SUMBAWA (8 Juli 2020) – Mendampingi dan mengedukasi Keluarga Penerima Manfaat (KPM) merupakan tugas utama Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). Untuk bisa memberikan edukasi, pendamping harus menjangkau rumah-rumah KPM. Tak jarang, jauhnya jarak tempuh mengharuskan pendamping bermalam di rumah warga.
“Setiap turun ke lapangan, saya terpaksa harus menginap di salah satu rumah warga setempat,” ujar seorang Pendamping PKH Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Muhammad Isnaini, dalam keterangannya melalui percakapan WhatsApp.
Isnaini, begitu ia kerap disapa, mendampingi 219 KPM yang tersebar di dua desa di Kecamatan Batulanteh, yaitu Desa Baturotok dan Desa Kelungkung. Jarak tempuh dari kediamannya, di Kota Sumbawa, menuju rumah KPM dampingannya, di Desa Baturotok, Kecamatan Batulanteh, berjarak sekitar 95 KM.
Selain jarak yang jauh, dikatakan Isnaini, jalur yang rusak dan terjal semakin memperlambat laju kendaraannya untuk dapat segera tiba di desa tempat KPM tinggal.
“Untuk menuju Batulanteh, saya harus melewati jalanan rusak, perbukitan naik turun, bahkan sesekali sungai,” terangnya menjelaskan medan yang kerap ia tempuh.
Menurutnya, hal tersulit menuju lokasi dampingan adalah saat dimana ia harus melalui jalur sungai. Ia lantas menceritakan kisah yang pernah ia alami ketika harus berhadapan dengan air bah yang menghadangnya di tengah perjalanan saat jembatan penghubung belum dibangun.
“Saya terpaksa harus menunggu hujan reda dan menginap di tengah hutan saat itu. Beruntung, ada gubuk penduduk yang bertani di sekitar bukit, (yang bisa digunakan) sebagai tempat berteduh untuk semalam. Perjalanan baru dilanjutkan keesokan harinya setelah kondisi aman, tidak hujan,” imbuh dia mengisahkan suka dukanya menempuh medan tak biasa menuju desa KPM.
Meski demikian, ia mengaku bersama empat rekannya selalu sigap dalam proses pendampingan, mulai dari validasi awal calon peserta sampai pada proses pendampingan pencairan bantuan.
Melihat Tantangan Sebagai Sebuah Peluang
‘Pantang Pulang Sebelum Tugas Tuntas!’ Demikian sepenggal kalimat motivasi yang dipegang teguh oleh mereka, para Pendamping PKH. Motivasi tersebut mengiringi tugas para pekerja sosial yang tersebar di seantero nusantara, termasuk sasaran PKH di sudut desa di Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pria kelahiran Tepal 1991 itu menyatakan bahwa bertugas dengan kondisi jalan yang rusak dan terjal menambah tantangan tersendiri. Namun, ia mengaku, sejak resmi menjadi pendamping sosial pada tahun 2015, kenyataan akan hal itu sudah ia terima dengan lapang dada.
“Jika dijalani dengan ikhlas dan sabar, saya yakin, sesulit apapun tantangan yang dihadapi pasti ada jalan keluarnya. Begitupun dengan proses perjalanan menuju lokasi dampingan, dengan waktu tempuh bisa mencapai 4-5 jam dalam kondisi kemarau, bahkan setengah hari jika kondisi hujan, adalah bagaimana saya bisa mengatur strategi, waktu, dan seluruh perlengkapan agar kebutuhan lapangan tidak ada yang tertinggal atau terlupakan,” terang dia.
Selain itu, disebutnya, tantangan lain yang dihadapi adalah sulitnya aliran listrik di salah satu lokasi KPM dampingannya di Dusun Sampang Kuang Rea, Desa Baturotok. Sinyal baru masuk pada 2018, pun terbatas pada seluler. Kondisi lainnya, ia menambahkan, di beberapa dusun baru masuk listrik bantuan pemerintah berupa tenaga air, yang hanya mampu menyala dan menerangi rumah warga selama 12 jam/hari.
“Kondisi ini menjadi kendala saya berikutnya, saat validasi menggunakan Elektronik PKH (e-PKH) secara online. Walau bagaimanapun, saya tetap memandang positif hal tersebut, tugas tetap saya jalankan dengan teknis alternatif offline,” sambung pria yang tengah menempati posisi sebagai Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Sumbawa ini.
Lebih lanjut, alumni Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2014 itu menuturkan meski kondisi jalan dan aliran listrik tidak banyak berubah sampai saat ini, namun Batulanteh adalah kawasan yang cukup potensial untuk dikembangkan secara ekonomi.
Daerah itu, menurutnya, dikelilingi hutan dan didominasi perbukitan yang sejuk, sehingga kopi menjadi komoditas utama di sana. Ia beranggapan potensi itu bisa dimanfaatkan untuk memantik semangat warga penerima manfaat agar bangkit dan terpacu menjadi lebih baik daripada kondisi saat ini.
“Setiap kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2), saya selalu memotivasi warga setempat dengan kerangka modul dan materi yang terukur. Ini menjawab keinginan keras warga di sana untuk mau berubah, baik secara sosial maupun ekonomi,” pungkas Isnaini.