Penulis :
OHH Ditjen Rehsos
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Dewi Purbaningrum; Karlina Irsalyana
JAKARTA (31 Agustus 2020) - Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Harry Hikmat menjadi salah satu narasumber pada “Seminar Edukasi Hak Penyandang Disabilitas di Media” yang diselenggarakan Dewan Pers.
Harry mengajak insan pers bisa menyampaikan informasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terbaru atau terkini, sehingga ada kesesuaian pemahaman dalam menyampaikan informasi kepada publik, termasuk penyandang disabilitas sebagai subyek maupun penyandang disabilitas sebagai penerima informasi yang memang memerlukan berbagai informasi yang terkini.
Menurut Harry, Indonesia belum memiliki data nasional penyandang disabilitas yang menggambarkan keseluruhan populasi dengan ragam disabilitas, dan karakteristik dari masing-masing disabilitas. “Ini tantangan kedepan, tetapi ada beberapa rujukan yang bisa kita gunakan walaupun sifatnya survey tetapi kita bisa memperoleh sejumlah informasi dasar dan karakteristik ragam disabilitas berdasarkan Survey ekonomi Nasional (Susenas)”kata Harry.
Di Kementerian Sosial, ada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang bisa memberikan gambaran tentang status sosial ekonomi, yang sangat diperlukan dalam rangka menangani berbagai masalah sosial ataupun tingkat kerentanan dan juga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan. Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (Dit RSPD), sejak tahun 2017 telah mengembangkan Sistem Informasi Penyandang Disabilitas (SIM PD).
“Sekarang ini dalam proses pengintegrasian SIM PD dan DTKS. Dengan adanya DTKS yang umum dan spesifik menghimpun data penyandang disabilitas, akan memberikan gambaran yang lebih kuat tentang hal-hal yang terkait dengan kondisi penyandang disabilitas,” tutur Harry.
Dirjen Rehsos menyampaikan bahwa disejumlah kementerian/Lembaga belum memiliki pemahaman yang utuh tentang penyandang disabilitas yang merujuk ke Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), karena masih menggunakan istilah-istilah lama seperti yang dirujuk UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, sehingga perlu dibenahi bersama. Kemensos sudah memastikan melalui Kementerian Dalam Negeri agar dalam sistem admistrasi kependudukan, tidak lagi menggunakan istilah cacat, tetapi penyandang disabilitas sesuai dengan UU No 8 tahun 2016.
“Ragam disabilitas dalam UU No 8 tahun 2016 ada kategori fisik, intelektual, mental, sensorik dan ganda/multi. Seringkali ini tidak cukup terinformasikan secara luas tentang ragam disabilitas yang telah disepakati ini,” ujar Harry. Sejumlah informasi terkadang masih bias, seperti autis dan cerebral pasty, diperlukan cara-cara yang lebih etis untuk disampaikan ke publik.
Kemensos sangat concern dalam proses penyusunan RPP tentang habilitasi dan rehabilitasi sosial sebagai upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Apabila RPP tentang habilitasi dan rehabilitasi sosial ditetapkan, maka seluruh balai sebagai UPT di lingkungan Kemensos dan Panti sosial-panti sosial pemda atau LKS-LKS juga harus bisa memastikan ada proses habilitasi sejak usia dini.
“Kami akui, Di Kemensos seringkali lebih pada proses rehabilitasi, kurang proporsional dengan kegiatan habilitasi terutama pada anak-anak yang mengalami disabilitas usia dini”terang Harry.
Mengutip hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS, 2015) Harry menyampaikan presentasi penduduk Indonesia yang cenderung menonton televisi lebih dari 90%. Sementara yang mendengarkan radio dan membaca surat kabar cenderung menurun. Ini tentu ada implikasinya terhadap pola dari akses terhadap media yang bisa direspon secara khusus untuk penyandang disabilitas.
Dalam UU No 8 tahun 2016, hak-hak penyandang disabilitas yang terkait literasi antara lain hak di bidang pendidikan, aksesibilitas (literasi Braille, pendengaran, dsb), pelayanan publik, berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi.
“Kami berharap keterlibatan pers untuk bersama pemerintah menyampaikan pokok-pokok pikiran, hak-hak dari penyandang disabilitas, supaya kita menghormati hak-hak disabilitas. Sampai memberikan perlindungan dari disabilitas atas kemungkinan terjadi risiko-risiko sosial tidak diharapkan seperti kekerasan, penelantaran, diskriminasi. Serta berbagai peraturan tentang disabilitas bisa terinformasikan,” kata Harry.
Selanjutnya, menurut Harry capaian pemenuhan hak pendidikan penyandang disabilitas baik dari angka melek huruf, partisipasi murni, ijasah, nampak yang disabilitas jauh lebih rendah dari yang non disabilitas. “Kita prihatin, keberlangsungan pendidikan dari penyandang disabilitas yang gapnya semenjak jenjang SMP, SMA hingga perguruan tinggi sangat rendah. Ini akan mempengaruhi kemampuan akses dari penyandang disabilitas ketika sulit melanjutkan pendidikannya,” kata Harry.
Mayoritas tingkat pendidikan penyandang disabilitas SD kebawah, bahkan sebagian besar tidak mempunyai ijasah SD. Hal ini menjadi tantangan bersama karena pendidikan menjadi instrumen penting untuk akses informasi kelompok penyandang disabilitas.
