JAKARTA (2 Desember 2024) - Angkie Yudistia aktivis disabilitas sekaligus mantan Staf Khusus Presiden RI periode 2019-2024, berbagi kisah inspiratif tentang perjuangannya menghadapi keterbatasan dan meraih impian. Dalam talkshow bertajuk ‘Peran Keluarga dalam Membentuk Kepemimpinan Penyandang Disabilitas’ yang merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Disabilitas Internasional, Angkie mengungkapkan peran besar keluarganya dalam membentuk kedisiplinan dan kemandirian dalam hidupnya.  

“Orang tua saya selalu mengajarkan kedisiplinan, memulai hari dengan sarapan, berdoa, dan memastikan setiap hari harus bermakna. Mereka juga selalu bertanya, ‘How are you today?’ untuk memvalidasi perasaan saya, apakah bahagia atau sedih,” ujar Angkie. Menurutnya, dukungan emosional tersebut menjadi pondasi penting dalam membangun kepercayaan dirinya.  

Angkie diketahui kehilangan pendengarannya akibat demam tinggi saat usianya menginjak 10 tahun. Meski menjadi tantangan besar, kondisi tersebut justru memotivasinya untuk mandiri. “Ketika saya tahu tidak bisa mendengar, orang tua saya malah meminta saya belajar naik angkot, kereta, dan bus sendiri. Saat kuliah, saya ngekos dan belajar mengurus diri sendiri. Itu mengajarkan saya bahwa kemandirian dan bisa memimpin diri sendiri adalah kunci untuk mencapai cita-cita,” jelasnya.  

Pendidikan juga menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup Angkie. Meski sempat kesulitan mendapatkan akses pendidikan inklusif, ia berhasil menyelesaikan studi di sekolah umum, meraih gelar S1 dan S2 dalam bidang komunikasi, dan kini sedang menyelesaikan S3 di bidang yang sama.  

“Pendidikan membuka peluang bagi saya untuk memaksimalkan potensi. Dibalik keterbatasan, pasti ada kelebihan. Tinggal bagaimana kita mengasah dan memanfaatkannya,” tambahnya.  

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perkumpulan Orang Tua Anak Disabilitas Indonesia (PORTADIN), Hendratmoko, menekankan pentingnya peran orang tua dalam membangun karakter kepemimpinan anak disabilitas.  

“Orang tua harus memberikan akses yang sama, keluarga menjadi sentral dalam menanamkan tanggungjawab dan kepemimpinan pada anak dengan penyandang disabilitas, karena apabila menyangkut skill dan hasil kerja, kita masih bisa memberikan toleransi. Namun, jika menyangkut disiplin dan kejujuran, attitude tidak ada tawar-menawar lagi.,” tegas Hendratmoko.  

Para orang tua harus berani memvalidasi eksistensi anak penyandang disabilitas dan menanamkan pendidikan karakter sejak dini agar anak-anak tidak merasa insecure atau minder saat berinteraksi di tengah masyarakat.  

Dengan dukungan keluarga, pendidikan karakter, dan akses yang memadai, anak-anak penyandang disabilitas dapat tumbuh menjadi individu yang percaya diri, mandiri, dan mampu berkontribusi di berbagai bidang kehidupan.