Foto oleh Wikipedia
Sebentar lagi peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia akan dilaksanakan. Mengingat momen tersebut, ingatan kita melayang ke salah satu provinsi di Sumatera, yaitu Bengkulu. Bengkulu memiliki sosok yang sangat dibanggakan sampai saat ini. Sosok tersebut menjadi identitas Bumi Rafflesia. Siapa yang tidak mengenal sosok inspiratif ini, beliau pun merupakan istri dari Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.Soekarno. Sosok tersebut ialah Ibu Fatmawati. Ibu Fatmawati bukan hanya ibunya warga Bengkulu tapi juga Ibu seluruh rakyat Indonesia. Beliau selamanya akan dikenang karena visi dan pandangan beliau yang jauh ke depan.
Pertemuan antara Fatmawati dan Ir.Soekarno terjadi berkat ayahnya. Kala itu, Ir.Soekarno dipindahkan dari tempat pengasingannya di daerah Flores, Nusa Tenggara Timur ke Kota Bengkulu. Fatmawati kecil diajak oleh ayahnya untuk bertemu dengan Ir.Soekarno. Kabarnya, kesan pertama Fatmawati terhadap Ir.Soekarno adalah ia tidak sombong, memiliki mata yang berbinar, berbadan tegap dan tawanya lebar. Sebelum menikah dengan Ir.Soekarno dan menjadi Ibu Negara pertama di Indonesia, Fatmawati merupakan anak perempuan dari pasangan asal Bengkulu, yaitu buah hati dari Hasan Din dan Chadijah. Ia lahir di Bengkulu pada tanggal 5 Februari 1923. Fatmawati kecil biasa dipanggil dengan nama Ma, bukan Fat seperti kebanyakan orang mengenalnya saat ia sudah dewasa. Beliau terlahir menjadi gadis Bengkulu nan cantik di tengah keluarganya. Gadis Bengkulu yang sangat menyukai dan memiliki minat terhadap organisasi. Beliau sangat aktif berorganisasi sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Organisasi itu disebut dengan organisasi Naysatul Asyiyah.
Sebelum memutuskan untuk menikahi Fatmawati yang merupakan seorang pengajar di sekolah Muhammadiyah tempat Fatmawati mengenyam pendidikannya, Ir.Soekarno memiliki alasan untuk memantapkan hatinya menjadikan Fatmawati sebagai istrinya. Ketertarikan akan kecantikan alamiah dan kepintaran yang dimiliki sosok Fatmawati membuat Ir.Soekarno memutuskan untuk menikahinya.Konon kabarnya, Ir.Soekarno jatuh cinta pada pandangan pertama, namun tidak diungkapkan karena kala itu Fatmawati masih terlalu muda. Tak langsung menerima ajakan Ir.Soekarno untuk menikahinya, Fatmawati menyampaikan keresahannya karena kala itu Ir.Soekarno masih dalam status menikah dengan Inggit Garnasih, istri kedua Ir.Soekarno.
Namun tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa hubungan Inggit dan Ir.Soekarno telah berakhir. Meski begitu, kisah cinta keduanya tak langsung berjalan mulus karena mereka sempat terpisah karena ada peralihan kekuasaan dari penjajah Belanda ke tentara Jepang. Di tengah kondisi krisis tersebut, Ir.Soekarno tetap berusaha memberi kabar pada Fatmawati dan keluarga, serta merencanakan pernikahan mereka. Akhirnya, pada tanggal 01 Juni 1943 Fatmawati resmi dipersunting Ir.Soekarno. Kala itu ia masih berusia sekitar 20 tahunan. Ia pun kemudian ikut dengan Ir.Soekarno untuk pindah ke Jakarta.
Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarno Putri, Rachmawati Soekarno Putri, Sukmawati Soekarno Putri, dan Guruh Soekarno Putra. Terlahir dari seorang ibu yang sangat sempurna dengan kepintaran yang dimiliki, anak bungsu Fatmawati yaitu Guruh Soekarno Putra menyebut Fatmawati mempunyai keyakinan melampaui batas daya pikir orang lain. “Tak terbantahkan, peran dan fungsi bendera Merah Putih merupakan identitas negara paling abadi bersama lagu kebangsaan Indonesia Raya yang selalu kita peringati di hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus,” ujar Guruh Soekarno Putra pada pengantar Buku Fatmawati “Catatan Kecil Bersama Bung Karno”.
Selain membanggakan di mata keluarga, gadis yang lahir dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah ini, merupakan sosok inspiratif juga di mata tokoh Nasional Indonesia. Fatmawati menjadi tokoh yang sangat menjadi panutan bangsa khususnya bagi kaum perempuan. Ayah Fatmawati merupakan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang juga merupakan keturunan Puti Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.Seperti yang diujarkan oleh Guruh Soekarno Putra akan keyakinan Fatmawati yang melampaui batas daya pikir orang lain, ini tergambar ketika beliau hadir dengan Bendera Sang Saka Merah Putih yang beliau gagas dan jahit dengan tangannya sendiri. Bendera Sang Saka itulah menjadi bendera pertama yang dikibarkan saat Upacara Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang lalu.
Gagasan Fatmawati ini mendahului ide agung Ir.Soekarno dan tokoh kemerdekaan lainnya. Kala itu, Fatmawati tidak sengaja mendengar teriakan bahwa bendera Indonesia belum ada saat Ir.Soekarno bersama tokoh lainnya sedang berkumpul menyiapkan peralatan untuk pembacaan naskah teks proklamasi. Tanpa pikir panjang, segera Fatmawati mencoba untuk menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Walau hanya ‘Merah dan Putih’ tentu saja bukan perkara mudah bagi Fatmawati yang saat itu sedang hamil besar. Dengan menggunakan alat jahit tangan, bendera Merah Putih berukuran 2x3 meter itu dijahit oleh Fatmawati di ruang makan dengan harapan kelak dapat digunakan untuk keperluan bangsanya.
