JAKARTA,
JUMAT (9 DESEMBER 2022) – Kementerian Sosial menerima kunjungan
Menteri Kehakiman Kyrgyztan Aiaz Baetov. Kedatangan Baetov untuk menimba
pengalaman Indonesia dalam mengatasi masalah terorisme dan radikalisme,
khususnya dalam bidang rehabilitasi.
Kyrgyztan
memandang Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam menangani masalah gerakan
teroris dan radikal. Pengalaman Indonesia diharapkan bisa membantu Kyrgyztan
menghadapi masalah serupa.
Sebagai
tetangga dekat Afghanistan, Kyrgyztan menjadi akses yang cukup mudah bagi warga
negaranya bergabung dengan kelompok ekstrimis. Mereka terlibat gerakan radikal
di Iraq, Afghanistan, dan Syiria. Kini Kyrgyztan menghadapi gelombang deportan
dan returnis yang pulang kampung.
“Kami
menghadapi masalah-masalah baru. Oleh karena itu kami perlu memahami langkah ke
depan dan bergabung dengan negara lain untuk mencari solusi. Karena itu kami sangat
berterima kasih sudah diterima di Indonesia. Kami sangat berharap bisa saling
berbagi pengalaman,” kata Aiaz Baetov di Kantor Kemensos Jalan Salemba 28,
Selasa (6/12).
Kementerian
Sosial menyambut baik kunjungan Baetov. Di Kemensos terdapat Direktorat Korban
Bencana dan Kedaruratan (KBK) dan Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak yang
memberikan program rehabilitasi sosial bagi eks napiter, keluarga, dan anak
terpapar radikalisme.
“Di
Kami bekerja sama dengan lembaga dan kementerian lain untuk memberikan layanan
yang komprehensif,” kata Sekretaris Ditjen Rehabilitasi Sosial Salahuddin
Yahya.
Dalam
kesempatan yang sama, Plt. Direktur Rehsos KBK sekaligus Direktur Rehsos Anak,
Kanya Eka Santi mengungkapkan bahwa Indonesia juga mengalami masalah yang relatif
sama dengan Kyrgyzstan. Paham ekstrimisme kekerasan telah menjalar ke seluruh
komponen keluarga, yaitu perempuan dan anak.
Untuk
mengatasi hal tersebut, Kemensos menggunakan pendekatan berbasis residensial,
keluarga, dan masyarakat. Untuk eks napiter misalnya, diberikan program
pemberdayaan seperti keterampilan yang disalurkan melalui keluarga dan Lembaga
Kesejahteraan Sosial.
“Kami
berikan pelatihan seperti cuci mobil, bengkel, atau usaha lainnya. Dengan
pemberian modal dari kami. Jadi mereka bisa berjualan dan beternak. Di Sulawesi
Tengah kami memberikan dukungan kepada 30 orang eksnapiter untuk mendukung
usaha mandiri,” ujarnya.
Kemensos
juga memiliki sentra berbasis residensial yang menyediakan layanan rehabilitasi
sosial bagi keluarga dan anak yang terpapar radikalisme. Mereka terdiri dari
deportan dari luar negeri, returnis dari Syiria, dan orang-orang yang ditangkap
oleh Densus 88 di dalam negeri. “Namun Sentra Kemensos hanya menangani individu
dan keluarga dengan tingkat radikalisme rendah hingga sedang,” katanya.
Rehabilitasi
di sentra mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pemeriksaan kesehatan secara
menyeluruh, terapi psikososial dan mental spiritual, dukungan keluarga,
pelatihan vokasional dan/atau pembinaan kewirausahaan, dan dukungan
aksesibilitas seperti pendidikan. Pendidikan menjadi penting mengingat banyak
anak-anak yang terlibat jaringan terorisme yang putus sekolah dan menjalani
homeschooling versi orang tuanya.
“Kalau
anak-anak kita support sekolahnya, ada juga yang mau kuliah kita support.
Termasuk sarprasnya kita dukung seperti laptop, sepeda, seragam dan lainnya
sehingga hak mereka untuk pendidikan bisa terpenuhi,” ujar Kanya.
Kemudian
hal yang tak kalah penting adalah adalah bimbingan wawasan kebangsaan. Dalam
beberapa kasus, anak-anak yang terpapar paham radikal cenderung bersikap
intoleran dan anti terhadap simbol-simbol negara. “Salah satu cara, kita
ajarkan kembali untuk menyanyikan lagu kebangsaan,” katanya.
Kemensos
juga mengundang Eks napiter yang kembali setia kepada negara untuk berbagi
pengalaman kepada eks napiter lain, individu dan anak yang terpapar. “Anak-anak
biasanya sangat mengidolakan teroris tertentu. Mendengarkan arahan idolanya
diharapkan membantu mereka kembali ke jalan yang benar,” kata Kanya.
Kepala
Sentra Handayani Romal Uli Jaya Sinaga yang turut hadir mengatakan pihaknya
telah memberikan rehabilitasi sosial kepada 258 anak dan keluarga yang terpapar
radikalisme sejak 2016 hingga saat ini. Romal menuturkan rehabilitasi yang
diberikan menekankan pendekatan biopsikososial dan adanya interaksi terbuka di
tempat rehabilitasi.
Sentra
Handayani sendiri memberikan layanan kepada anak returnis, deportan, dan
penangkapan Densus 88 di dalam negeri. Anak-anak ini dibagi menjadi dua
kategori, yaitu anak korban jaringan terorisme dan anak berhadapan dengan hukum
(ABH) kasus terorisme.
“ABH
kasus terorisme biasanya memiliki pemahaman yang kuat dan rentan menyebarkan
paham itu kepada anak lainnya. Oleh karena itu, mereka ditempatkan di fasilitas
transit untuk dilakukan obvervasi terhadap perilaku mereka. kekerasan bagi
kedua belah pihak,” katanya.