Masalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sering kali menarik perhatian publik, terutama ketika terjadinya insiden kekerasan yang melibatkan mereka. Beberapa kasus terbaru, seperti serangan senjata tajam yang dilakukan oleh seorang ODGJ berinisial MW di Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, serta peristiwa serupa di Sukabumi dan Bekasi, menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh individu yang mengalami gangguan kejiwaan merupakan masalah yang perlu ditangani dengan lebih serius.


Tantangan dalam Penanganan ODGJ

Orang dengan gangguan jiwa sering kali menghadapi stigma sosial yang berat. Selain itu, mereka juga kerap tidak mendapatkan penanganan medis dan psikososial yang memadai (Corbiere et al, 2012). Fasilitas perawatan yang tidak memadai, sedikitnya tenaga profesional kesehatan mental, dan minimnya koordinasi antar lembaga sosial dan kesehatan adalah beberapa masalah yang masih terjadi dalam penanganan ODGJ di Indonesia (Fadly, 2024).

Kasus kekerasan yang melibatkan ODGJ menyoroti beberapa tantangan mendasar dalam pendekatan sosial dan kesehatan terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa. ODGJ seperti MW yang menyerang warga dengan senjata tajam menunjukkan ketidakmampuan sistem dalam melakukan intervensi dini sebelum kondisi mereka memburuk dan menjadi ancaman bagi masyarakat.


Praktik Pekerjaan Sosial dalam Penanganan ODGJ

Pekerja sosial berperan penting dalam menangani masalah yang dihadapi ODGJ. Dalam praktik pekerjaan sosial, terdapat beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa ODGJ mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

Pertama, pekerja sosial harus mampu mengidentifikasi dini tanda-tanda gangguan jiwa di masyarakat melalui pendekatan berbasis komunitas. Pelibatan keluarga dan lingkungan terdekat dalam proses ini sangat penting karena mereka lah pihak yang pertama kali menyadari perubahan perilaku pada individu dengan gangguan jiwa.

Kedua, pekerja sosial harus berkoordinasi dengan tenaga kesehatan mental (psikiater dan psikolog) untuk memberikan intervensi medis yang tepat. ODGJ seperti MW, yang tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai, dapat menjadi lebih rentan terhadap perilaku agresif dan kekerasan. Kolaborasi yang kuat antara pekerja sosial dan tenaga kesehatan mental sangat penting untuk memastikan intervensi yang tepat dan efektif bagi ODGJ, terutama bagi individu yang berisiko tinggi seperti MW.

Ketiga, pekerja sosial berperan aktif dalam memberikan edukasi publik mengenai gangguan jiwa dan pentingnya penanganan yang tepat untuk mengurangi stigma terhadap ODGJ. Sering kali keluarga atau masyarakat enggan melaporkan individu dengan perilaku yang mengkhawatirkan karena stigma tersebut. Maka, persepsi masyarakat harus diubah agar lebih banyak orang dengan gangguan jiwa dapat diidentifikasi dan mendapatkan perawatan sebelum terlibat dalam situasi kekerasan.

Keempat, pekerja sosial turut terlibat dalam penanganan pasca-krisis kasus kekerasan yang dilakukan ODGJ. Pendampingan keluarga korban dan evaluasi pada individu yang melakukan kekerasan perlu dilakukan oleh pekerja sosial untuk mengetahui apakah mereka menerima perawatan yang memadai sebelumnya atau tidak. Selain itu, pekerja sosial harus memastikan krisis ditangani dengan cara yang aman, menghormati hak-hak ODGJ, serta memastikan perlindungan bagi masyarakat.

Banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan ODGJ menunjukkan perlunya evaluasi lebih lanjut terhadap program kesehatan mental dan praktik intervensi pekerja sosial di Indonesia. Sistem kesehatan mental harus lebih responsif, sedangkan pekerja sosial perlu didorong untuk lebih proaktif dalam melakukan intervensi. Layanan sosial yang efektif akan mencakup pendekatan multidisiplin dengan melibatkan tenaga kesehatan mental, lembaga hukum, komunitas, serta keluarga ODGJ.

Selain itu, pendekatan berbasis komunitas harus diperkuat, di mana pekerja sosial berperan sebagai penghubung individu dengan gangguan jiwa, keluarga, serta layanan kesehatan mental. Maka, diharapkan kasus kekerasan oleh ODGJ dapat diminimalisir melalui upaya preventif yang lebih optimal.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengatasi stigma terhadap ODGJ melalui edukasi publik sebagai langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan peduli. Pekerja sosial memainkan peran sentral dalam merancang kampanye edukasi yang mengikutsertakan ODGJ serta bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendukung kesehatan mental. Melalui pendekatan sistematis dan berkelanjutan, stigma terhadap ODGJ dapat berkurang, dan akses terhadap layanan kesehatan mental pun akan meningkat.

Tak dapat dipungkiri bahwa kejadian kekerasan oleh ODGJ merupakan masalah kompleks yang memerlukan solusi multidisiplin. Pekerja sosial berperan penting dalam mencegah dan menangani kekerasan oleh ODGJ melalui pendekatan berbasis komunitas, intervensi dini, serta edukasi publik. Dukungan kebijakan dan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental juga menjadi kunci penting dalam mengurangi risiko serangan oleh ODGJ di masa depan.