Konsep pelayanan sosial dalam kerangka program-program kesejahteraan sosial yang dituangkan di berbagai peraturan yang ada tidak terlepas dari minimal tiga domain utama, yakni Pemberdayaan Sosial, Rehabilitasi Sosial serta Perlindungan dan Jaminan Sosial. Muara sasarannya juga dipastikan tertuju kepada individu, keluarga, komunitas atau kelompok yang termarginalkan (residual). Dikalangan pelayan, pelaku, penggerak, pegiat pekerjaan sosial di Indonesia, sasaran penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini dimasukkan ke dalam kategori Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau istilah lainnya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Sebagai penyandang masalah atau pemerlu
pelayanan tentunya bersinggungan dengan pemenuhan hak-hak sosial dasar yang
layak mereka dapatkan sesuai kapasitas dan kebutuhan yang sedang dialaminya.
Memang pada
sisi lain kesadaran untuk mendeteksi tumbuh kembang anak usia dini bukan hanya
terjadi pada keluarga kurang mampu yang pastinya sangat rendah perhatiannya
bahkan justru dikalangan orang yang berkecukupan dan memiliki status sosial
yang tinggi pun sering kebablasan. Bisa dibayangkan bagaimana peliknya
permasalahan sosial yang dihadapi keluarga tidak mampu, kebutuhan perut juga masih
menjadi masalah pokok bagi mereka apalagi ditambah dengan kondisi anak
berkebutuhan khusus tentunya memilukan sekali. Lalu, siapa lagi yang peduli
dengan hal ini selain instansi yang mengurusi pelayanan sosial.
Berangkat dari semakin tingginya permintaan pelayanan
sosial terhadap anak berkebutuhan khusus terutama di daerah yang belum memiliki
atau pun memiliki namun sangat minim dan terbatas baik sarana prasarana,
kebijakan daerah, anggaran, hingga sumber daya manusia, tentunya kenyataan ini semakin
menguatkan pentingnya pemahaman edukasi, motivasi dan informasi kepada mereka
tentang perlunya deteksi dini anak-anak berkebutuhan khusus. Salah satunya
adalah perlunya pelibatan tenaga-tenaga terapis wicara dalam memberikan
pembekalan dan penyuluhan secara masif dan melembaga.
Kolaborasi pelaksanaan fungsi antara pelayanan sosial
dengan pelayanan kesehatan sekaligus pendidikan nampaknya suatu keharusan
sehingga diharapkan mampu memutus mata rantai atau paling tidak ada upaya
pencegahan dan penanganannya sesuai standar untuk menghentikan persoalan baru
bagi keluarga tidak mampu guna memberikan pengetahuan, wawasan, dan juga
bimbingan menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus ini. Kehadiran Pusat Layanan
Autis, SLB, Yayasan Disabilitas, Ruang Terapi Berbayar di Rumah Sakit, klinik
kesehatan yang keberadaan di kota ternyata belum mampu menjangkau layanan lebih
luas baru sebatas wilayah terdekat dan itu pun dibatasi layanannya meskipun
sebagian berbayar. Bagaimana dengan si miskin nan jauh di sana…..!?
Lambat bicara atau lambat belajar bagian dari
disabilitas intelektual yang harus menjadi perhatian serius khususnya yang
menangani rehabilitasi sosial baik dalam panti maupun luar panti. Kewenangan
penanganan baik pendekatan pelayanan dalam panti maupun luar panti jangan
diperdebatkan terlalu vulgar yang hanya menambah penderitaan orang-orang yang
termarginalkan. Di daerah hiruk pikuk pembahasan batas-batas tentang itu masih
dijadikan kendala dan penghalang dalam memberikan pelayanan sosial
sesungguhnya, belum lagi dihadapkan dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Perihal
sarana prasarana layanan saja masih teledor dan ‘memble’, bagaimana dengan
sumber daya manusia pendukungnya. Sungguh kondisi ini, jika tidak dipahami
dengan bijak berimplikasi pada pengabaian pemenuhan hak-hak konstitusi yang
sudah diamanahkan. Rentang kemiskinan bisa jadi diwarisi dengan sempurna oleh
keluarga tidak mampu kepada anak-anaknya, bisa dibayangkan kegetiran hidup yang
akan diterima dan dialaminya di masa datang.
Di penghujung tulisan ini, tentunya kita semua tidak berharap perpanjangan kemiskinan membayangi generasi nanti, pangkas garis kemiskinan dari kebodohan karena itulah awal sumber petaka segalanya. Lebih elok hidup miskin tapi tidak bodoh, daripada bodoh tapi hidup miskin lagi, lengkap sudah kisahnya. Agar semua itu sedini mungkin bisa dihindari, ayo kita kawal generasi (keluarga kurang mampu) sejak kelahiran hingga usia tumbuh kembang dengan memberikan edukasi dan pelayanan maksimal tentang pentingnya terapi wicara bagi anak lambat belajar atau lambat bicara secara proaktif dan gratis melalui lembaga-lembaga pemerintah/pemda secara masif. Lekatkan pada program-program pelayanan sosial dengan memperluas informasi dan edukasi melalui pengembangan kemitraan dan jejaring kerja guna memaksimalkan penjangkauan layanannya.
Mari sudahi cerita kelam mereka, ayo cerdaskan mereka
dengan generasi yang kuat, sehat dan semangat hidup yang tinggi agar memiliki
kemampuan mengurai ketidakberdayaan menjadi sebuah asa yang menunggu di sana.