Penulis :
Humas Balai "Abiyoso" Cimahi
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Dewi Purbaningrum; Karlina Irsalyana
CIMAHI (27 Agustus 2020) - Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) "Abiyoso" di Cimahi melaksanakan kegiatan Webinar bertajuk "Peningkatan Literasi Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (PDSN) melalui Literasi Braille". Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber, baik dari Kementerian Sosial RI, praktisi, maupun pegiat literasi braille. Kegiatan Webinar ini juga merupakan kegiatan yang inklusi sehingga disediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang menerjemahkan para pembicara selama kegiatan berlangsung. Total peserta yang bergabung pada webinar sebanyak 359 orang.
Dalam sambutannya, Kepala BLBI "Abiyoso", Isep Sepriyan, menyampaikan bahwa BLBI "Abiyoso" sebagai pengelola literasi braille, pusat rujukan nasional untuk literasi braille, dan laboratorium braille, berkomitmen untuk menghasilkan produk literasi yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan PDSN. Selain itu, diselenggarakannya webinar ini juga bertujuan menggugah minat masyarakat untuk turut serta membantu PDSN, khususnya dalam mengakses informasi dan bahan bacaan Braille.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Harry Hikmat, dalam pemaparannya menekankan tentang pentingnya tiga jenis pendekatan untuk membangun budaya literasi, yaitu berbasis keluarga, berbasis komunitas, dan berbasis residensial.
Dijelaskannya bahwa untuk meningkatkan kemampuan literasi para PDSN, perlu dimulai dari keluarga. Dengan demikian, orang tua perlu diberi pemahaman bagaimana membimbing anak mereka, yang merupakan PDSN untuk dapat mengakses literasi, terkhusus literasi braille. Begitu pula dengan pendekatan berbasis komunitas.
Harry mencontohkan sejumlah program yang telah dilaksanakan oleh BLBI "Abiyoso", yakni Perpustakaan Keliling dan Story Telling sebagai upaya yang memang tepat untuk melaksanakan pendekatan ini. Membahas tentang pendekatan berbasis residensial atau balai, Harry juga mencontohkan salah satu layanan BLBI "Abiyoso", yakni Bioskop Berbisik.
Di akhir pemaparannya, Harry mengingatkan pada BLBI "Abiyoso" untuk terus berinovasi dengan memproduksi literasi dalam bentuk-bentuk lain, yang sesuai dengan kebutuhan PDSN, terkhusus format elektronik, karena era digitalisasi dan teknologi sama sekali tidak dapat diabaikan.
Selanjutnya ada empat pembicara yang menyampaikan materi, yakni: Eva Rahmi Kasim (Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial RI),Weningsih (Konsultan Pendidikan Perkins International Indonesia), Rina Prasarani (Pengamat Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra), dan Dimas Muharram (Peneliti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Founder Kartunet).
Weningsih sebagai praktisi literasi yang menangani penyandang disabilitas menekankan tentang pentingnya pengenalan terhadap literasi braille sejak dini bagi anak tunanetra. Menurut dia, sekalipun si anak belum menginjak usia sekolah, dia perlu dibiasakan untuk menyentuh tulisan braille ketika mengakses benda-benda di sekitarnya agar ketika telah mendapatkan pelajaran tentang huruf braille, si anak akan teringat dan menjadi lebih mudah memahami.
Senada dengan Weningsih, Rina Prasarani, yang sering disapa "Mami Ina", mengemukakan bahwa kunci keberhasilan mendidik anak tunanetra, apalagi yang memiliki kondisi disabilitas majemuk (ganda) adalah kesabaran. Dia juga mengungkapkan kebanggaanya sebagai pengguna braille. Meski kini ia lebih sering menggunakan komputer "bicara" (komputer dengan pembaca layar), dia tidak pernah meninggalkan huruf braille.
Dia juga berpesan kepada masyarakat bahwa tulisan braille bukanlah fasilitas khusus, melainkan kebutuhan primer para tunanetra di bidang literasi. "Tunanetra tidak perlu perlakuan khusus, melainkan perlakuan yang semestinya. Ketika kita membutuhkan huruf braille, maka sediakanlah braille. Itu bukan kekhususan, melainkan kebutuhan."
Sementara itu, Dimas Muharram menguraikan tujuh hal terkait manfaat literasi braille. Tujuh hal tersebut diambil dari tujuh huruf (B R A I L L E). B=Bekal meraba masa depan; R=Raih banyak prestasi dengan menulis; A=Anggap kelemahan sebagai peluang; I=Indahkan tulisan tanpa typo; L=Luaskan ilmu dan kemampuan berbahasa; L=Langkahkan kaki ke ujung dunia; E=Era teknologi tak akan menggantikan huruf braille. Disimpulkannya, "Braille bukanlah segalanya, tetapi segalanya bermula dari Braille."
Sebagai pemateri terakhir dalam kegiatan ini, Eva Rahmi Kasim menyimpulkan bahwa BLBI Abiyoso bukan sekadar lembaga yg menghasilkan bahan literasi tetapi lembaga yang menghadirkan literasi sejak usia dini (life cycle).
Sebagai satu-satunya lembaga pemerintah yang memproduksi literasi braille, BLBI Abiyoso juga memberikan akses literasi bagi masyarakat dengan mengedukasi keluarga maupun komunitas sehingga masyarakat sadar akan literasi braille.
Bagikan :