Penulis :
OHH Ditjen Rehsos
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Intan Qonita N
BOGOR (5 November 2020) - Kementerian Sosial Republik Indonesia masih menyusun modul bimbingan teknis Sumber Daya Manusia (SDM) pendamping rehabilitasi sosial bidang Napza.
Dalam penyusunan modul tersebut, Kementerian Sosial (Kemensos) RI menggandeng sejumlah ahli dan pihak yang berpengalaman di bidang narkoba atau napza.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos RI, Harry Hikmat, menyatakan SDM pendamping rehabilitasi sosial bidang napza harus siap menjadi ahli.
"Pertama, kami harus pastikan dulu kompetensi SDM yang akan dicapai melalui tingkatan kapasitas. Baik itu bimbingan teknis maupun pelatihan yang terstandar," kata Harry, sapaannya, pada kegiatan 'Penyusunan Modul Bimbingan Teknis SDM Pendamping Rehabilitasi Sosial Bidang Napza' di Bogor, Jawa Barat, Kamis (5/11/2020) malam.
"Setelah kami ketahui dan menyadari, di SDM yang menangani narkoba ini perlu dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)," lanjutnya.
Meski begitu, konselor adiksi dari Kementerian Sosial RI pernah membuat rintisan menetapkan SKKNI.
"Bahkan dari level satu sampai sembilan. Berarti kalau dianalogikan di jabatan fungsional, itu bisa mencapai paling tidak 4C, itu (tingkatan) madya," tambahnya.
"Bahkan bisa didorong sampai 'ahli' tapi dengan catatan ada basis keilmuannya. Nah, kebetulan di Kementerian Sosial ada program studi (prodi) rehabilitasi sosial," lanjut Harry.
Dia menjelaskan, jika SDM bidang napza menjadi ahli, tentu menjadi hal terbaik bagi korban napza dan konselor tersebut.
"Kalau sudah ada, ini berarti bisa sampai dengan sembilan maksimal. Jadi sampai tingkat ahli, ini untuk konselor," tutur Harry, yang mengenakan kacamata.
"Sementara untuk peksos (pekerja sosial) kan sudah ada, level tiga sampai sembilan. Standarisasi itu penting untuk menentukan kompetensi sesuai dengan kualifikasi," sambungnya.
Menurut Harry, SDM yang bekerja merehabilitasi sosial korban napza wajib memiliki lisensi.
"Orang-orang yang bekerja di rehabilitasi sosial korban napza, itu harus punya lisensi yang diakui, berdasarkan ujian kompetensi karena sudah tersertifikasi," ucapnya.
"Karena itu, peningkatan kapasitas SDM harus diperhatikan juga membuat pelatihan yang tersertifikasi, sehingga bisa menjadi bagian untuk peningkatan karir secara fungsional," lanjut Harry.
Dia berharap, peningkatan SDM bidang napza ini dapat berjalan baik sehingga bermanfaat bagi negara, terkhusus keluarga dan korban napza.
"Kami harap ini inline atau sejalan dengan jabatan fungsional di bidang narkoba. Kalau sudah tersertivikasi kan sudah ada jaminan mutu terhadap pelayanan yang diberikan seseorang berdasarkan profesi di bidang konselor adiksi," tutur Harry.
"Di luar itu ada juga pekerja sosial, itu juga ada di level lebih kepada melakukan praktik pekerjaan sosial dalam meningkatkan keberfungsian sosial," lanjut Harry.
Sekali lagi, kata Harry, jika SKKNI-nya telah dibentuk, ada dua kualifikasi dari konselor adiksi.
"Ya, kami berharap jika SKKNI-nya sudah dibentuk, maka ada kualifikasi dari konselor adiksi dan dikualifikasi dari pekerja sosial (peksos)," jelasnya.
"Kalau Peksos kan sudah ada; Peksos muda, peksos madya, dan peksos ahli. Nah, Peksos adiksi juga bisa kami bangun Peksos adiksi muda, Peksos adiksi madya, dan Peksos adikasi ahli. Tapi saat ini masih tahap peksos adiksi madya," lanjutnya.
Harry menegaskan, hal tersebut merupakan dua profesi yang saling menguatkan.
Menyoal modul bimbingan teknis SDM pendamping rehabilitasi sosial bidang napza, sumbernya telah ada di IPWL (Institusi Perlindungan Wajib Lapor).
"Konselor-konselor adiksi itu sebetulnya, sumber dayanya sudah ada di IPWL. Karena persyaratan IPWL itu ada unsur konselor adiksi," ucap Harry.
"Sehingga waktu datang melapor diri, misalkan, itu harus ada pendampingan dan penguatan serta ada proses motivasi, konseling, ada persoalan-persoalan yang dihadapi ketika dia sedang proses rehab, baik di rumah, balai, atau panti," lanjut Harry.
Namun, Harry menjelaskan standar kompetensinya-lah yang perlu dibangun.
"Itu jelas ketersediaan konselor adiksi sudah ada, cuma standar kompetensinya yang perlu kami bangun agar mereka juga peningkatan," tegasnya.
"Jadi, bukan hanya level basic (dasar), sebetulnya proses konselor adiksi sudah berjalan di Diklat Padang, antara lain itu sudah dua angkatan. Nah itu untuk standarisasi kompetensi masih level basic. Konselor adiksi muda," lanjutnya.
Dia menambahkan, jika modul bimbingan tersebut rampung dapat dimanfaatkan bagi siapa saja.
"Modul itu dimanfaatkan nanti, tentu untuk Kementerian Sosial. Bahkan menjadi acuan untuk sertifikasi kompetensi. Itu kemanfaatannya," jelas Harry.
"Karena itu perlu disusun bersama dengan para ahli dan mereka yang sudah bekerja di bidang napza, harapannya modul ini juga bisa digunakan bersama-sama dengan mereka," tutup Harry.
Program Officer United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Narendra Narotama, menyatakan penyusunan modul tersebut telah mengacu kepada standar internasional.
"Tanggapan saya, ini memang arahnya sudah menuju ke standar internasional. Karena kan kami UNODC, berdasarkan mandat, kami menyusun standar internasional untuk rehabilitasi narkoba atau napza yang harus diikuti seluruh negara-negara anggota," kata dia, pada kesempatan yang sama.
"Dengan adanya inisiatif ini, apalagi kebijakan dari Dirjen Kemensos, dengan program besarnya ATENSI, ini memang sudah mengacu standar internasional. Kami menyambut baik dan mendukung penuh program ini," pungkasnya.
Peserta berjumlah 25 orang perwakilan dari BNN, Pusdiklat Kessos, Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), Ikatan Konselor Adiksi Indonesia (IKAI), Yayasan Rehabsos KPN, Direktorat RSKPN, Itjen, dan BRSKPN.
Bagikan :