Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas adalah individu dengan keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik yang menghambat mereka berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia meningkat, khususnya penyandang tunanetra. Pada 2012, angka penyandang tunanetra tercatat 3,05%, dan meningkat menjadi 6,36% pada 2015. Penglihatan adalah kemampuan yang sangat penting untuk mendukung keseharian individu. Namun, bagi penyandang tunanetra yang mengalami ketidakmampuan melihat, baik sebagian maupun seluruhnya, tantangan ini memerlukan perhatian khusus baik dari lingkungan maupun masyarakat.

Penyandang tunanetra juga tak lepas dari stigma masyarakat. Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia, Kusuma dalam Santoso dan Erawan (2016), menyampaikan ada banyak anggapan negatif yang dihubungkan dengan penyandang tunanetra, seperti anggapan bahwa mereka lemah, tidak berdaya, dan perlu dikasihani. Menurut Kabid Perlindungan Anak, Penyandang Disabilitas dan Psikososial Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Indrawati dalam Zamani (2019), kepedulian masyarakat terhadap penyandang disabilitas masih kurang, karena menganggap penyandang disabilitas merupakan kelompok yang berbeda, sehingga memperlakukannya pun cenderung diskriminatif. Sebagai contoh, dibatasinya fasilitas umum seperti pada kasus seorang wanita penyandang tunanetra yang dipersulit administrasinya di bandara saat hendak berangkat (Nugroho, 2016), layanan perbankan yang dipersulit terutama saat membuka rekening bank, karena dianggap tidak cakap hukum, bodoh, dan tidak tahu cara menyimpan uang maupun buku rekening (Wiyanti dan Rachmaningtyas, 2013), ditolak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena alasan tidak tersedianya sarana dan prasarana penunjang pendidikan (dalam FGD Komnas HAM, 2016), hingga sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan meskipun sudah mendapatkan gelar dan ijazah yang lengkap. Padahal hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) terkait lapangan pekerjaan untuk penyandang disabilitas pada UU nomor 8 tahun 2016, pasal 53 ayat 1 yang mensyaratkan pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara dan daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai, dan pada ayat 2 dijelaskan jika perusahaan swasta wajib mempekerjakan sedikitnya 1% penyandang disabilitas (Nilawaty, 2019). Sayangnya, Shalehah (2014), menyatakan bahwa pada kenyataannya penyandang disabilitas masih sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam pemenuhan hak mendapatkan lapangan pekerjaan, meskipun banyak penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan intelektual dan kompetensi yang baik. 

Di antara penyandang tunanetra, terdapat kelompok tunanetra yang baru mengalami kehilangan pengelihatan saat usianya sudah lebih dewasa. Tunanetra late blind adalah individu yang baru kehilangan penglihatannya setelah usia 12 tahun (Hollyfield & Foulke dalam Portugali, 1996). Berbeda dengan penyandang tunanetra sejak lahir atau masa kecil, penyandang tunanetra late blind menghadapi perubahan besar dalam hidup. Hal-hal yang sebelumnya mudah dilakukan menjadi sulit, seperti menjalani rutinitas harian dan bergerak secara mandiri. Selain itu, hal ini juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk mobilitas, rutinitas, dan kebutuhan untuk mempelajari keterampilan baru. Mereka sering menghadapi tantangan untuk kembali menjalankan fungsi sehari-hari, baik secara fisik maupun sosial (Santoso & Erawan, 2016). Hal ini dapat memungkinkan stres yang dialami oleh penyandang tunanetra late blind yang baru mengalami kebutaan di usia yang lebih dewasa berbeda dengan penyandang tunanetra yang sudah mengalami kebutaan sejak lahir atau yang baru mengalami kebutaan di masa kecil.

Stres yang dialami penyandang tunanetra late blind tidak luput dari stressor yang dihadapi. Penyandang tunanetra late blind sering mengalami stres akibat berbagai tekanan yang disebut stressor. Stressor, menurut Sarafino dan Smith (2011), adalah situasi atau peristiwa yang menantang baik secara fisik maupun psikologis, sehingga memicu respons stres. Stres sendiri adalah respons adaptif seseorang terhadap tuntutan eksternal yang berlebihan, yang dapat memengaruhi fisik, emosi, dan perilaku (Golizsek, 2005). Selain itu, stres dapat memicu berbagai gejala, seperti depresi, kelelahan kronis, mudah marah, gelisah, hingga menurunnya produktivitas (Richards dalam Kartika, 2015). Ketika menghadapi stressor, seseorang akan melakukan appraisal (penilaian) dan coping (penanggulangan) sebagai respons dari stres yang individu rasakan. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), cognitive appraisal menentukan seberapa besar stres yang dirasakan individu. Penilaian ini melibatkan evaluasi kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki seseorang saat menghadapi stressor tersebut. Jika sumber daya dianggap cukup, stres cenderung lebih ringan. Namun, jika dianggap tidak memadai, stres dapat meningkat (Sarafino, 2011).  Pada penyandang tunanetra late blind, pada usia 12 tahun ke atas atau usia dewasa adalah masa yang produktif untuk melakukan banyak hal seperti kuliah, bekerja, menikah dan fokus pada tujuan hidupnya. Namun, hal ini tidak berjalan mulus karena adanya kejadian individu saat menjadi tunanetra late blind. Hal ini dapat menjadi stressor (penyebab stres) pada awal-awal individu mengalami kebutaan, mengalami kondisi fisik tidak lengkap yang baru terjadi pada usia ini, hingga menghadapi keterbatasan fasilitas, baik layanan umum, pendidikan, pekerjaan, dan diskriminasi dari masyarakat.

Dalam menghadapi stres, terdapat dua jenis strategi coping yang dapat dilakukan yaitu, emotion-focused coping yang berfokus pada upaya meredakan reaksi emosional negatif terhadap stres, seperti mengontrol emosi, mencari dukungan emosional, berpikir positif, atau beribadah, dan problem-focused coping yang melibatkan tindakan langsung untuk mengatasi masalah, seperti mencari informasi atau solusi yang relevan. Salah satu bentuk problem-focused coping adalah seeking social support, yaitu mencari bantuan dari lingkungan sekitar dan pihak luar. Dukungan ini bisa berupa informasi, bantuan nyata, atau dukungan emosional. Keluarga dari penyandang tunanetra late blind dapat memberikan dukungan emosional dan membantu mereka untuk menjalani aktivitas keseharian mereka. Selain itu, mencari bantuan melalui komunitas kemasyarakatan khusus tunanetra seperti Yayasan Mitra Netra dan Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) dapat menjadi tempat berbagi, belajar, dan mendapatkan dukungan agar lebih siap beradaptasi dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, jangan ragu untuk mencari bantuan baik dari lingkungan sekitar maupun bergabung dengan komunitas agar penanganannya pun tepat. Dukungan sosial adalah langkah penting dalam mengelola stres dan membangun kehidupan yang lebih baik.