Penulis :
OHH Ditjen Rehsos
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Intan Qonita N
PADANG (2 November 2020) - Kementerian Sosial Melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial berkomitmen untuk memastikan ada kebijakan yang mendukung upaya menekan dampak buruk (harm reduction) lebih kuat daripada pengurangan permintaan (demand reduction) bagi Gangguan Penggunaan Zat (GPZ)/ Korban Penyalahgunaan NAPZA. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Harry Hikmat pada kegiatan Pelatihan Konselor Adiksi Penanggulangan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA) yang diselenggarakan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang.
“Perlu sosialisasi yang lebih intensif tentang dampak buruk bila menggunakan NAPZA, dibanding memperluas tindakan hukum/pidana dan perlu sistem pemantuan yang lebih ketat” kata Harry. Pengurangan dampak buruk ini merupakan perubahan paradigma dalam pembuatan kebijakan yang semula didominasi dengan tindakan represif hukum pidana menjadi peningkatan program kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan dampak sosial dari eks korban penyalahgunaan NAPZA.
“Ini yang membuat program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) ada diferensiasi peran Pusat dan Balai. Balai bicara bagaimana rehabilitasi sosial dilakukan untuk Korban Napza, sedangkan di Pusat melakukan kampanye secara intensif dan masif tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA,” terang Harry.
Perubahan paradigma dalam penanganan NAPZA selanjutnya adalah dari sistem peradilan pidana menuju ke perawatan. Intinya adalah rehabilitasi sosial dan medis. Penerapan hukum pidana dan sejenisnya secara tidak sadar berimplikasi membentuk penggunaan NAPZA menjadi eksklusif yang pada sisi lain berdampak terhadap sulitnya program rehabilitasi sosial dan medis dalam menjangkau pengguna NAPZA itu sendiri.
“Kita mengedepankan pendekatan rehabilitasi sosial sebagai kekuatan utama dalam menekan dampak buruk dari penyalahgunaan NAPZA,” kata Harry. Kemensos mempunyai mandat dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Harry menyampaikan bahwa tujuan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA (KPN) adalah agar KPN mampu melaksanakan keberfungsian sosialnya yang meliputi kemampuan dalam melaksanakan peran,memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah dan aktualisasi diri, dan terciptanya lingkungan sosial yang mendukung keberhasilan Rehabilitasi Sosial KPN serta tidak relaps. Rehabilitasi dilakukan di lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Perubahan pendekatan sangat diperlukan untuk mulai memperlakukan penggunaan NAPZA sebagai masalah kesehatan dan bukan pelanggaran pidana. Pemulihan ketergantungan (rehabilitasi sosial) merupakan kebijakan yang lebih efektif bagi pecandu yang tidak terlibat tindak pidana yang memiliki unsur kekerasan. Pemenjaraan harus dipertahanan atau dipakai hanya sebagai pilihan bagi pelaku pelanggaran tindak pidana yang berat.
Pemenjaraan sebagai hukuman seharusnya diterapkan bagi pelaku tindak pidana NAPZA yang berat dan/atau pelaku tindak pidana NAPZA dengan kekerasan. Penerapan depenalisasi atau dekriminalisasi sebagai alternatif bagi pengguna NAPZA serta pengecer NAPZA.
Harry menyampaikan bahwa Kemensos membangun suatu sistem rehabilitasi sosial yang mengutamakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Korban Penyalahgunaan NAPZA, penguatan sistem rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial penerima manfaat, perluasan jangkauan rehabilitasi sosial penerima manfaat berbasis keluarga, komunitas dan residensial.
“Sistem Rehabilitasi sosial ini tidak tunggal pendekatannya, tetapi harus terintegrasi dengan perlindungan sosial, jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan, berbasis keluarga, komunitas. Konselor Adiksi menjadi ujung tombak untuk melakukan Rehabilitasi Sosial berbasis keluarga dan komunitas, serta menjadi jejaring untuk rehabilitasi sosial berbasis residensial atau Balai,” ujar Harry.
“Saya menekankan agar setiap individu korban tolong cek keluarganya, lingkungannya, sebagai upaya kita untuk memperkuat faktor protektif. Individunya untuk mengaktualisasikan kekuatan yang dia miliki, jangan bekerja hanya individu ke individu saja. Tetapi bekerja dengan individu, keluarga dan lingkungannya,” tegas Harry.
Harry juga berharap para Konselor Adiksi menguasai dan memahami Therapeutic Community (TC) serta Mengadaptasi TC dengan lingkungan setempat. TC merupakan metode rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada penyalahguna NAPZA yang merupakan sebuah “keluarga” terdiri atas orang-orang yang mempunyai masalah dan tujuan yang sama, yaitu untuk menolong diri sendiri dan sesama yang dipimpin oleh seseorang dari mereka sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari negatif ke arah yang positif. Didalam TC ada upaya-upaya untuk membuat KPN tidak relaps kembali. TC menjadi kekuatan utama di Balai Rehabilitasi Korban Penyalanggunaan NAPZA Kemensos.
Kemensos mengajak para Konselor Adiksi bersama-sama untuk menyuarakan tentang dampak buruk NAPZA. Kedepan, Konselor Adiksi menjadi jejaring kuat Kemensos, tidak hanya memberikan konseling, namun juga terlibat untuk melakukan berbagai upaya yang mengarah kepada gerakan sosial masyarakat secara lebih luas.
Bagikan :