JAKARTA (7 November 2020) – Hampir setahun setelah kemunculannya, pandemi COVID-19 telah
mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, baik secara material maupun non
material. Selain berdampak langsung pada kesehatan fisik, pandemi COVID-19 juga
mempengaruhi kesehatan mental yang dipicu oleh berbagai faktor, diantaranya
ketakutan dan kepanikan terhadap besarnya potensi penularan COVID-19,
transparansi pemerintah dalam mengambil kebijakan yang belum membuat masyarakat
merasa aman, pengisolasian diri dalam karantina yang membatasi interaksi sosial
masyarakat secara langsung, terbatasnya alat dan tenaga medis, serta informasi
simpang siur tentang COVID-19 yang beredar di masyarakat.
Sesuai dengan arahan
Menteri Sosial RI Juliari P. Batubara, Pekerja Sosial diharapkan dapat
bekerjasama dengan semua unsur dalam komunitas guna mengadvokasi pentingnya
penanaman nilai sosial di masyarakat. Kehadiran Pekerja Sosial seyogyanya dapat
membantu meringankan dampak pandemi COVID-19 dari sisi psikososial dengan
mengembangkan pemberdayaan dan relasi berkelanjutan antara orang dengan
lingkungan sosialnya.
Di masa pandemi saat
ini, Pekerja Sosial tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan satu tujuan
yang sama yakni memberikan dukungan psikososial bagi masyarakat terdampak
COVID-19. Dua diantaranya adalah Milly dan Wina, pekerja sosial senior asal
Politeknik Kesejahteraan Sosial (Poltekesos) Bandung yang mengabdi sebagai
relawan di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Keduanya mengaku bangga sekaligus tertantang saat ditugaskan di rumah sakit
khusus penanganan COVID-19 bersama 414 Pekerja Sosial lainnya.
“Ada motivasi tersendiri saat mendaftarkan diri sebagai relawan di Wisma
Atlet. Mulanya diluar ekspektasi namun ketika sudah bergabung, saya bersyukur
bisa mendapatkan pengalaman luar biasa yang mungkin tidak bisa didapatkan oleh
orang lain,” tutur Wina.
Di awal penugasan,
Milly dan Wina hanya melakukan Layanan Dukungan Psikososial (LDP) terhadap
tenaga medis dan non medis. Namun seiring berjalannya waktu, LDP juga dirasa
perlu diberikan kepada pasien kelompok rentan (anak-anak, remaja dan lansia),
keluarga pasien dan masyarakat di lingkungan tempat tinggal pasien.
Berkolaborasi dengan
Tim Psikolog dan Keperawatan, Pekerja Sosial RSDC Wisma Atlet melakukan
berbagai kegiatan terprogram dan terstrukur guna meringankan beban psikososial
akibat pandemi COVID-19, antara lain visitasi (sharing session),
rekreasional (fun games), dan relaksasi (self-healing).
“Kegiatan-kegiatan tersebut berfungsi sebagai ruang komunikasi untuk
menyampaikan segala keluh kesah sekaligus sarana hiburan karena tenaga medis
dan non medis serta pasien mungkin merasa jenuh dan stress selama bekerja
maupun menjalani karantina,” terang Milly.
Setelah dinyatakan
negatif COVID-19, penyintas di RSDC Wisma Atlet kerap mengalami kecemasan untuk
kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka merasa dirinya dan keluarganya tidak
akan diterima oleh lingkungan di sekitar tempat tinggal akibat stigma sosial
yang melekat sebagai penyintas COVID-19.
Untuk mengatasi hal
tersebut, Pekerja Sosial RSDC Wisma Atlet akan merujuk penyintas COVID-19 ke shelter
sementara di Balai Rehabilitasi Sosial “Mulya Jaya” sembari melakukan pendampingan psikososial
dan asesmen bagi penyintas dan keluarganya. Selain itu, Pekerja Sosial RSDC
Wisma Atlet bekerjasama dengan Pekerja Sosial diluar area RSDC Wisma Atlet
dalam memberikan edukasi kepada masyarakat di lingkungan tempat tinggal pasien
yang mengalami penolakan serta menyalurkan bantuan kepada keluarga pasien yang
mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
“Setelah dilakukan asesmen melalui telepon, rata-rata penyintas batal
menempati shelter sementara karena mereka tidak lagi merasa ragu untuk
kembali ke rumah,”
kata Milly.
Stigma Sosial dan Arti
Kepahlawanan di Masa Pandemi
Salah satu tantangan
terbesar Pekerja Sosial dalam memberikan Layanan Dukungan Psikososial (LDP) di
masa pandemi COVID-19 adalah stigma sosial yang tidak hanya dikaitkan dengan
pasien maupun penyintas COVID-19 tetapi juga relawan medis dan non medis yang
terjun langsung menangani dampak COVID-19.
“Stigma sosial disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakpahaman
seseorang, terlepas dari level pendidikan maupun profesinya sehingga diperlukan
adanya edukasi dan pemahaman tentang pandemi COVID-19,” ujar Milly.
Padahal, kata Milly,
proses untuk menjadi relawan di RSDC Wisma Atlet cukup ketat.
“Relawan medis dan non medis wajib negatif COVID-19, maka kami diharuskan
mengikuti medical check-up sebelum dan sesudah bertugas di Wisma
Atlet. Saat bertugas, kami juga harus
selalu menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dan mematuhi protokol kesehatan,” jelas Milly.
Dalam memberikan
dukungan psikososial, Pekerja Sosial RSDC Wisma Atlet juga menghadapi berbagai
tantangan di lapangan.
“Kemampuan kami diasah saat berhubungan langsung dengan penyintas. Ketika
melalui proses dalam memecahkan kendala, itu menjadi sebuah pola yang biasa dan
rutin dijalankan. Rasa takut dan was-was dalam menjaga imunitas tubuh juga
sering dirasakan, namun profesionalitas dalam bekerja membuat kami dapat
menyelesaikan tugas dengan baik,” ungkap Wina.
Lantas, siapa yang
pantas disebut sebagai pahlawan di masa pandemi ini? Milly dan Wina memiliki
pendapat yang sedikit berbeda.
“Pahlawan paling utama di masa pandemi adalah tenaga medis yang berjuang
langsung di titik episentrum penanganan COVID-19. Secara statistik, banyak
korban meninggal akibat COVID-19 berasal dari tenaga medis. Selain itu, tim
pendukung tenaga medis seperti tim logistik, relawan non medis, edukator masyarakat,
satgas penanganan COVID-19 level nasional maupun daerah, juga patut disebut
sebagai pahlawan karena tanpa dukungan mereka, penanganan dampak COVID-19 tidak
akan berjalan maksimal,” ujar Milly.
Lain halnya dengan
Wina. Ia memilih penyintas COVID-19 dan orang-orang yang merangkul penyintas
COVID-19 dengan tangan terbuka sebagai pahlawan sesungguhnya.
“Di masa pandemi ini, stigma sosial sangat erat kaitannya dengan
penyintas sehingga menurut saya, orang-orang yang bisa memberikan ruang lingkup
bagi penyintas agar mereka bisa berfungsi sosial secara normal, layak disebut
sebagai pahlawan,”
kata Wina.
Milly dan Wina turut
menyampaikan harapan mereka terhadap penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. “Semoga apa yang telah kami rintis akan
menggugah khususnya Pekerja Sosial di seluruh Indonesia sebab kiprah Pekerja
Sosial sangat dibutuhkan sebagai bagian dari pelayanan Rumah Sakit Darurat
COVID-19.”
Biro Hubungan Masyarakat