Kecenderungan manusia untuk melanggar aturan merupakan fenomena yang sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu dalam konteks sosial, hukum, maupun etika. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan perilaku individu atau kelompok yang melakukan tindakan di luar norma yang telah ditetapkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh, mulai dari pelanggaran lalu lintas, kecurangan dalam dunia pendidikan, hingga pelanggaran dalam lingkungan kerja. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan karakter individu, tetapi juga dapat dihubungkan dengan faktor-faktor sosial dan psikologis yang lebih kompleks (Hofmann, Vohs, & Baumeister, 2012).

Salah satu alasan utama mengapa manusia cenderung melanggar aturan adalah adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pribadi yang mendesak (Tyler, 2006). Dalam banyak kasus, individu mungkin merasa bahwa melanggar aturan adalah cara tercepat untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya, seorang Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) melarikan diri dari balai/sentra tempatnya menjalani rehabilitasi untuk bisa terbebas dari segala bentuk belenggu kedisiplinan, meskipun ia mengetahui bahwa tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan. Dalam konteks ini, pelanggaran aturan sering kali dianggap sebagai jalan pintas yang lebih mudah dibandingkan dengan usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan dengan cara yang benar. Jika yang bersangkutan memiliki kesadaran dan pemahaman yang memadai, ia akan bertahan hingga masa rehabilitasinya usai.

Selain itu, faktor lingkungan juga berperan penting dalam kecenderungan ini. Dalam masyarakat di mana norma-norma sosial tidak ditegakkan secara konsisten, individu cenderung merasa bahwa pelanggaran terhadap aturan adalah hal yang dapat diterima. Misalnya, dalam suatu komunitas penghuni asrama di balai/sentra, di mana pelanggaran sudah menjadi kebiasaan lantaran tidak adanya aturan yang jelas, spesifik, dan mendetail, individu akan lebih cenderung mengulangi pelanggaran karena merasa bahwa tindakan tersebut tidak akan mendapatkan konsekuensi yang serius. Lingkungan yang permisif terhadap pelanggaran aturan dapat menciptakan budaya di mana tindakan tersebut dianggap normal dan wajar. Hal tersebut menyebabkan adanya “kekosongan aturan” tentang suatu tindak pelanggaran tertentu sehingga menampakkan celah yang dapat dimanfaatkan oleh individu.

Faktor lain yang memengaruhi kecenderungan manusia untuk melanggar aturan adalah persepsi tentang keadilan dan ketidakadilan (Adams, 1995). Seringkali individu merasa bahwa aturan yang ada tidak adil atau tidak relevan dengan kondisi mereka. Misalnya, dalam situasi ketika aturan yang berlaku dianggap terlalu ketat atau tidak mempertimbangkan realitas kehidupan sehari-hari, individu mungkin merasa berhak untuk melanggar aturan tersebut. Dalam hal ini, pelanggaran aturan menjadi bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan, meskipun solusi yang diambil tidak selalu konstruktif.

Persepsi tentang otoritas juga memengaruhi kecenderungan untuk melanggar aturan. Kelman dan Hamilton (1989) mengatakan, jika individu merasa bahwa otoritas yang menetapkan aturan tersebut tidak memiliki legitimasi atau kredibilitas, mereka akan lebih cenderung untuk melanggar aturan. Misalnya, dalam konteks pemerintahan, jika masyarakat merasa bahwa para pemimpin mereka tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, mereka mungkin akan merasa berhak untuk mengabaikan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam situasi seperti ini, pelanggaran aturan menjadi bentuk penolakan terhadap otoritas yang dianggap tidak layak.

Dalam dunia digital saat ini, pelanggaran aturan juga semakin mudah dilakukan. Menurut Lessig (2006), dengan kemajuan teknologi dan aksesibilitas informasi yang tinggi, individu dapat dengan mudah menemukan cara untuk melewati batasan yang ada. Misalnya, PPKS yang setelah menonton beberapa konten di media sosial, menjadi punya ide untuk melakukan perisakan terhadap sesama PPKS di lingkungan asrama tanpa diketahui pihak berwenang, khususnya pengasuh, pembina asrama, dan pekerja sosial. Mereka merasa tidak akan tertangkap atau bahwa tindakan tersebut tidak berdampak signifikan. Dalam konteks ini, pelanggaran aturan sering kali dipandang sebagai tindakan yang tidak berisiko tinggi, sehingga semakin banyak orang yang melakukannya.

Dari analisis di atas, jelas bahwa melanggar aturan memiliki kecenderungan untuk berakhir buruk. Namun, King (1963) memberi perspektif berbeda, Ia menyatakan bahwa melanggar aturan tidak selalu memiliki dampak negatif. Dalam beberapa konteks, pelanggaran terhadap aturan dapat menjadi bentuk inovasi atau perubahan sosial yang diperlukan. Sejarah mencatat banyak contoh dimana individu atau kelompok melanggar aturan yang ada untuk memperjuangkan keadilan atau menciptakan perubahan yang lebih baik. Misalnya, gerakan hak sipil di Amerika Serikat pada tahun 1960-an sering kali melibatkan pelanggaran terhadap hukum yang dianggap tidak adil. Dalam kasus ini, pelanggaran aturan yang dilakukan justru membuka jalan bagi perubahan yang lebih positif dalam masyarakat.

Kendati demikian, penting untuk menemukan keseimbangan antara kepatuhan terhadap aturan dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Aturan yang ada seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai batasan, tetapi juga sebagai panduan untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, perlu ada dialog antara masyarakat dan pengambil keputusan untuk memastikan bahwa aturan yang ada tetap relevan dan adil. Upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kepatuhan terhadap aturan juga perlu dilakukan, baik melalui pendidikan formal ataupun informal, pembinaan mental/spiritual, maupun kampanye kesadaran publik.

Dalam konteks pelayanan kesejahteraan sosial, para pekerja sosial profesional sangat berperan signifikan dalam merancang pendekatan komprehensif terhadap PPKS. Mereka dituntut mengembangkan dan menerapkan sikap disiplin sekaligus tetap manusiawi, adil, dan proporsional serta memberi teladan yang baik demi terlaksananya refungsionalisasi sosial bagi PPKS. Bukan tidak mungkin, dari sana akan tercipta berbagai success story dari para PPKS yang telah masuk dalam tahap resosialisasi.

Dalam konteks teknologi informasi, sangat penting untuk meningkatkan literasi digital para PPKS agar mampu memanfaatkan media sosial secara positif. Meski generasi saat ini disebut-sebut sebagai digital native, tidak semuanya memiliki kemampuan sama dalam menyikapi dan memanfaatkan teknologi (Hargittai, 2010). Pendidikan, status ekonomi, latar belakang budaya, dan berbagai faktor lainnya sangat menentukan sikap dan perilaku individu terhadap media sosial.

Sebagai kesimpulan, kecenderungan manusia untuk melanggar aturan adalah bagian kompleks dari perilaku sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, pengaruh lingkungan, persepsi tentang keadilan, dan sikap terhadap otoritas adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap fenomena ini. Walau pelanggaran aturan dapat membawa dampak negatif, dalam beberapa konteks, tindakan tersebut juga dapat menjadi pemicu perubahan positif. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus merenungkan dan mendiskusikan batasan antara kepatuhan terhadap aturan dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan, agar dapat mencapai keseimbangan yang berkelanjutan dalam kehidupan sosial.