas yang merefleksikan budaya dan tradisi mereka. Misalnya, makanan tradisional seperti rendang bagi masyarakat Minangkabau (Sukri, 2017) atau sushi bagi masyarakat Jepang (Henderson, 2014) tidak hanya berfungsi sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai simbol identitas (Mintz, 1996). Ketika mengonsumsi makanan khas dari budayanya, individu tidak hanya menikmati rasa tetapi juga merasakan kebanggaan akan identitas tersebut. Dengan kata lain, makanan menjadi alat untuk mengekspresikan diri dan memperkuat rasa kekeluargaan di antara anggota kelompok (Lupton, 1996).

Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa variasi dalam pilihan makanan sehari-hari juga dapat menciptakan perbedaan dalam perilaku sosial. Misalnya, individu yang mengadopsi pola makan vegetarian atau vegan mungkin mengalami tantangan dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya yang mengonsumsi makanan hewani (Beardsworth & Keil, 1997; Fox & Ward, 2008; Jabs & Devine, 2006). Ketidaksesuaian dalam preferensi makanan ini dapat memicu perdebatan atau bahkan konflik sosial, terutama jika individu merasa nilai-nilai mereka dipertanyakan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa pilihan makanan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan pribadi tetapi juga dapat mencerminkan nilai-nilai sosial, etika, dan lingkungan yang lebih luas (Pollan, 2006).

Di sisi lain, perilaku sosial individu juga dapat mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Lingkungan sosial, termasuk keluarga, teman, dan komunitas, memiliki peran besar dalam membentuk pola makan sehari-hari (Sobal & Bisogni, 2009). Misalnya, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola makan sehat dan seimbang cenderung akan mengadopsi kebiasaan serupa di kemudian hari (Fisher & Birch, 1999). Sebaliknya, individu yang berada dalam lingkungan sosial yang mengedepankan makanan cepat saji dan tidak sehat mungkin akan kesulitan untuk mengubah pola makan mereka, meskipun mereka menyadari dampak negatif dari pilihan tersebut (Bandura, 2004). Dalam hal ini, kita dapat melihat hubungan timbal balik antara makanan dan perilaku sosial, masing-masing saling memengaruhi dan membentuk satu sama lain.

Selain itu, tren makanan yang berkembang di masyarakat juga dapat menciptakan fenomena sosial yang signifikan. Munculnya berbagai jenis makanan internasional, seperti makanan Korea, Jepang, atau Barat, menunjukkan bahwa individu semakin terbuka terhadap variasi makanan dari budaya lain. Hal ini tidak hanya memperkaya pilihan makanan tetapi juga menciptakan interaksi sosial yang lebih beragam (Ritzer, 2010; Koc & Welsh, 2001). Restoran, kafe, dan pasar makanan yang menyajikan hidangan dari berbagai belahan dunia menjadi tempat individu dari latar belakang sosial yang berbeda dapat bertemu, saling berbagi, dan belajar tentang budaya satu sama lain. Dengan demikian, makanan menjadi sarana untuk merayakan keberagaman dan memperkuat toleransi dalam masyarakat multikultural (Ritzer, 2010).

Tidak kalah penting adalah pertimbangan aspek kesehatan dalam hubungan antara makanan dan perilaku sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya pola makan sehat makin meningkat. Gerakan hidup sehat yang mengedepankan konsumsi makanan organik, bebas gluten, atau rendah gula telah menjadi tren yang diikuti oleh banyak individu (Mason & Lang, 2017). Hal ini memicu perubahan dalam perilaku sosial (Smith, 2013). Orang-orang mulai lebih memperhatikan pilihan makanan mereka dan berusaha untuk berinteraksi dengan sesama yang memiliki pola makan serupa. Aktivitas seperti kelas memasak sehat, kegiatan komunitas vegetarian, atau acara kuliner yang fokus pada makanan sehat semakin marak, menciptakan ruang bagi individu untuk berkolaborasi dan berbagi pengalaman terkait pola makan yang lebih baik.

Dalam konteks globalisasi, dampak makanan terhadap perilaku sosial individu juga meluas. Makanan cepat saji, misalnya, tidak hanya menjadi fenomena di negara Barat tetapi juga merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara berkembang (Ritzer, 2010). Meskipun menawarkan kemudahan dan kecepatan, fenomena ini sering kali mengubah cara individu berinteraksi dengan makanan dan sesama. Munculnya budaya pesan-antar-online dapat mengurangi kesempatan untuk berkumpul dan berbagi makanan secara tradisional, yang dapat memengaruhi dinamika sosial dalam komunitas, bahkan keluarga (Schlosser, 2001).

Secara keseluruhan, korelasi antara makanan sehari-hari dan perilaku sosial individu merupakan fenomena yang kompleks dan saling terkait. Makanan bukan hanya sekadar nutrisi, tetapi juga merupakan cermin dari identitas sosial, alat komunikasi, dan pengaruh dari lingkungan sosial. Dalam masyarakat yang semakin modern dan beragam, penting bagi kita untuk memahami dan menghargai hubungan ini, serta berupaya untuk menciptakan interaksi sosial yang lebih positif melalui makanan. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan saling menghargai. Perbedaan dalam pilihan makanan tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi jembatan untuk saling memahami dan berbagi.