Dalam era mayantara saat ini, literasi digital telah menjadi keterampilan penting yang tidak hanya relevan bagi masyarakat umum, tetapi juga sangat krusial bagi individu berkebutuhan khusus.
Literasi ini membuka akses yang lebih luas terhadap informasi dan membekali mereka dengan kemampuan bertahan bersaing di dunia yang semakin mengandalkan teknologi (Alfirah & Gustiana, 2024) sehingga memungkinkan mereka mengakses informasi, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam masyarakat secara lebih efektif (Agustin & Wiratama, 2024). Oleh karena itu, upaya peningkatan literasi digital harus menjadi prioritas bersama, melibatkan pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Individu berkebutuhan khusus, terutama yang masih anak-anak, sering kali menghadapi berbagai tantangan dalam pembelajaran, baik karena gangguan fisik, mental, intelektual, maupun sensorik (Bachtsis, Perifanou, & Economides, 2024). Untuk mengatasi tantangan ini, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat dimanfaatkan sebagai salah satu solusi utama. Pengembangan keterampilan dalam memahami dan menggunakan TIK bagi anak berkebutuhan khusus perlu disesuaikan dengan kebutuhan mereka (Santoso & Pratiwi, 2020) untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mereka.
Berbagai inovasi teknologi telah dikembangkan untuk mendukung aksesibilitas bagi individu berkebutuhan khusus. Contohnya, perangkat lunak pembaca layar bagi individu dengan gangguan penglihatan atau aplikasi berbasis text-to-speech untuk mereka yang mengalami gangguan pendengaran. Teknologi ini memungkinkan mereka mengakses informasi dan berinteraksi secara lebih mandiri (Yusuf & Rahmawati, 2021).
Dalam diskusi mengenai literasi digital, penciptaan konten yang inklusif menjadi hal yang tak terpisahkan. Pengembang aplikasi dan pembuat konten digital perlu memastikan bahwa produk yang mereka hasilkan mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk individu berkebutuhan khusus. Hal ini mencakup penggunaan bahasa yang sederhana, desain yang intuitif, dan fitur-fitur yang mudah diakses oleh mereka yang menggunakan alat bantu (Moreno & Mayer, 2019). Dengan demikian, teknologi tidak hanya menjadi alat, tetapi juga sumber daya pemberdayaan bagi individu berkebutuhan khusus.
Edukasi literasi digital yang inklusif juga memerlukan peran tenaga pendidik yang terlatih. Program pelatihan bagi pendidik perlu mencakup pemahaman tentang tantangan yang dihadapi individu berkebutuhan khusus (Ahmad & Zainuddin, 2022). Pelatihan ini dapat mencakup keterampilan seperti menjelajahi internet dengan aman, menggunakan perangkat digital secara efisien, dan mengembangkan kemampuan komunikasi online. Dengan pendekatan ini, individu berkebutuhan khusus dapat lebih percaya diri dan mandiri dalam memanfaatkan teknologi untuk kehidupan sehari-hari (Nugraha & Suryani, 2023).
Dukungan keluarga turut memainkan peran penting dalam mendukung literasi digital bagi anak berkebutuhan khusus. Orang tua perlu menciptakan lingkungan yang kondusif di rumah dengan mengatur waktu layar (screen time) dan memastikan penggunaan perangkat untuk tujuan konstruktif (Smith & Carlson, 2022). Selain itu, orang tua juga perlu mengajarkan prinsip keamanan internet, seperti mengenali informasi yang tidak akurat dan menjaga privasi di dunia maya (Livingstone & Haddon, 2020).
Partisipasi masyarakat dalam mendukung literasi digital bagi individu berkebutuhan khusus juga sangat diperlukan. Program seperti lokakarya atau seminar yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta, dapat membantu menciptakan program literasi digital yang lebih terintegrasi dan efektif. Kolaborasi semacam ini tidak hanya akan memperluas akses terhadap pendidikan literasi digital, tetapi juga mendorong inovasi dalam menciptakan solusi yang ramah bagi individu berkebutuhan khusus (Kusuma & Andriani, 2020).
Di lingkungan layanan seperti unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Sosial RI, program literasi digital telah diterapkan melalui layanan asistensi rehabilitasi sosial (ATENSI). Program ini mencakup pelatihan komputer adaptif bagi disabilitas netra. Namun, durasi layanan yang terbatas sering kali menjadi kendala dalam menyampaikan materi literasi digital secara mendalam. Solusi potensial untuk mengatasi ini adalah mengadakan lokakarya literasi digital secara rutin yang turut melibatkan pekerja sosial, terapis, psikolog, dan pengasuh. Kolaborasi ini dapat memastikan bahwa materi yang disampaikan relevan dengan kebutuhan peserta dan membantu menciptakan ekosistem literasi digital yang kondusif.
Literasi digital juga memiliki potensi besar untuk mendukung kemandirian individu berkebutuhan khusus, baik melalui karir sebagai content creator maupun profesi lain yang berbasis daring. Dengan keterampilan ini, mereka dapat membangun ekosistem bisnis yang lebih luas dan menjadi produsen konten yang bertanggung jawab. Namun, penting untuk memastikan bahwa literasi digital tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga melatih kemampuan berpikir kritis. Kemampuan ini membantu individu mengenali informasi valid di tengah arus informasi yang kerap dipenuhi hoaks, sehingga mereka dapat memanfaatkan internet dengan bijak dan aman (Rheingold, 2012).
Dukungan literasi digital bagi individu berkebutuhan khusus membutuhkan kolaborasi yang kuat dari berbagai pihak. Pemerintah dapat memainkan peran strategis melalui kebijakan inklusif, sementara keluarga dan masyarakat memberikan dukungan langsung dalam mendampingi penggunaan teknologi.
Dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada literasi digital, kita tidak hanya membekali mereka untuk bertahan di era digital, tetapi juga membuka pintu menuju peluang yang lebih luas. Bersama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi