Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember merupakan momentum penting untuk merenungkan isu-isu yang berkaitan dengan hak, kesetaraan, dan inklusi bagi individu dengan keterbatasan fisik, mental, atau sosial. Salah satu diskursus utama yang muncul adalah perbedaan dan keterkaitan antara konsep "disabilitas" dan "difabel", dimana keduanya digunakan dalam berbagai konteks akademis, kebijakan, dan sosial.
Menurut Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), disabilitas dipahami sebagai interaksi antara individu yang memiliki keterbatasan dan hambatan lingkungan atau sikap yang menghalangi partisipasi penuh mereka dalam masyarakat. Pendekatan ini menggeser fokus dari kondisi medis ke hambatan sosial, yang dikenal sebagai model sosial disabilitas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan disabilitas sebagai istilah umum untuk gangguan, keterbatasan aktivitas, dan restriksi partisipasi. Pendekatan ini sering dianggap sebagai kombinasi dari model medis dan sosial dan melihat disabilitas sebagai kondisi individu maupun dampak lingkungan.
Pada tahun 1998 beberapa aktivis hak-hak penyandang disabilitas memperkenalkan istilah “difabel”. Istilah ini dipopulerkan oleh Yayasan Penyandang Cacat Mandiri (YPCM), yang kini dikenal sebagai Yayasan Peduli Difabel.
Diadaptasi dari istilah yang berkembang di Amerika Serikat, difabel merupakan singkatan dari differently abled (kemampuan yang berbeda). Penggunaan istilah ini bertujuan untuk menggantikan istilah "cacat" yang dianggap memiliki konotasi negatif dan stigmatis serta memberikan perspektif yang lebih positif terhadap keberagaman kemampuan individu.
Dalam konteks Indonesia, istilah difabel lebih diterima karena mempromosikan pandangan bahwa penyandang disabilitas bukan hanya individu yang memiliki keterbatasan, tetapi juga memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dari masyarakat umum. Hal ini menjadi bagian dari upaya lebih luas untuk menciptakan masyarakat yang inklusif.
Diskursus tentang disabilitas dan difabel sering kali berpusat pada perbedaan paradigma dalam melihat keterbatasan. Model sosial yang melandasi konsep disabilitas lebih menyoroti bagaimana masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang ramah, sedangkan konsep difabel menekankan penghargaan atas kemampuan individu.
Dalam konteks Hari Disabilitas Internasional, penggabungan kedua perspektif ini penting untuk menciptakan kesadaran yang komprehensif. Upaya seperti peningkatan aksesibilitas fasilitas umum, penyediaan pendidikan inklusif, serta kampanye kesadaran publik dapat dipadukan dengan penghargaan terhadap kemampuan unik para penyandang disabilitas.
Momentum Hari Disabilitas Internasional 2024 dengan tema, “Memperkuat kepemimpinan penyandang disabilitas untuk masa depan yang inkusif dan berkelanjutan” menjadi pengingat akan pentingnya memahami konsep disabilitas dan difabel secara mendalam. Melalui tema ini, kita diajak untuk tidak hanya mengurangi hambatan sosial, tetapi juga merayakan keberagaman kemampuan.
Dengan memahami diskursus ini, masyarakat global diharapkan mampu menciptakan dunia yang tidak hanya ramah tetapi juga memberdayakan seluruh individu tanpa terkecuali. Momentum ini juga dapat menjadi titik awal untuk melibatkan lebih banyak pihak, baik pemerintah, organisasi nonpemerintah, maupun komunitas, dalam membangun kebijakan yang inklusif dan berkeadilan.
Diskursus antara definisi disabilitas dan difabel bukanlah tentang memilih satu istilah di atas yang lain, tetapi tentang bagaimana kedua konsep tersebut dapat saling melengkapi untuk mewujudkan dunia yang lebih inklusif. Pada Hari Disabilitas Internasional 2024, mari bersama-sama mendorong penghormatan terhadap hak, penghapusan hambatan, serta perayaan potensi setiap individu.