Hakekat pembangunan kesejahteraan sosial adalah suatu upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Pembangunan kesejahteraan sosial diselenggarakan sebagai wujud investasi sosial yang dilaksanakan secara bersama oleh segenap masyarakat, dunia usaha dan pemerintah/pemerintah daerah. Pembangunan kesejahteraan sosial harus dilaksanakan secara terencana, terpadu, selaras, bertahap, berkelanjutan dan merata serta dapat dirasakan oleh para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau Pemerlu Pelayanan Kesejahtaraan Sosial (PPKS) dan masyarakat pada umumnya dalam rangka mewujudkan perbaikan kualitas kehidupan yang berkeadilan sosial.

Mengutip pendapat Edi Suharto, Ph.D. dalam bukunya berjudul Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, diuraikan tentang konsep pembangunan kesejahteraan sosial yang dituangkan ke dalam visi dan misi minimal ada tiga agenda besar yang perlu dilakukan.

Pertama, tugas program kesejahteraan sosial perlu direkonstruksi atau diluruskan kembali (rebounding) agar lebih jelas dan terukur. Sejalan dengan tiga fokus program kesejahteraan sosial yakni pelayanan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Visi program dapat mengacu kepada tiga pokok tersebut dengan konsep ‘melayani, melindungi dan memberdayakan masyarakat’. Dengan visi ini, sehingga dapat merumuskan core bussiness-nya secara terukur dengan memiliki “merek dagang” (trade-mark) yang mudah dikenal oleh masyarakat luas.

Kedua, mengarustamakan disiplin dan profesi pekerjaan sosial ke dalam kebijakan dan program. Seperti halnya profesi keguruan yang menjadi ‘tuan rumah’ dalam dunia pendidikan, maka program kesejahteraan sosial perlu menetapkan pekerjaaan sebagai ‘tuan rumah’ dan  basis profesionalisme yang menerangi setiap konsep dan strateginya. Tanpa adanya kejelasan, maka program kesejahteraan sosial akan dipandang sebagai lembaga atau program “biasa-biasa saja” yang kegiatannya bisa dilakukan oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Ketiga, agar tidak sekedar dianggap sebagai sektor pembangunan yang hanya menangani “sampah sosial” atau “piring kotor”, program kesejahteraan sosial tidak hanya terpusat pada kegiatan mendayung (rowing) dalam perahu pembangunan, melainkan pula harus terlibat dalam aktifitas menyetir (steering), dalam bentuk perumusan kebijakan sosial di tingkat makro.

Dalam konteks ini, pemerintah daerah dalam hal ini harus bisa membaca dan membuat program-program pemberdayaan masyarakat yang terencana, terintegrasi, terkoneksi dan terukur dalam berbagai indikator yang dibangun, dengan demikian bukan hanya difokuskan kepada pemenuhan kebutuhan sehari-hari pemerlu pelayanan, justru bagaimana menumbuhkan semangat masyarakat mengembangkan potensinya dan mengelola peluang guna mewujudkan kesejahteraan sosial hidupnya. Desa memiliki banyak potensi, namun sedikit sekali yang terkelola secara terencana dan sistematis, hampir seluruh desa dibentuk Badan Usaha Milik Desa, lahan-lahan tidak produktif terbengkalai akibat penambangan, lahan perkebunan sawit rakyat banyak ditelantarkan, pengelolaan dana desa belum semuanya terintegrasi dengan perencanaan strategis, pengendalian dan evaluasi program belum berlangsung efektif, itu semua terjadi karena kurang efektif merencanakan dan minimnya pengetahuan dan informasi masyarakat dalam banyak hal. Kondisi ini memberikan jawaban bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan sosial membutuhkan visi dan misi yang kuat dan terintegrasi dengan konsep pemberdayaan masyarakat.

Konsep Kesejahteraan Sosial

Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial telah lama dikenal. Ia telah ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mulai dari Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial hingga terbitnya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial sudah membicarakan tentang konsep kesejahteraan sosial. Dijelaskan bahwa kesejahteraan sosial dimaksudkan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan bathin yang memugkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rohaniah, jasmaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga dan masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan  anak terlantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia (dalam Suharto, 2002; Swasono, 2004). Pada prinsipnya kehadiran negara dalam rangka memberikan kesejahteraan sosial bagi rakyat dengan berbagai kebijakan, strategi, program dan kegiatan agar rakyatnya mampu menjalankan roda kehidupannya dengan baik. Dengan demikian, pemerintah harus mampu memformulasi kebijakan pembangunannya secara proporsional antara pembangunan fisik dengan pembangunan sosial berasaskan keadilan sosial.

