Narkoba, Narkotika dan Napza, apapun sebutannya kita semua pasti sepakat penyebaran dan penyalahgunaan barang ini perlu untuk diperangi. Masalah yang ditimbulkan oleh barang haram ini seakan tidak dapat terselesaikan. Permasalahan yang berkaitan dengan narkoba semakin beragam seiring perkembangan modus operandi penyebaran dan penyalahgunaan narkoba.

Sumber data yang dirangkum dari Puslidatin BNN menyebutkan masih cukup tingginya tingkat prevalensi penyalahgunaan narkoba di masyarakat kita. Tentu ini menjadi sebuah kekhawatiran yang perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat di 2 (dua) tahun terakhir ini dari sudut pandang ekonomi segala lini dan sektor cukup terpukul dengan adanya pandemi COVID-19. Namun justru satu hal yang menjadi anomali adalah tingkat prevalensi penyalahgunaan narkoba yang tidak mengalami penurunan signifikan.

Tabel Prevalensi Penyalahguna “Pernah Pakai”

USIA

DESA

KOTA

TOTAL

2019

2021

2019

2021

2019

2021

15-24

1,10

1,93

2,30

1,99

1,80

1,96

25-49

3,30

2,24

3,00

3,61

3,10

3,00

50-64

0,40

1,65

1,80

2,60

1,30

2,17

Sumber : Indonesia Drugs Report 2022 PUSLIDATIN BNN

Dengan memperhatikan tabel di atas terlihat secara total ada kenaikan tren penyalahguna narkoba pada rentang usia 15-24 tahun dan 50-64 tahun terhitung mulai tahun 2019 hingga 2021. Meskipun ada penurunan pada rentang usia 25-49 tahun namun kewaspadaan peningkatan di tahun ini perlu terus dilakukan.

Trend prevalensi penyalahgunaan narkoba pada tabel di atas juga menggambarkan bagaimana besarnya tantangan yang dihadapi dalam mengatasi permasalahan narkoba di Indonesia. Presiden Republik Indonesia telah mengatakan jika saat ini Indonesia mengalami darurat narkoba. Dengan adanya ucapan darurat yang disampaikan oleh presiden seyogyanya penanganan permasalahan narkoba dilakukan lebih massive lagi. Penanganan narkoba perlu berkesinambungan dan berkelanjutan, mulai dari penanganan di bagian hulu hingga ke hilir. Penanganan yang bersifat preventif hingga kuratif. Namun pada kenyataannya program penanganan permasalahan narkoba masih sulit menjadi sebuah prioritas padahal telah ada Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang narkotika yang telah menuangkan secara jelas dan gamblang jika narkotika ataupun narkoba perlu diperangi dan mendapatkan perhatian dari segenap pihak utamanya pemerintah.

Salah satu tantangan penanganan permasalahan narkoba adalah bagaimana membentuk sistem terpadu yang menjalankan tugas penanganan mulai dari hulu hingga hilir. Masalah narkoba sama halnya seperti konsep dalam teori ekonomi dimana semakin tinggi permintaan maka akan semakin tinggi pula penawaran. Trend kenaikan prevalensi penyalahguna narkoba yang terjadi hemat dikatakan bahwa permintaan domestik akan narkoba mengalami peningkatan oleh karena itu penawaran akan narkoba pun akan menjadi semakin tinggi. Untuk mengantisipasi kondisi ini maka penanganan melalui sistem terpadu perlu dilakukan. Penanganan hulu akan berkaitan dengan bagaimana melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba dengan menggalakkan kegiatan seperti pengungkapan kasus penyelundupan narkoba, sosialisasi bahaya panyalahguna narkoba yang dimulai dari tingkat pelajar hingga masyarakat umum, bahkan jika perlu untuk dilakukan kegiatan patroli massive di titik masuk wilayah perairan, daratan dan udara Indonesia.

Kemudian dari sisi hilir akan berfokus pada upaya penanganan yang bersifat kuratif. Penanganan kuratif dari korban penyalahgunaan narkoba dilakukan melalui rehabilitasi baik itu rehabilitasi sosial dan medis perlu terus diperkuat. Penyediaan layanan rehabilitasi khususnya rehabilitasi sosial yang selama ini terkendala pembagian tanggung jawab daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 sudah seharusnya diperhatikan lebih dalam dengan menyediakan layanan rehabilitasi sosial yang lebih memadai lagi di tingkat daerah provinsi dengan tetap pemerintah pusat sebagai penanggung jawab. Keberadaan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) perlu ditingkatkan agar pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkoba bisa diakses lebih mudah oleh masyarakat pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial.

Memperkuat penanganan di hulu secara tidak langsung dapat menekan jumlah penyalahguna baru karena penawaran akan ditekan untuk tidak naik atau bahkan mengalami penurunan dengan memutus mata rantai penjualan dan memberikan edukasi yang berkesinambungan kepada masyarakat luas agar tidak menyalahgunakan narkoba. Di sisi lain dengan memperkuat penanganan di hilir melalui jalur rehabilitasi akan menekan dari sisi relapse atau kambuhnya korban penyalahgunaan narkoba untuk kembali menggunakan barang haram tersebut sehingga permintaan dapat ditekan.

Keberadaan sistem terpadu inilah yang belum nampak secara menyeluruh sehingga penanganan permasalahan narkoba belum dapat terselesaikan. Selain itu ego sektoral antar organisasi perangkat daerah (OPD) baik itu di tingkat pusat dan daerah dalam upaya penanganan masalah narkoba masih cukup terasa sehingga memberikan kesan masalah narkoba menjadi masalah OPD tertentu saja. Padahal tiap saat dan tiap waktu modus operandi, prekursor, dan target penyebaran serta penyalahgunaan narkoba terus terjadi dengan pola yang beragam dan meningkat dari waktu ke waktu. Jenis obat-obatan baru dan belum masuk dalam daftar obat dalam peraturan Menteri Kesehatan bisa menjadi celah dalam memberikan sanksi bagi pengedar narkoba. Oleh karenanya penguatan sistem terpadu ini bisa menjadi salah satu upaya alternatif yang mungkin bisa dikaji kembali agar dapat dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah program terpadu dan sistematis yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten kota di Indonesia.