Sebelas Fakta tentang Braille, Nomor 9 Bikin Bangga Indonesia
Selama ini masyarakat
umum mungkin hanya mengetahui bahwa penyandang disabilitas sensorik netra
(PDSN) mengakses literasi menggunakan huruf braille. Namun, rupanya
ada hal-hal menarik seputar braille yang belum banyak diketahui. Beriktu
sebelas fakta menarik tentang braille yang mungkin jarang terekspos.
1. Sistem baca-tulis Braille dikembangkan oleh Louis Braille pada tahun 1820-an ketika dia masih menjadi murid di Royal Institute for Blind Youth di Paris. Sebelum kode revolusioner itu dikembangkan, yang digunakan untuk membantu tunanetra membaca adalah beragam sistem yang sebagian besar menggunakan huruf cetak timbul. Misalnya, buku taktil Valentin Haüy yang menampilkan versi huruf timbul dari alfabet Romawi. Kode penemuan Louis Braille dirancang untuk pengenalan taktil alih-alih visual, dan akhirnya memungkinkan tunanetra menulis secara mandiri.
2. Braille bukan bahasa. Ia adalah kode taktil atau timbul yang memungkinkan tunanetra ataupun orang dengan gangguan penglihatan untuk membaca dan menulis melalui sentuhan, dengan berbagai kombinasi titik yang mewakili abjad, kata, tanda baca, dan angka.
3. Kode braille dalam setiap bahasa dapat berbeda untuk setiap aspeknya. Misalnya tanda = dalam bahasa Indonesia berbeda dengan tanda = dalam bahasa Inggris. Dalam bentuknya yang paling sederhana, satu huruf diwakili oleh satu simbol, tapi sistem tulisan braille mengenal yang dinamakan tulisan singkat (tusing) atau di tingkat internasional disebut contracted braille, di mana pada sistem ini, satu huruf atau simbol mewakili satu kata.
4. Tulisan braille memerlukan lebih banyak ruang pada lembaran halaman dibanding sistem tulisan biasa. Sebab itu, tusing atau contracted braille akan sangat berguna untuk menghemat ruang dan menulis lebih cepat.
5. Braille tidak hanya digunakan untuk menyalin dan menulis buku atau publikasi. Di berbagai negara, khususnya negara maju, Ia juga digunakan pada papan nama di ruang publik, seperti angka-angka pada lift, pintu, dan menu restoran, juga untuk memberi label pada barang sehari-hari seperti obat-obatan dan kartu tagihan.
6. Saat ini, pencatat braille elektronik (braille note taker) dan papan braille (braille display) memungkinkan penyandang tunanetra yang menguasai huruf braille untuk menjelajahi internet dan membaca halaman web dan email, serta menyimpan dan mengedit karya tulis mereka sendiri tanpa pembaca layar.
7. Beberapa game klasik yang sangat populer telah mengadaptasi versi braille, misalnya Monopoly, Scrabble, dan Uno. Kartu remi braille juga tersedia sehingga memungkinkan tunanetra menikmati permainan ini bahkan bermain bersama teman dan keluarga. LEGO telah membuat LEGO Braille Bricks sebagai cara yang menyenangkan untuk mengajarkan braille.
8. Berlatih membaca dan menulis braille secara teratur dapat membantu meningkatkan kecepatan membaca. Sama seperti menguasai membaca dan menulis huruf cetak biasa, pembelajaran dan latihan teratur diperlukan untuk pembelajaran huruf braille.
9. Indonesia telah memiliki majalah berformat braille sejak 1959 yang diberi nama Gema Braille. Sejauh ini Gema Braille adalah satu-satunya majalah berformat braille di Indonesia, diproduksi oleh Kementerian Sosial melalui Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) "Abiyoso".
10. Memelajari Braille membutuhkan banyak waktu. Ini terkait dengan berbagai kombinasi titik dan kebutuhan seseorang untuk membiasakan ujung jarinya mengidentifikasi titik.
11. Tidak semua tunanetra menggunakan braille. Kebutuhan untuk mengembangkan sensitifitas pada ujung jari dan adanya kondisi-kondisi kesehatan tertentu yang memengaruhi sensitifitas jari membuat belajar braille pada usia dewasa cenderung lebih sulit.
Sebagai orang dewasa, memilih untuk belajar dan menggunakan braille sangat tergantung pada preferensi individu. Misalnya, seseorang yang kehilangan penglihatan saat dewasa mungkin lebih memilih tetap menggunakan teknologi bantu digital dengan perangkat lunak pembaca layar, pembesar video, atau perekam.
Namun, ada manfaat literasi yang sangat penting dan signifikan dari penguasaan braille, yang dapat memberikan kebebasan dan kemandirian lebih besar bagi penggunanya. Seorang penyandang tunanetra-rungu misalnya, tentu akan sangat memerlukan braille sebagai sarana literasi dan komunikasi karena tidak dapat mengakses audio.
Selamat Hari Braille 4 Januari, “kuasai braille, budayakan literasi di kalangan disabilitas netra”.