BADUNG (19 Desember 2022) - Penyandang disabilitas bukan lagi dipandang sebagai obyek dalam penanganan bencana. Bersama-sama elemen lain, mereka adalah pelaku aktif sejalan dengan kapasitasnya.

Berdasarkan arahan Menteri Sosial Tri Rismaharini, keterlibatan penyandang disabilitas merupakan perwujudan dari kesetaraan peran dan fungsi sosial mereka di tengah masyarakat. Di lain pihak, tingginya intensitas bencana di Indonesia, membutuhkan keterlibatan seluas mungkin elemen masyarakat.

Untuk keperluan penanggulangan bencana, Kemensos telah mengaktifkan Taruna Siaga Bencana (Tagana). Kini, untuk mewadahi peran penyandang disabilitas dan pihak yang mengusung visi inklusif, dibentuk Difabel Siaga Bencana (Difagana). Pertama kali digagas pada tahun 2017 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Difagana adalah laboratorium inklusif terkait penanganan bencana dan merupakan hasil kajian mitigasi terhadap kelompok rentan, khususnya disabilitas dalam kondisi darurat bencana.

"Peran penyandang disabilitas, seringkali dipandang sebagai objek di dalam konteks kebencanaan. Padahal mereka bisa diberdayakan menjadi bagian pilar sosial," kata Ketua Difagana DIY Doddy Kurniawan Kaliri saat ditemui pada Kegiatan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Penyandang Disabilitas Bali, Minggu (18/12).

Di awal kemunculannya, peran Difagana dalam penanggulangan bencana masih disangsikan dapat berkembang dan bermanfaat untuk masyarakat luas. Namun, hal ini tak menyurutkan niat mulia Difagana dalam membantu sesama penyandang disabilitas.

"Alhamdulillah, kami mampu membuktikan bahwa Difagana bisa menjadi subjek prioritas dalam penanganan bencana yang inklusif," kata Doddy.

Beranggotakan 121 personel dengan berbagai kompetensi keahlian, sepak terjang Difagana DIY tak perlu diragukan lagi. Selain menjadi fasilitator dalam Tagana Masuk Komunitas (TMK) dan Tagana Masuk Sekolah (TMS), Difagana DIY juga telah bertugas dalam mitigasi perlindungan sosial di berbagai daerah, antara lain Sembalun, Nusa Tenggara Barat (2018), Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah (2018-2019), dan Cianjur, Jawa Barat (2022).

"Personel Difagana yang ditugaskan ke lokasi bencana disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Contohnya, Layanan Dukungan Psikososial (LDP) di Cianjur menerjunkan tiga orang Difagana yang memberikan trauma healing, konseling, dan relaksasi," kata anggota LSM SIKAP Indonesia ini.

Keanggotaan Difagana, lanjut Doddy, tidak hanya terbatas pada penyandang disabilitas, melainkan seluruh lapisan masyarakat yang peduli dengan penyandang disabilitas.

"Intinya, Difagana dibuat inklusif, termasuk yang bukan disabilitas juga boleh bergabung. Yang penting, harus mempunyai visi, misi dan paradigma tentang penanggulangan bencana inklusif, berjiwa relawan, serta siap bertugas di seluruh wilayah Indonesia dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang melibatkan Difagana," kata peraih penghargaan Local Champion Award dan pembicara dalam Forum Asia-Pacific Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (APMCDRR) 2022 di Brisbane, Australia, beberapa waktu lalu.

Ke depannya, Doddy berharap agar Difagana menjadi program nasional sehingga bisa mengurangi potensi kerentanan penyandang disabilitas dalam penanganan bencana. 

"Saya mengapresiasi Kemensos yang memberikan tindak lanjut dalam penguatan kesiapsiagaan bencana bagi penyandang disabilitas dan sangat mendukung tindak lanjut pembentukan Difagana di Provinsi Bali. Idealnya, Dinas Sosial dan Pilar-pilar Sosial saling mendukung Difagana sebagai bagian utuh penanganan bencana inklusif yang memahami cara evakuasi penyandang disabilitas," kata Doddy.

Biro Hubungan Masyarakat
Kementerian Sosial RI