TEMANGGUNG (28 Juli 2020) – Peningkatan layanan dalam rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas merupakan sebuah keniscayaan dengan mengadaptasi perubahan
paradigma, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kemitraan.
“Setiap
warga terdampak COVID-19 berhak mendapatkan layanan dasar, termasuk bagi
penyandang disabilitas,” ujar Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Harry
Hikmat pada Focus Group Discussion Bisnis Proses Asistensi
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas di Balai Besar Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Intelektual "Kartini" Temanggung, Selasa
(28/7/2020).
Pada acara
tersebut, Harry Hikmat didampingi oleh Direktur Lanjut Usia Andi Hanindito, Direktur
Penyandang Disabilitas Eva Rahmi Kasim, serta Plt. Kepala Balai Besar
Disabilitas "Kartini" Temanggung, Langgeng Setiawan. Layanan disabilitas, kata Harry, melalui Asistensi
Rehabilitasi Sosial (ATENSI) tidak hanya pemenuhan kebutuhan dasar, tapi
juga untuk memberikan layanan terapi, perawatan, serta dukungan keluarga.
“Melalui
ATENSI yang diperkuat dengan pelaksanaan rehabilitasi sosial berbasis keluarga,
komunitas, serta residensial,” ungkap Harry.
Perubahan
paradigma baru menjadikan UPT pusat atau balai berfungsi sebagai centrelink
dengan memfokuskan pada pelayanan yang tidak spesialis melainkan terbuka.
“Perubahan
paradigma akan dimulai dan awal tahun depan bisa dilaksanakan di UPT pusat dan
balai dengan tidak lagi memberikan layanan spesialis tetapi terbuka, seperti di
Balai Disabilitas "Kartini" di Temanggung tidak hanya untuk satu
disabilitas tapi semua disabilitas bisa dilayani dengan baik,” kata
Harry.
Untuk
mendukung paradigma baru diperlukan model layanan satu atap, dimana semua
layanan bisa dilaksanakan di satu gedung yang didukung kehadiran para
stakeholder secara bersama-sama.
“Sudah
berjalan model seperti di servis elektronik, dimana semua keluhan dan perbaikan
dilayani di front office dan secara otomatis terintegrasi
dengan pusat servis di back office, sehingga tidak perlu mencari ke
tempat lain, cukup satu tempat, itu sangat efektif dan menghemat waktu serta
biaya,” tutur Harry.
Adanya
layanan satu atap yang lebih baik adalah layanan satu pintu, menjadikan
antar instansi atau stakeholder akan terbangun untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi pemerlu layanan secara komprehensif dan tidak parsial.
“Selama ini,
diakui hal tersebut belum terwujud, di mana instansi sibuk urusan masing-masing
jadi belum koheren. Bahkan, antar direktorat saja belum dan itu harus dirubah
untuk pelayanan yang terbuka dan lebih baik lagi,” ungkapnya.
Belajar dari
negara lain yang sudah maju dalam layanan publik melakukan layanan terpadu
dalam one stop service atau bisa lebih strong lagi
layanan satu pintu yang terkoneksi dengan sistem.
“Terobosan
menjadi penting di UPT pusat dan balai agar terkoneksi secara sistem di situ
ada front office, back office, serta menjadi linkage
center melalui layanan terpadu satu pintu. Misalnya di Australia
disebut disable center yang memberikan konseling, parenting
skill dan lain sebagainya, ” katanya.
Ke depan,
yang memberikan layanan itu adalah orang-orang yang bekerja di pelayanan satu
pintu, sekaligus memberikan pendampingan dan problem solving.
Agar
penjangkuan lebih kuat UPT pusat dan balai, bisa memberikan layanan per
wilayah, misalnya Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur.
“Saya kira
ini terobosan, seperti untuk balai vokasional penyandang disabilitas itu
koordinatornya Cibinong untuk kawasan Indonesia Barat,” pungkas Harry.
Direktur
Rehabilitasi Penyandang Disabilitas, Eva Rahmi Kasim dalam laporannya, bahwa
kegiatan FGD diikuti oleh 50 peserta dari perwakilan balai dan LKS seperti dari
Wonosobo, Blitar dan Temanggung.
“Tujuan FGD untuk meningkatkan kapisatas layanan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas intelektual, sekaligus penguatan dan menjadi pintu layanan bagi balai dan pemerlu layanan,” kata Eva.