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Adopsi Desa Sosial (ADES)

Berawal dari konsepsi dari program kesejahteraan sosial yang secara nasional yang didengungkan oleh Edi Suharto seorang pakar ilmu pekerjaan sosial ini, penulis selaku penyuluh sosial mencoba memunculkan gagasan mengembangkan program Adopsi Desa Sosial (ADES) sebagai daya ungkit (leverage) dalam kerangka wujudkan pembangunan kesejahteraan sosial berbasis potensi desa yang terintegrasi dengan program pemberdayaan masyarakat. Program ADES memiliki pendekatan holistik tematik dengan perencanaan dan penganggaran yang diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja perangkat daerah agar terkoneksi dengan program-program teknis lainnya. Sebagai kebijakan utama dalam memadukan rekayasa kegiatan, ADES dijadikan desa binaan sosial yang tentunya menjadi leading sector yang berperan utama menyukseskannya adalah para pekerja sosial, penyuluh sosial dan penggerak swadaya masyarakat ditunjang dengan para relawan atau pendamping lapangan desa. Target capaian program secara jangka panjang selama 5 (lima) tahun yang dirinci ke dalam pelaksanaannya melalui target tahunan dalam rencana kerja perangkat daerah.

ADES dijadikan barometer dalam mengimplementasikan berbagai program pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan sosial termasuk jaminan sosial. Keberhasilan pelaksanaan program akan lebih mudah diukur, dijelaskan, dievaluasi dan dikendalikan karena seluruh aktifitas kegiatan sudah terfokus dengan lokasi dan sasaran yang terencana, sehingga pihak eksternal pun akan dimudahkan dalam pengawasannya. Dalam program ADES terdiri dari beberapa langkah aksi, yakni :

a.  Pemetaan sosial.

Pemetaan sosial dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Pemetaan sosial adalah proses penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk didalamnya profil dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Sedangkan fungsi utama pemetaan adalah untuk memasok data dan informasi bagi pelaksanaan program pemberdayan masyarakat. Salah satu strategi pemetaan sosial yang cepat bisa dimulai dengan melakukan analisa SWOT (strength, weakness, opportunity, treath) dengan melibatkan seluruh unsur penyelenggara pemerintahan desa selaku subjek sekaligus objek daripada program ADES. Tujuannya untuk menemukenali berbagai potensi lokal, permasalahan sosial dan daya dukung desa lainnya yang dimiliki desa, sehingga sumber data dan informasi akan terekam untuk dijadikan bahan perencanaan program pembangunan desa secara menyeluruh. Pemetaaan potensi dan permasalahan desa meliputi seluruh aspek material dan immaterial yang tersedia di desa. Gambaran kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman di desa akan tergali melalui pemetaan potensi yang bersumber pada data dan fakta yang ada.

b.  Penetapan Desa sebagai desa binaan sosial.

Desa-desa yang sudah terpetakan  potensi dan permasalahannya agar mendapatkan legitimasi sebagai lokus pemberdayaan berdasarkan kriteria tertentu, tentunya harus diakui dan mendukung visi misi kepala daerah, sehingga arah kebijakan yang akan dituangkan dalam rancangan program dan kegiatan perangkat daerah mendapatkan akses perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah. Penetapan desa sebagai desa ADES dipastikan sudah melalui pemilihan berjenjang sebelum ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.

c.  Pendampingan Sosial.

Sebagai sebuah strategi pemberdayaan masyarakat, pendampingan sosial memegang peranan penting dalam menggali potensi sosial desa. Dalam buku ‘Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa’ oleh Profesor Gunawan Sumodiningrat dijelaskan bahwa ada lima kegiatan penting yang dapat dilakukan seperti pemberian motivasi, peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan, manajemen diri, mobilisasi sumber, serta pembangunan dan pengembangan jaringan. Sedangkan strategi pendampingan sosial yang dapat diimplementasikan oleh para pendamping sosial diantaranya:

1) pemungkin (enabler) yakni berupaya menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat desa berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat;

2) penguatan, yakni upaya memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat desa dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat guna menunjang kemandiriannya;

3) perlindungan, yakni upaya melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas atau didominasi oleh kelompok kuat, menghindari dan mencegah terjadinya persaingan atau eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil;

4) penyokongan, yakni upaya memberikan bimbingan dan dukungan agar agar masyarakat mampu menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan;

5) pemeliharaan, yakni upaya memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antaran berbagai kelompk dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. (Suharto, 1997).

d.  Perencanaan Sosial. Perencanaan sosial memiliki kaitan yang erat dengan perencanaan pelayanan kesejahteraan sosial. Perencanaan program pelayanan sosial pada dasarnya menunjuk kepada kegiatan-kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial  yang umumnya mencakup bimbingan keluarga, pendidikan/pengasuhan orang tua, perawatan sehari-hari, kesejahteraan anak, perawatan lanjut usia, rehabilitasi penyandang cacat/disabilitas dan narapidana, pelayanan bagi pengungsi, kegiatan kelompok remaja, pelayanan kesehatan, kegiatan persekolahan, dan perumahan (Marjuki dan Suharto, 1996). Namun, dalam perencanaan sosial ada beberapa aspek penting yang menjadi langkah-langkah yang harus dirumuskan.

