Penulis :
Humas Ditjen Rehsos
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Intan Qonita N
YOGYAKARTA (12 Oktober 2020) - Kementerian Sosial RI kembali menegaskan implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas perlu peran berbagai pihak. Hal ini disampaikan Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Harry Hikmat dalam kegiatan Bimbingan Teknis Pendampingan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Penyandang Disabilitas Mental.
Beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi amanat dari UU Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas telah dibuat. Salah satunya rancangan PP mengenai Habilitasi dan Rehabilitasi kini sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Harry mengamanatkan bahwa proses habilitasi dan rehabilitasi merupakan tugas dari Balai Rehabilitasi Penyandang Disabilitas, salah satunya Balai Disabilitas "Margo Laras" Pati sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Kemensos.
Terdapat ragam penyandang disabilitas mental, yaitu Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK merupakan orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan, perkembangan dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko gangguan jiwa.
ODMK yang tidak ditangani sejak dini akan menjadi ODGJ, yaitu orang mengalami gangguan fikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, dapat menimbulkan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Dari dashboard Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) Penyandang Disabilitas yang dibangun oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos, Ada kategori ragam disabilitas beserta kombinasinya. Sudah terdata sebanyak 85.048 penyandang disabiliras mental berdasarkan by name by address (BNBA). "Namun data ini masih harus di-update dan diverifikasi ulang," sebut Harry.
Kemensos menganggap penting untuk merekonstruksi ulang penanganan penyandang disabilitas mental, maka lahirlah kebijakan rehabilitasi sosial berupa Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) sebagai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Melalui ATENSI juga akan diwujudkan penguatan sistem rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. ATENSI juga sebagai upaya untuk perluasan jangkauan rehabilitasi sosial melalui pendekatan berbasis keluarga, komunitas dan residensial.
Hal yang perlu diketahui oleh para pihak yang terlibat dalam rehabilitasi sosial bahwa ODGJ dapat disebabkan oleh faktor biologis, yaitu genetik atau aspek keturunan, faktor neurotransmitter, yaitu masalah yang tejadi pada neurotransmitter seseorang atau faktor lingkungan, yaitu tekanan dari lingkungan keluarga, pekerjaan maupun lingkungan sosial.
Salah satu isu ODGJ yaitu pemasungan yang disebabkan karena keluarga bingung menangani, tidak dapat akses terhadap bantuan dan layanan yang dibutuhkan. Beberapa cara pemasungan dilakukan dengan menggunakan kayu, dirantai, dikandangi, dikunci di dalam kamar, diasingkan di tengah hutan dan berbagai bentuk pengekangan fisik lainnya.
Pemerintah melalui Kemensos telah mencanangkan Gerakan Stop Pemasungan 2019 bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Polri dan BPJS. Di tahun 2019 juga sebanyak 9.601 Puskesmas yang tersebar di 34 provinsi mampu menangani ODGJ.
Oleh sebab itu, Harry berpesan bahwa peran pemerintah daerah dan dukungan sumber daya manusia juga sangat diperlukan dalam penanganan ODGJ. "Penanganan penyandang disabilitas harus dinamis dan integratif dengan balai, panti dan istitusi lain. Harus saling menguatkan," tegasnya.
Komponen utama dalam ATENSI yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, pengasuhan/perawatan sosial, terapi dan dukungan keluarga bagi penyandang disabilitas. Hal ini bisa dilakukan di keluarga, komunitas dan/atau di Balai/Panti sesuai dengan hasil asesmen komprehensif.
Kemensos mendorong implementasi ATENSI di keluarga, karena keluarga menjadi tempat terbaik dalam perawatan penyandang disabilitas. Namun ketika keluarga tidak mampu melakukan perawatan, maka keberadaan LKS menjadi penting dalam penerapan ATENSI berbasis komunitas, karena LKS menjadi lembaga yang paling dekat keberadaannya dengan komunitas.
Harry berpesan bahwa Balai Disabilitas "Margo Laras" Pati akan berperan untuk memastikan dan melakukan pendampingan pada lembaga maupun keluarga dalam memberikan terapi okupasi maupun vokasi. Balai juga akan menjadi Sentra Layanan Sosial (SERASI) yang mampu memberi layanan kepada seluruh ragam disabilitas yang merentang dari usia dini hingga lanjut usia.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Balai Disabilitas "Margo Laras" Pati pada tanggal 11 sampai 12 Oktober 2020 di Hotel Cavinton Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti oleh 30 peserta yang terdiri dari Pengurus LKS Budi Makarti Boyolali, LKS Pandi Purworejo, LKS Tirto Jiwo Purworejo, LKS Gelimas Jiwo Yogyakarta, Dinas Sosial Kabupaten Boyolali, Dinas Sosial P3A Kabupaten Purworejo dan Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo.
Bagikan :