Jakarta (26 November 2024) - Terik matahari tak menyurutkan semangat Zhafira Luthfiadinda (17) yang sibuk mencampurkan cat dengan berbagai warna. Warna-warna cerah itu disapu dengan kuas dan ditorehkan ke tembok berukuran 6x5 meter di Taman Ismail Marzuki.
Tak hanya sendiri, Zhafira ditemani tiga anak lainnya yang tuna rungu, Valentino Rasya Muharram (17), Andhisty Naifah Laksono (15), dan Mohamad Alif Al-Hafidz (13) yang merupakan siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Tuna Rungu Santi Rama. Empat anak ini didampingi langsung guru mereka Hilwa Sobia dan seniman mural profesional Munadiannur atau Muna.
Kementerian Sosial (Kemensos) mengundang mereka untuk meramaikan perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) dengan membuat mural di salah satu dinding TIM. HDI diperingati tiap 3 Desember 2024 sebagai wujud penghormatan terhadap hak-hak serta kesejahteraan penyandang disabilitas.
Acara ini mengusung tema "Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan". Terkait hal ini, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, M. O. Royani menjelaskan pembuatan mural merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2024. Tagar mural menampilkan tagar yang sama dengan HDI yaitu Setara berkarya.
"Dalam pembuatan mural itu kita bekerja sama dengan seniman artis mural Mas Muna. Kita juga sepakat dengan artis mural tersebut bahwa kita akan melibatkan anak-anak penyandang disabilitas dalam hal ini tuna rungu dari SLB Santi Rama," kata Royani di Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Menurut Royani, anak-anak dari SLB Santi Rama yang terlibat dalam pembuatan mural tersebut sangat berbakat. Apalagi mereka juga sudah aktif dan terbiasa melukis dan menggambar. Ia pun berharap para penyandang disabilitas dapat memiliki aktivitas dan produktivitas yang sama dengan anak-anak lainnya.
"Karena ternyata kemampuan penyandang disabilitas sensorik dan non sensorik sama, yang berbeda hanya jam terbang. Sehingga dengan diberikan kesempatan, mereka dapat belajar. Kami harapkan mereka suatu saat dapat segera mandiri melalui bakat dan minat dalam bidang seni," katanya.
Terkait hal ini, Seniman mural yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Muna, panggilan akrabnya, menceritakan dirinya mengajak siswa SLB Santi Rama untuk berkolaborasi membuat mural pada perayaan HDI.
"Awalnya itu beberapa siswa dari Santi Rama pernah belajar kursus di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Kebetulan saya saat ini juga mengajar di kampus IKJ, jadi kemudian saya yang diberi tanggung jawab mengajari mereka," kata Muna.
Lalu ia diminta menjadi mentor kelompok difabel untuk membuat mural. Ia pun teringat dengan murid-murid dari SLB Santi Rama dan mengajak untuk berkolaborasi.
"Respons sekolah mendukung teman-teman terlibat di dalam event mural ini," katanya.
Pada kolaborasi mural ini, Muna menceritakan gambar yang dibuat mencakup semua jenis keistimewaan kelompok difabel. Diantaranya mulai dari tuna rungu, tuna wicara, dan disabilitas lainnya.
"Setara dalam berkarya bukan menyamaratakan tapi memberi ruang yang sama kepada siapapun untuk berkarya termasuk untuk teman-teman disabilitas," katanya.
Ia menegaskan teman-teman difabel dengan segala keterbatasan ternyata tak menghalangi langkah untuk bisa berkarya di bidang masing-masing. Apalagi bila diberikan bimbingan yang tepat dari orang tua dan sekolah maka kelompok difabel ternyata juga mampu bersaing.
"Dari yang terlibat di mural kali ini, mereka juga sudah sering juara nasional untuk lomba lukis, desain, dan lainnya. Jadi, potensi mereka harus diperhatikan dan dipertimbangkan karena memiliki potensi yang besar banget seperti anak-anak pada umumnya, dan harus dapat dukungan yang besar," ujar Muna.
Ia menambahkan kelompok disabilitas ada di sekitar masyarakat. Mereka memiliki hak yang sama dengan yang lain. Meski dengan segala keterbatasan, mereka bisa mengembangkan potensi dengan baik bermodal dukungan yang tepat.
"Perlu ada edukasi ke masyarakat dan membangun awareness bahwa penyandang disabilitas sama dengan kita," katanya.
Menurutnya, empat siswa ini cepat beradaptasi dengan medium baru untuk membuat mural. Ia berharap ke depannya potensi kelompok difabel ini bisa terus dikembangkan hingga dapat membuat lapangan pekerjaan.
"Harapannya karya-karya mereka bisa dijual dengan bentuk kerja sama. Tapi, untuk membangun hal ini memang harus dibentuk dulu kesadarannya dari berbagai pihak," katanya.
Mereka menggunakan cat tembok dengan warna primer. Nantinya warna-warna tersebut akan dicampur agar bisa memunculkan warna sekunder dan tersier. Sehingga, warna-warna itu bisa menghadirkan warna-warna yang ceria.
"Kita menggunakan warna-warna yang vibrant yang merepresentasikan warna warni di dunia disabilitas. Karena mereka punya warna warninya sendiri yang merepresentasikan keindahan dalam bentuk lain," ujarnya.
Di sisi lain, salah satu Seniman difabel, Zhafira mengaku sejak kecil sudah suka menggambar. Sebab, menggambar bisa menjadi media komunikasi dan hiburan baginya. Orang tuanya yang melihat minat dan bakat putrinya pun langsung mengarahkan untuk les melukis.
"Dulu anak-anak sulit komunikasi. Jadi waktu TK masuk sekolah umum. Sulit komunikasi dengan teman. Jadi dia pakai gambar untuk berkomunikasi karena belum bisa menulis. Akhirnya komunikasi lewat visual," kata Hilwa menjelaskan pernyataan Zhafira.
Sejak SD, Zhafira kerap mengikuti lomba yang berhubungan dengan menggambar. Ia pun pernah mengantongi juara 1 lomba desain grafis hingga komik.
"Lomba sering, saya bawa Zhafira dan Andhisty lomba komik digital, Festival Lomba Seni Siswa Nasional, diadakan kemendikbud. Khusus Anak Berkebutuhan Khusus dari seluruh Indonesia. Mereka lolos 10 besar tingkat nasional. Lalu pernah juara 1 lomba komik digital tingkat nasional," ujar Hilwa.
Hilwa menceritakan para siswanya memang memiliki minat dan bakat melukis. Pemerintah memberikan dana BOS untuk pelatihan di luar sekolah.
"Saya cari di IKJ, bulan lalu saya bawa Zhafira dan Andhisty latihan bersama Kak Munna. Dalam satu periode ada 6 kali pertemuan intens. Lalu diajak terlibat dalam mural karena melihat potensi anak-anak," kata Hilwa saat ditemui pada kesempatan yang sama.
Ia menjelaskan ke empat anak didiknya tuna rungu total. Selama pelatihan bersama Munna, ia memberikan kesempatan para siswa berkomunikasi langsung dengan Munna.
Hilwa mengaku senang anak didiknya dilibatkan dan diberi wadah setara untuk mengembangkan kreativitasnya. Para siswa memiliki kesempatan bagus untuk belajar melukis di media selain kanvas di acara Hari Disabilitas Internasional. Pengalaman baru ini diharapkan juga dapat menyuarakan hak-hak disabilitas.
"Kami berharap karya kami tersebar ke seluruh dunia, walau yang buat anak-anak disabilitas," kata Hilwa menirukan ucapan Zhafira saat ditemui di sela pembuatan mural.