Menurut Edi Suharto (Suharto, 1997) ada lima tahapan, yakni:

1) tahap identifikasi masalah. Berusaha mengidentifikasi masalah-masalah sosial yang akan direspon oleh suatu program. Identifikasi masalah perlu dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan teknik-teknik dan indikator yang tepat. Identifikasi masalah sangat erat kaitannya dengan asesmen kebutuhan (need assessment).

2) penentuan tujuan. Tujuan dapat didefinisikan sebagai kondisi di masa depan yang ingin dicapai. Maksud utama penentuan tujuan adalah untuk membimbing program ke arah pemecahan masalah. Tujuan dapat menjadi target yang menjadi dasar bagi pencapaian keberhasilan program. Tujuan bisa dimulai dengan rumus SMART (specific, measurable, achievable, realistic, time-bound).

3) penyusunan dan pengembangan rencana program. Dalam proses perencanan sosial, para perencana dan pihak-pihak terkait atau para pemangku kepentingan selayaknya bersama-sama menyusun pola rencana intervensi yang komprehensif.Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses perumusan program diantaranya adalah melakukan identifikasi program alternatif, menentukan hasil program dari setiap program alternatif, menentukan biaya untuk melaksanakan program, terakhir menentukan kriteria pemilihan program alternatif yang akan dipilih dan dilaksanakan. Pemilihan program dapat dilakukan atas dasar rasional.

4) pelaksanaan program. Tahap implementasi program pada intinya menunjuk pada perubahan proses perencanaan pada tingkat abstraksi yang lebih rendah. Minimal ada dua prosedur dalam merencanakan program yang harus dilakukan yakni : a) merinci prosedur operasional untuk melaksanakan program dan; b) merinci prosedur agar kegiatan-kegiatan sesuai dengan rencana.

5) evaluasi program. Melakukan analisis kembali kepada permulaan proses perencanaan apakah tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Evaluasi baru bisa dilaksanakan kalau rencana sudah dilaksanakan.

Implementasi program kesejahteraan sosial melalui Adposi Desa Sosial menjadi program alternatif bilamana diasumsikan bahwa selama ini pemerintah daerah khususnya instansi teknis kesulitan dalam mengukur capaian intervensinya secara komprehensif, bisa jadi disebabkan pembangunan kesejahteraan sosial masih berkutat pada bantuan sosial yang mana cenderung konsumtif dan dimanjakan serta kurang fokus (parsial) dan bersifat sementara, penyelesaian permasalahan sosial belum substantif alias masih setengah hati, padahal yang harus dipecahkan adalah akar permasalahannya.

ADES bisa dipertimbangkan karena potensi dan kekuatan lokal harus secara komprehensif disiapkan, direncanakan, diintegrasikan dan diberdayakan untuk dikerjakan dan dikembangkan secara lintas program, lintas fungsi dan lintas sektor yang melibatkan seluruh komponen perangkat daerah terkait termasuk sumber APBDes. Dengan mengadopsi desa sebagai desa binaan sosial, tentunya dengan indikator-indikator sesuai karateristik daerah masing-masing akan memudahkan dalam proses POAC (planning, organiting, actuating dan controlling).

ADES, Ibaratnya mengangkat seorang anak asuh yatim piatu (terlantar) yang butuh perhatian, kasih sayang, pendidikan, perawatan kesehatan, perlindungan, nutrisi, pengetahuan dan seabrek kelemahannya. Diharapkan dengan adanya pengakuan sebagai orang tua asuh tentu pastinya akan terus berusaha agar anak asuhnya mampu bangkit, bersemangat, sehat, berkembang menuju kemandirian sesuai impian orang tua asuhnya.

ADES tidak hanya berbicara pemenuhan hak-hak sosial dasar masyarakat desa, namun mengarah kepada penciptaan sumber-sumber kesejahteraan sosial baru lainnya termasuk fasilitas, sarana, penguatan kapasitas sumber daya, pengembangan kemitraan dan jejaring kerja serta penguatan kelembagaan sosial kemasyarakatan yang belum terakomodir. Pemerintahan desa secara proaktif menjadi motor penggerak mulai dari perencanaan hingga melakukan monitoring secara kontinyu dengan melibatkan unsur-unsur pemerintahan desa lainnya. Masyarakat tidak hanya menjadi objek pemberdayaan melainkan subjek yang mesti diberdayakan. ADES bekerja atas dasar pemetaan kebutuhan yang diformulasikan dalam kerangka dokumen perencanaan lima tahunan agar diakui dan bisa direalisasikan oleh perangkat daerah seiring dengan visi misi kepala daerah