Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya. Dalam lingkungan tersebut, individu tentu berhubungan dengan individu lainnya. Hubungan sosial adalah hubungan antar manusia yang saling bergantung satu sama lain, yang ditandai dengan adanya proses pengaruh-mempengaruhi (Amin et al., 2016). Hubungan sosial juga ditandai oleh adanya interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang bersifat dinamis yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok manusia, maupun antar individu dengan kelompok manusia (Gillin dan Gillin dalam Patras & Sidiq, 2017). Berada di lingkungan sosial memungkinkan individu cemas, takut atau malu. Kecemasan ini disebut dengan kecemasan sosial (Prawoto dalam Jatmiko, 2016).

 

Kecemasan adalah kondisi ketika seseorang merasa tidak nyaman, sering kali disebabkan oleh pemikiran individu yang menganggap keadaan sosial sekitar adalah sebuah ancaman (Spence & Rapee, 2016). Kecemasan juga dapat diartikan sebagai kondisi emosional dengan ciri perasaan tegang yang tidak menyenangkan, ketegangan fisiologis dan khawatir bahwa sesuatu yang tidak baik akan terjadi (Nevid et al., 2005). Sedangkan menurut Durand et al. (2007), kecemasan merupakan suasana hati negatif dan ketegangan jasmani dimana individu waspada akan kemungkinan bahaya yang terjadi dengan perasaan khawatir. Terdapat beberapa jenis kecemasan, di antaranya gangguan umum dan menyeluruh (GAD), gangguan panik dan kecemasan sosial.

 

American Psychiatric Assosiation (APA) menyatakan bahwa individu dengan kecemasan sosial merasa cemas, tidak nyaman, takut akan dipermalukan, ditolak, atau dipandang rendah dalam interaksi sosial. Individu dengan kecemasan sosial cenderung menghindari situasi atau bertahan dengan tetap merasa cemas. Hal ini biasanya terjadi saat berbicara di depan umum, bertemu orang baru, atau makan dan minum di keramaian. Marks & Gelder (1965) menjelaskan bahwa individu dengan kecemasan sosial memiliki fobia pada situasi sosial yang ditandai dengan rasa malu, takut wajah memerah, takut makan di tempat umum, takut bertemu orang lain, atau berada di pusat perhatian. Kecemasan sosial membuat individu merasa kurang termotivasi untuk berinteraksi sosial dan merasa terhambat dalam komunikasi dengan orang sekitar (Segrin dalam Rojas et al., 2008). Kecemasan sosial adalah hal lumrah dan merupakan respons normal terhadap situasi tertentu (Pertiwi dalam Akbar & Faryansyah, 2018).

 

Berdasarkan penelitian, remaja akhir atau individu berusia 18-22 tahun memiliki tingkat kecemasan sosial lebih tinggi dibanding kelompok usia lain (Jefferies & Ungar, 2020). Hal ini disebabkan oleh transisi dari masa sekolah ke masa mandiri, yang menuntut pemenuhan kebutuhan pendidikan dan ekonomi. Pada saat bersamaan, remaja akhir juga dituntut untuk memenuhi tugas perkembangan sosialnya (Santrock, 2009).

 

Kecemasan sosial dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu cemas dinilai negatif oleh orang lain, merasa tidak aman di tempat umum, serta menghindari lingkungan baru dan bertemu dengan orang yang tidak dikenal (La Greca & Lopez, 1998). Kecemasan sosial secara fisik dapat menunjukkan gejala seperti gemetar, wajah memerah, jantung berdebar, keringat berlebih, hingga mual atau diare. Bentuk lainnya adalah takut secara berlebihan untuk berinteraksi dengan orang asing, takut mempermalukan diri sendiri, sulit kontak mata, dan menghindari situasi yang membuatnya menjadi pusat perhatian (Jiwo, 2012). Kecemasan sosial dapat membuat seseorang cenderung menutup diri, sulit menjalin pertemanan, dan kesulitan komunikasi (Maleshko & Alden, dalam Nainggolan, 2017).

 

Lalu mengapa kita dapat merasa takut berbicara di depan umum atau menjadi pusat perhatian? Pertama, kecemasan sosial dapat dipengaruhi oleh faktor genetik (La Greca & Lopez, 1998). Kedua, kecemasan dari orang tua; anak yang memiliki orang tua pencemas cenderung meniru perilaku tersebut. Faktor pengasuhan yang berpengaruh terhadap kecemasan sosial meliputi kurangnya stimulasi sosialisasi, komunikasi emosional yang minim, sikap otoriter, penolakan, dan tekanan standar tinggi. Ketiga, persepsi anak tentang keharmonisan keluarga (Hidayat et al., 1996). Namun, penyebab kecemasan sosial tidak dapat digeneralisasi karena bervariasi pada setiap orang.

 

Ketika menghadapi situasi yang menimbulkan kecemasan, beberapa hal dapat dicoba untuk menguranginya, seperti teknik relaksasi pernapasan, memahami diri, berpikir positif, dan mempersiapkan diri dengan baik. Namun, penting diingat bahwa kecemasan sosial berlebihan dapat mengarah ke gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder). Jika kecemasan tersebut mulai mengganggu, sebaiknya hindari melakukan self-diagnose dan segera mencari bantuan profesional seperti psikolog untuk konseling.