JAKARTA (14 Oktober 2020) – 6th ASEAN Children Forum (ACF) atau Pertemuan ke-6 Forum Anak ASEAN menggelar seminar secara daring dengan fokus pembahasan terkait dampak COVID-19 terhadap anak-anak, Selasa (13/10/2020).

 

Dihadiri delegasi anak dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, Laos, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanma,  Art Pesigan sebagai Deputy Representative of WHO Office Indonesia, serta Rachel Harvey sebagai Region Adviser UNICEF for Asia and Pacific Region.

 

Para delegasi diundang untuk memaparkan penanganan dan situasi terkini yang dihadapi anak-anak di wilayah ASEAN. Dengan paparan tersebut, para delegasi menyertakan berbagai rekomendasi untuk mengatasi persoalan saat ini dan yang akan datang.

 

Seminar daring ACF tersebut diikuti oleh delegasi Indonesia dari Kementerian Sosial RI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.

 

Sebelum event ini berlangsung, Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak dan Biro Perencanaan Kemensos  bekerjasama dengan Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil Informasi dan Partisipasi Anak dan Biro Perencanaan dan Data KPPA memberikan materi pembekalan kepada Delegasi Anak. Materi yang diberikan meliputi  pengetahuan seputar permasalahan anak di ASEAN, permasalahan mental anak-anak dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19, pelatihan public speaking dan sesi berbagi pengalaman dengan para alumni.

 

Delegasi Anak Indonesia memaparkan hasil survei yang diikuti 340 responden dengan rentang usia 9-17 tahun tentang pengaruh COVID-19 terhadap kesehatan mental anak Indonesia.

 

Hasilnya menunjukan banyak responden anak mengaku kesulitan dengan tugas-tugas sekolah, ingin bermain dan berinteraksi dengan teman-teman seperti biasanya serta ingin menghabiskan waktu di media sosial karena kesepian.

 

“Bagi anak penyandang disabilitas mental mengatakan bahwa mereka tidak bisa menjalani terapi karena banyak klinik yang tidak beroperasi atau ada  layanan.”

 

Akibat rutinitas anak terganggu akibat COVID-19 bisa menyebabkan berbagai permasalahan, seperti kesulitan mengerjakan tugas, terlalu banyak atau terlalu sedikit makan, sulit tidur, serta tidak nafsu makan.

 

Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka anak akan mengalami depresi, kecemasan dan PTSD yang berujung kepada tindakan menyakiti diri sendiri atau anggota keluarga, berada di situasi berbahaya, mengalami serangan panik, memisahkan diri dari keluarga, bahkan melakukan bunuh diri.

 

Menyikapi berbagai permasalahan tersebut, delegasi anak Indonesia mengajukan tiga pendekatan.

 

Pertama, membangun kesadaran bahwa anak dan keluarga saling menyayangi, sehingga anak merasa diterima oleh keluarganya dan tidak merasa sendirian.

 

Kedua, tumbuh kembang masa kecil anak dengan mengenalkannya kemampuan pendidikan baru dan teknologi digital.

 

Ketiga, inovasi pelayanan daring sehingga anak mengetahui informasi seputar penyakit tidak dikenal serta sadar dengan kesehatan mental dirinya.

 

Indonesia memiliki Forum Anak Nasional (FAN) dibawah naungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

 

FAN sebagai mitra pemerintah  dalan menyampaikan aspirasi anak Indonesia. Juga, FAN memberi kesempatan bagi delegasi anak menjelajah Indonesia bertemu teman-teman dari daerah lainnya, berkegiatan secara positif dan mewujudkan cita-cita Indonesia Layak Anak (IDOLA).

 

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, FAN telah membuat berbagai karya, di antaranya memotivasi pengembangan diri, menjadi pendengar yang baik dan konselor bagi sesama, serta survey tentang COVID-19.

 

Selain itu, delegasi anak Indonesia mengenalkan dua pilar penyangga keluarga. Pertama, membuat dan mendistribusikan buku elektronik ketahanan keluarga dalam menghadapi COVID-19 yang mencakup kebutuhan dasar, protokol di rumah, perawatan responsif, dukungan terhadap emosi anak, dukungan terhadap kesejahteraan pengasuh, serta koneksi sosial.

 

Kedua, adanya Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di berbagai kota/kabupaten dan memberi pelayanan secara gratis berupa konsultasi psikologis secara daring dan luring bagi anak-anak dan remaja, melakukan kampanye kesadaran kesehatan mental kepada anak-anak dan remaja, dan mensosialisasikan layanan Puspaga dari pintu ke pintu ke daerah 3T.

 

Dalam forum diskusi daring, para peserta mendapat kesempatan bertanya satu sama lain, seperti terbatasnya akses internet untuk Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), meningkatnya pernikahan anak akibat menurunnya kondisi ekonomi keluarga, serta kebebasan anak dalam mengakses media sosial yang tidak proporsional.

 

ACF hadir untuk hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, tidak mendiskriminasi, menghormati pandangan anak, dan kepentingan terbaik anak didasarkan pada One Vision, One Identity and One Community.

 

Asesmen 6th ASEAN Children Forum mengedepankan prinsip ramah anak, inklusivitas, transparansi dan persamaan gender serta mencakup antara lain pelaksanaan ACF secara tahunan yang diikuti penambahan durasi hingga 4 hari, mempromosikan ACF melalui situs dan media sosial.

 

Selain itu, mengenalkan mekanisme peraturan negara masing-masing dalam forum regional, memastikan pendokumentasian ACF dan memantau tindak lanjut, meningkatkan keikutsertaan dan mengatur asosiasi alumni ACF, serta memperbaiki Kerangka Acuan Kerja (KAK) ACF melalui ad referendum sebelum akhir Desember.

 

Perbaikan KAK ACF yakni perkembangan dalam hak kelangsungan hidup, hak pembangunan, hak perlindungan dan hak keikutsertaan.

 

Di antara rekomendasi ACF yaitu mengajarkan anak mengenai kebersihan tangan dan kesehatan mentalnya, menghabiskan waktu bersama anak, memperbarui informasi tentang COVID-19 secara berkala.

 

Termasuk, mendukung anak menghadapi kesulitan sekolah daring dengan menciptakan lingkungan yang suportif di rumah, mendengar keluh kesah anak, memastikan anak mengkonsumsi gizi seimbang, baik anak di kota maupun desa.

 


Biro Hubungan Masyarakat

Kementerian Sosial RI