Dalam Buku berjudul Berkibarlah Benderaku (2003), yang ditulis oleh Bondan Winarno, diketahui Fatmawati sambil menitikan air mata ketika menjahit bendera ini. Bukan tanpa alasan, sebab saat itu Fatmawati tengah menanti kelahiran Guntur Soekarnoputra, yang memang sudah bulannya untuk dilahirkan. Di buku tersebut juga dijelaskan bahwa Fatmawati menjahit menggunakan mesin jahit Singer yang hanya bisa digerakan menggunakan tangan saja. Karena mesin jahit yang menggunakan kaki, tidak diperkenankan mengingat usia kehamilan Fatmawati yang tinggal menunggu waktunya saja untuk melahirkan. Fatmawati baru menyelesaikan jahitan bendera Merah Putih itu dalam waktu dua hari. Bendera Merah Putih berukuran 2x3 meter itu untuk pertama kalinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Bertahun-tahun bendera Sang Saka yang dijahit oleh Fatmawati ini dikibarkan dalam upacara kenegaraan. Sampai akhirnya bendera tersebut digantikan oleh duplikatnya mengingat usianya yang sudah tua. Untuk menjaga keutuhannya, Sang Dwiwarna selanjutnya difungsikan sebagai Bendera Pusaka dan disimpan di tempat terhormat di Monumen Nasional. Di perjuangan semasa hidupnya, Fatmawati bukan hanya menjadi tokoh Nasional, namun bagi masyarakat Provinsi Bengkulu sendiri sangat bangga akan sosok beliau sebagai seorang gadis Bengkulu yang bisa membuktikan di mata dunia bahwa Bengkulu punya tokoh nasional yang dikenang sampai sekarang ini. Dalam tugasnya sebagai Ibu Negara, Fatmawati setia mendampingi Bung Karno sebagai Presiden. Di setiap kesempatan, Fatmawati selalu tampil sederhana. Ia memberikan teladan yang baik bagi perempuan Indonesia baik dalam bersikap, bertingkah laku maupun berpakaian. Kemanapun pergi, Fatmawati selalu memakai kerudung yang menjadi ciri khasnya dan Ir.Soekarno selalu memujinya.
Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio kulturalnya. Memiliki ayah seorang pendakwah, Hasan Din juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Muhammadiyah Bengkulu, yang mana pendidikan agama menjadi nomor satu dalam keluarganya, sehingga membuat Fatmawati mengenyam pendidikan agama secara ekstra, terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah. Namun, Fatmawati juga mengimbangi pendidikan formalnya di sekolah HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930 (Fatmawati,1978: 20-21). Tumbuh di tengah keluarga terpandang dan pribadi yang sangat menarik membuat semua mata tertuju pada sosok gadis Bengkulu ini bahkan menjadi buah bibir di masyarakat.
Ir.Soekarno yang akrab disapa Bung Karno ini, tak sungkan meminta pendapat kepada Fatmawati selaku istrinya dalam mengambil langkah-langkah atau keputusan mengenai perjuangannya selaku pemimpin pejuang rakyat Indonesia. Daya pikir di luar batas yang dimiliki Fatmawati sudah disadari dari awal oleh Bung Karno. Begitu banyak peran Fatmawati di dalam kegiatan kenegaraan Republik Indonesia pada masa itu, salah satunya ketika perjuangan rakyat Indonesia telah sampai di titik kulminasi, pada saat masyarakat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Atas jasa Ibu Fatmawati, bangsa Indonesia memiliki bendera Sang Saka Merah Putih.
Sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang pertama, Ibu Fatmawati selalu setia mendukung perjuangan Presiden Soekarno, selalu memberikan keteladanan tentang pentingnya pengorbanan, dan selalu menekankan pentingnya menjaga semangat, menjaga mimpi di tengah keterbatasan-keterbatasan yang ada. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Fatmawati dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, melalui surat Keputusan Presiden RI Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 November 2000. Fatmawati meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Arab Saudi, setelah dirinya menunaikan ibadah Umroh. Fatmawati mengalami serangan jantung saat pesawatnya transit di Kuala Lumpur dan meninggal di General Hospital pada tanggal 14 Mei 1980. Fatmawati tutup usia di umur 57 tahun dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta.
Sebagai tanda bukti hormat atas perjuangan Ibu Fatmawati sekaligus untuk mengingatkan kita semua untuk meneladani sikap kenegarawanan Ibu Fatmawati serta memotivasi bangkitnya sikap-sikap kepahlawanan, maka dibangunlah sebuah monumen di Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu. Monumen yang berdiri kokoh di pusat Kota Bengkulu, tak jauh dari Rumah Fatmawati tersebut dikenal dengan nama Monumen Fatmawati. Monumen ini menggambarkan peristiwa sejarah dijahitnya Bendera Merah Putih oleh Fatmawati. Monumen yang sangat indah ini merupakan karya salah satu maestro patung Indonesia, I Nyoman Nuarta. Ia merupakan perupa asal Bali yang mempersembahkan karyanya untuk masyarakat Bengkulu dan juga masyarakat Indonesia.
Selain monumen, Fatmawati Soekarno juga dijadikan nama bandara di Bengkulu. Sedangkan rumah yang pernah ditempatinya dijadikan museum yang juga termasuk destinasi wisata bersejarah di Bengkulu. Hal itu sebagai bentuk untuk mengenang semua jasa Fatmawati terhadap Bangsa dan Negara yang kita cintai ini.