Kemensos melalui Balai Abiyoso melakukan berbagai terobosan untuk memastikan literasi bagi disabilitas melalui asistensi rehabilitasi sosial. Pada hakekatnya, literasi berbasis keluarga menjadi sangat penting. Story telling bagi keluarga, parenting skill, peningkatan kapasitas keluarga menjadi hal yang urgen. Begitu juga story telling di komunitas, peningkatan kapasitas komunitas, pembentukan kelompok belajar, misalnya belajar tentang Braille di tingkat komunitas.
Balai/Panti sosial/residential based, perlu memberikan kesempatan akses secara lebih luas kepada para penyandang disabilitas, seperti dii BLBI "Abiyoso" yang menyediakan fasilitas bioskop berbisik dimana berbagai film, informasi, materi pendidikan, bisa didengarkan penyandang disabilitas sensorik netra melalui bioskop berbisik tersebut. Selanjutnya meningkatkan kapasitas pendamping disabilitas agar bisa mengelola mobile akses, buku bicara dari Braille, sehingga mereka bisa mendapatkan informasi yang lebih luas bagi kaum disabilitas.
“Kami ingin memastikan wahana komunikasi bisa diakses, bisa dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas, bahkan penyandang disabilitas bisa terlibat didalam kepemilikan, penyimpanan, pengolahan, dan menyampaikan kembali informasi yang diperoleh kepada pihak luar baik tulisan, suara, gambar, dan berbagai data terkait,” tegas Harry. UU No 40 tahun 1999 menyebutkan bahwa ada hak masyarakat untuk mengetahui, mendapatkan berbagai informasi yang cepat, akurat dan benar, untuk melakukan pemantuan, serta pentingnya liputan tentang disabilitas.
“Sangat penting untuk menyebarluaskan informasi tentang hak-hak penyandang disabilitas, baik UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dan turunan peraturannya. Dalam peraturan pemerintah besar muatannya tentang upaya penghormatan, pemenuhan hak, dan perlindungan bagi penyandang disabilitas. Dan ini perlu dideseminasikan,di sharing, disebarluaskan ke masyarakat. Terpenting, penyandang disabilitas memahami hak-haknya sesuai dengan regulasi yang ada” kata Harry.
Menurut Harry, pemberitaan tentang isu disabilitas relatif minim, sehingga informasi tentang disabilitas kepada masyarakat kurang memadai,jarang diliput di media tentang disabilitas. Ketika mereka ditampilkan seringkali ada stereotip secara negatif dan tidak direpresentasikan dengan tepat. Konstruksi sosial pemberitaan menempatkan posisi penyandang disabilitas pada posisi yang tidak menguntungkan. 3 poin ini yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mencari solusi yang lebih konstruktif.
Implementasi peranan dan fungsi pers dalam publikasi isu disabilitas antara lain menciptakan spokepersons,yaitu menampilkan tokoh masyarakat, pejabat pemerintah senior dan selebriti terkenal dapat bekerja untuk mengubah persepsi masyarakat tentang disabilitas dan meningkatkan kesadaran tentang keprihatinan penyandang disabilitas. Sebagai influence persons yang bisa mempengaruhi persepsi masyarakat yang masih stereotype terhadap penyandang disabilitas.
Kemudian, perubahan opini/change opinion, yaitu kita perlu membangun menggunakan berbagai media gambar dan cerita di media yang bisa mempengaruhi opini publik dan membentuk norma-norma masyarakat. Selanjutnya, mengubah persepsi/change perception, yaitu perhatian diarahkan pada citra disabilitas di media dengan tujuan untuk menggambarkan secara akurat dan seimbang tentang disabilitas sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Media berperan penting menyajikan isu-isu disabilitas dengan cara yang dapat menghilangkan stereotip negatif dan mempromosikan hak dan martabat penyandang disabilitas.
Kemudian memberikan berbagai peluang termasuk dalam acara publik dan peringatan internasional lainnya dapat memberikan peluang untuk meningkatkan kesadaran dan melakukan sosialisasi untuk mempromosikan perspektif disabilitas dan menyoroti keprihatinan penyandang disabilitas. Kemensos berkomitmen urusan yang bersifat teknis akan diserahkan ke balai, tetapi urusan preventif, penyadaran masyarakat, membangun opini publik, mengembangkan kebijakan dan strategi berada di direktorat kemensos.
Beberapa tips dalam pemberitaan isu disabilitas antara lain fokus pada orangnya bukan kedisabilitasannya, menekankan pada kemampuan penyandang disabilitas, keaktifan disabilitas dalam lingkungan masyarakat, memberikan kesempatan penyandang disabilitas untuk bersuara mengungkapkan pendapat dan fikirannya, jangan terlalu menekankan adanya pahlawan disabilitas, jangan menggunakan istilah-istilah yang memberikan penekanan negatif, gunakan bahasa sesuai peraturan perundang-undangan.
Webinar Edukasi Hak Penyandang Disabilitas di Media juga menghadirkan 3 (tiga) narasumber lain, yaitu Asep Setiawan (Anggota Dewan Pers), Agoes Rakhman (Direktur Pelaksana YPAC), Cheta Nilawaty, (wartawati tempo)serta diawali dengan pengantar seminar dari Mohammad NUH selaku Ketua Dewan Pers.
Bagikan :