Penulis :
Humas Dit. Rehsos Anak
Editor :
Annisa YH
Penerjemah :
Intan Qonita N
JAKARTA (4 November 2020) - Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Kanya Eka Santi hadir sebagai salah satu penanggap dalam Acara Peluncuran Hasil Kajian Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak di Wilayah Kota Tangerang, Surabaya, Palembang dan Kendari. Acara dikemas dalam bentuk Webinar bertajuk “Kesempatan Kedua dalam Hidup: Memulihkan Kesempatan bagi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak” yang dilaksanakan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan PUSKAPA dengan dukungan UNICEF Indonesia.
Kegiatan webinar dibuka oleh Slamet Soedarsono selaku Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas dan Robert Gass, Deputy Representative UNICEF Indonesia. Kegiatan yang juga ditayangkan secara live di youtube ini melibatkan pemateri kunci Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia), paparan hasil kajian oleh Santi Kusumaningrum (Direktur PUSKAPA) dan pembahas Agustinus Pohan (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan).
Robert Gass dalam sambutannya menyampaikan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA merupakan aturan hukum yang cukup komprehensif dalam mengatur pelaksanaan peradilan pidana anak di Indonesia. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik dalam pengimplementasian peraturan tersebut.
UNICEF sangat mendukung upaya berbagai pihak dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang terjerat kasus hukum. “Kami percaya bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk berubah dan belajar dari kesalahan mereka. Anak-anak dapat menjadi apa saja yang mereka impikan, oleh karena itu tidak ada salahnya jika kita memberikan kesempatan kedua kepada mereka,” ujar Robert.
Di sisi lain Slamet Soedarsono mengatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. Kondisi di lapangan menunjukkan beberapa kondisi yang mengakibatkan hak-hak anak belum sepenuhnya terpenuhi. Sebagai contoh, ABH yang rentan terhadap risiko kekerasan dan diskriminasi dalam menjalankan proses peradilan.
Dalam hal ini, tantangan untuk menjamin hak-hak anak atas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial anak ketika menjalani proses peradilan menjadi penting untuk dilaksanakan secara optimal oleh para pemangku kepentingan. “Pemenuhan hak anak harus dilakukan sejalan dengan prinsip perlindungan hukum sebagaimana diatur melalui Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan KHA. Untuk perlindungan hukum bagi ABH, pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA,” ujar Soedarsono.
Peluang dan Tantangan Penerapan UU SPPA
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, selaku pembicara kunci menjelaskan bahwa upaya yang telah dilakukan dalam akselerasi implementasi SPPA diantaranya penyusunan modul bagi Pelatihan Terpadu yang dilaksanakan oleh semua unsur yang terkait dalam implementasi UU SPPA, pelatihan untuk pelatih yang diselenggarakan oleh BPSDM Kementerian Hukum dan HAM, pelatihan terpadu bagi APH dan pihak terkait dalam implementasi SPPA di BPSDM Kementerian Hukum dan HAM serta Badan Diklat dr Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, koordinasi dan konsultasi antar APH dan pihak terkait, dan peningkatan kemitraan dengan organisasi kemasyarakatan yang peduli pada ABH.
“Kita memiliki sejumlah peluang diantaranya peningkatan SDM di bidang pelayanan ABH seperti meningkatnya jumlah Hakim Anak, Jaksa Anak, Pendamping Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial yang melayani anak di berbagai daerah, peningkatan kelembagaan, organisasi kemasyarakatan yang makin sadar akan pentingnya hak anak dan bekerja untuk anak di masyarakat serta meningkatnya komitmen organisasi profesi misalnya Peradi dalam penanganan ABH,” ujar Harkristuti.
Memaparkan hasil kajian, Santi Kusumaningrum, Direktur PUSKAPA mengajak semua pihak untuk menggunakan kerangka kerjasama lintas sektor dalam membahas isu SPPA. “Kami melihat Pemerintah Indonesia sudah sangat jelas komitmennya dalam melindungi anak. Bisa dilihat dari berbagai narasi yang ditawarkan, salah satunya tentang SDM Unggul. Membicarakan SDM Unggul artinya juga membicarakan anak-anak yang dapat menumbuhkan keunggulan tersebut, termasuk ABH. Kami percaya bahwa UU SPPA ini salah satu perwujudan paling nyata dari niat dan komitmen Negara untuk memungkinkan kesempatan kedua dalam hidup anak-anak, khususnya ABH,” ujar Santi.
