Pada tanggal 17-22 Oktober 2022 yang lalu, saya dan rombongan dari Sentra “Abiyoso” mengikuti kegiatan High-level Intergovernmental Meeting di Hotel Fairmont, Jakarta. Kegiatan ini diselenggarakan oleh United Nation-the Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) berkolaborasi dengan Kementerian Sosial RI. Puncak acara sebenarnya berlangsung pada 19-21 Oktober, tapi kami telah berada di lokasi sejak 17 Oktober untuk mempersiapkan sarana yang diperlukan.
Kehadiran kami dari Sentra “Abiyoso” kala itu memang bukan sebagai peserta inti, melainkan sebagai bagian dari kesekretariatan, tepatnya sebagai penyedia layanan literasi braille. Ketika ada peserta yang memerlukan materi dalam format braille, kami lah yang ditugaskan mencetaknya.
Memang tidak banyak pengalaman yang saya peroleh selama kegiatan karena kami diarahkan untuk selalu siaga di tempat, mengantisipasi sekiranya ada yang membutuhkan layanan pencetakan braille. Alhasil, selama enam hari itu saya tidak bisa jauh-jauh dari ruang tempat printer braille diletakkan.
Meski demikian, ada satu hal yang benar-benar menyengat kesadaran saya yakni ihwal braille itu sendiri. Kita semua tahu bahwa braille adalah sistem baca-tulis yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas netra. Namun, mungkin masih jarang yang memahami bahwa sejatinya, tiap negara menganut sistem braille yang berbeda. Ada yang memang menyusun sistemnya sendiri, ada pula yang menganut sistem dari negara lain yang dianggap relevan.
Terus terang, kami sempat melakukan kekeliruan dalam melayani permintaan pencetakan braille dari peserta pertama yang memanfaatkan layanan kami saat itu. Materi yang diberikan untuk di-braille-kan berbahasa Inggris dan peserta yang memesannya berasal dari delegasi Bhutan. Alih-alih mencetaknya dalam sistem braille yang berlaku secara internasional, kami malah menggunakan sistem braille bahasa Indonesia. Meski huruf-hurufnya tetap sama, ada sejumlah tanda baca yang memiliki makna berbeda. Untungnya kami segera menyadari hal itu, kemudian mencetak yang baru menggunakan sistem braille internasional. Pemesannya pun dapat memaklumi dan bersedia menukar hasil cetak yang pertama dengan yang baru.
Para pengalih huruf memang sempat waswas ketika mencetak huruf braille menggunakan standar internasional, tapi itu semata-mata lantaran belum terbiasa. Selama ini Abiyoso memang cukup sering mencetak bahan bacaan berbahasa Inggris, tapi mayoritas tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Maka dari itu, sistem yang digunakan pun tetap sistem braille Indonesia.
Sungguh pengalaman ini memberi pencerahan gilang-gemilang bagi saya. Fakta ini menyadarkan saya bahwa betapa penting untuk menguasai sistem braille yang berlaku secara internasional! Dengan menguasainya, kita dapat membantu memenuhi kebutuhan literasi masyarakat, dari tingkat lokal, nasional, hingga masyarakat global. Benar-benar peluang emas berlian bagi lembaga mana pun yang mengampu pengelolaan literasi braille, apalagi di era sekarang ini, ketika inklusi gencar digaungkan.
Inklusifitas menjadi hal yang niscaya perlu diterapkan dalam seluruh lini kehidupan masyarakat saat ini. Untuk itu, peran literasi inklusi pun makin dibutuhkan.
Bisakah kita membayangkan berapa fasilitas dan layanan publik di seluruh Indonesia yang perlu aksesibilitas agar mudah dimanfaatkan oleh disabilitas netra? Mesin ATM, lift, pintu ruangan, petunjuk penggunaan obat-obatan, label merk dan harga, artikel jurnal (nasional dan internasional), petunjuk arah, dan lain-lain, tentu sangat perlu untuk mudah diakses oleh siapa pun, termasuk disabilitas netra.
Huruf braille ataupun keterangan berbasis audio benar-benar dibutuhkan untuk memberikan akses bagi disabilitas netra. Manakala upaya-upaya ke arah sana secara konsisten dilakukan, saya optimistis Indonesia dapat terus melaju menuju masyarakat yang inklusif dan humanis.