Studi tersebut menunjukkan bahwa UU SPPA belum sepenuhnya menghindarkan anak dari sistem peradilan secara bermakna. Secara umum terdapat penurunan jumlah ABH di dalam penjara, namun mayoritas anak masih ditempatkan di fasilitas dewasa. Selain itu, hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar putusan hakim untuk anak yang prosesnya diteruskan sampai pemeriksaan pengadilan adalah penjara dan kebanyakan anak yang diperiksa di pengadilan berstatus masih bersekolah. Hal tersebut menggambarkan bahwa UU SPPA belum dapat diimplementasikan secara optimal oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan pihak lainnya.
Upaya Kementerian Sosial
Menanggapi hasil studi, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Kanya Eka Santi mengatakan bahwa apa yang sudah disampaikan oleh PUSKAPA dan tim sangat menggambarkan ABH sebagai situasi yang sangat kompleks. Selain itu, paparan dari Prof. Harkistuti mengenai perjalanan SPPA menunjukkan bahwa sudah sejak lama kita berupaya melindungi ABH melalui adanya SPPA, namun tantangan di lapangan cukup besar.
“Berbicara mengenai rehabilitasi sosial, bukan hanya berbicara tentang bagaimana merehabilitasi anak, namun juga keluarga dan lingkungan sosial anak. Kementerian Sosial telah melakukan berbagai upaya agar mandat SPPA bisa dilaksanakan dengan baik diantaranya dengan merespon berbagai laporan kasus ABH yang ada di daerah, penvegahan melalui kegiatan Peksos Goes To School dan Peksos Goes To Community serta pelayanan rehabilitasi social di Balai/Loka Anak” ujar Kanya.
“Di lapangan kami masih mengalami kesulitan karena kurangnya jumlah SDM dalam menangani ABH. Jumlah Pekerja Sosial dalam hal ini Sakti Peksos sangat terbatas dimana hanya ada 1 Peksos dalam 1 kabupaten/kota. Hal ini merupakan tantangan dalam penanganan masalah ABH,” tambah Kanya.
Kanya juga menyebutkan bahwa urusan ABH juga menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Ini sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, faktanya masih belum banyak daerah yang memiliki Pekerja Sosial untuk menangani ABH. “Kita mendorong kabupaten/kota untuk melaksanakan mandat SPPA dengan mengalokasikan dana untuk merekrut SDM pelayanan ABH serta mendirikan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) di daerahnya.
Saat ini kami punya 764 Sakti Peksos di seluruh Indonesia dan jumlah ABH yang sudah ditangani melalui respon kasus sampai September sebanyak 5.990 anak. Dari 5.990 anak, saat ini sebanyak 5.109 kembali ke keluarga,” jelas Kanya.
“Disaat kita mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak, baik anak pelaku maupun korban maka keduanya mereka berhak mendapatkan pendampingan. Pastinya kita butuh Pekerja Sosial dalam melakukan pengawasan yang intensif dalam rangka memastikan anak dapat rehabilitasi dengan baik,” ujar Ciput perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
“Ada banyak kasus yang sudah kami respon termasuk kasus berat. Hal ini tidak hanya membutuhkan peranan Peksos namun juga dukungan dari masyarakat. Yang menjadi tantangan adalah apabila adanya penolakan dari masyarakat terhadap pelaku anak yang melakukan kasus berat. Untuk itu, kami akan selalu memberikan pendampingan terhadap hal tersebut,” tambah Kanya.
Dalam tanggapan menjelang penutupan, Agustinus Pohan mempertanyakan tentang makna restoratif. Menurut dosen Ilmu Hukum Universitas Parahyangan tersebut, SPPA belum sepenuhnya melindungi anak. Karenanya, Pohan menyampaikan pertanyaan "Apakah kita perlu memperbaiki Undang-undangnya yang membutuhkan waktu lama atau praktiknya?".
Diakhir acara, webinar ditutup dengan sambutan dari Prahesti Pandanwangi selaku Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas mendorong kesepakatan berbagai pihak yang hadir untuk kedepannya dapat menerapkan UU SPPA secara optimal.
Bagikan :