Bullying atau perundungan terjadi ketika seorang anak yang agresif menargetkan satu anak atau kelompok kecil, dengan tanpa alasan menggunakan kekerasan yang berasal dari konflik atau perselisihan (Brooks, 2013). Bullying berbeda dengan pertengkaran biasa (occasional conflict) yang umum terjadi pada anak. Konflik atau pertengkaran pada anak adalah normal untuk membuat anak belajar cara bernegoisasi, bersepakat satu sama lain, mempertahankan diri serta tidak bertujuan untuk menyakiti. Sedangkan bullying merupakan suatu bentuk tindak kekerasan yang bertujuan untuk menyakiti seseorang dengan unsur kesengajaan dan dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan lebih kuat terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih lemah (Sigalingging & Gultom, 2023).

 

Perilaku bullying dapat diklasifikasikan menjadi: Fisik (memukul, menampar, mendorong, menggigit, mencakar, atau pelecehan seksual), nonfisik (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, atau memanggil dengan julukan atau kecacatan fisik), cyber (melalui media elektronik), kontak nonverbal langsung (mata cerah, menjulurkan lidah, ekspresi wajah mengejek, kata-kata kasar atau intimidasi fisik), kontak nonverbal tidak langsung (diam, fitnah, sengaja mengabaikan, memojokkan, atau mengirim pesan yang bersifat teror), kontak verbal (pelecehan, panggilan telepon bersyarat, atau panggilan telepon asli) (Andryawan et al., 2023).

 

Maraknya berita bullying yang tersiar dan terjadi di lingkungan pendidikan dan pengasuhan anak di Indonesia, membuat kita semua sebagai lingkungan sosial harus bergerak melakukan pencegahan bullying agar hak-hak anak dapat terpenuhi dengan baik. Upaya pencegahan bullying harus dilakukan karena dampaknya sangat besar terhadap perkembangan anak seperti terganggunya kesehatan fisik (luka fisik, nafsu makan berkurang, sakit, luka fisik permanen), terganggunya kesehatan mental (mendorong perilaku agresif, depresi), terganggunya perkembangan anak (menghambat capaian perkembangan anak, menyebabkan keterlambatan berbicara dan tidak berani mengungkapkan ide gagasan) (Rahayu & Nugraeni, 2023). Tidak hanya dalam jangka pendek, bullying juga memiliki dampak jangka panjang pada korban seperti trauma yang mendalam, kesulitan belajar, sulit dalam bergaul, merasa tidak percaya diri, bahkan sampai pada tindakan bunuh diri (Paramesti et al., 2024).

 

Lingkungan sosial memiliki peran untuk berkontribusi dalam pencegahan terjadinya bullying pada anak yang dapat dilakukan dengan cara berikut:

 

  1. Peran keluarga. Keluarga memiliki peranan sangat besar dalam proses pencegahan bullying karena waktu yang dihabiskan anak di rumah lebih banyak dari waktu anak di sekolah sehingga orang tua dan keluarga memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap perkembangan anak. Lingkungan keluarga juga memiliki peran yang besar dalam menciptakan karakter anak. Orang tua berperan dalam membangun hubungan dekat, membangun komunikasi, membentuk pola asuh dengan anak sehingga anak dapat terbuka, membangun komunikasi dengan sekolah dalam mencegah praktik bullying, memberikan keteladanan pada anak, mendidik dan menasehati anak melalui pembiasaan di rumah, meningkatkan rasa percaya diri anak di rumah, membimbing cara bersikap baik di rumah maupun di luar rumah (Angelia, 2021), menciptakan suasana rumah yang nyaman, tidak menstimulasi anak untuk berperilaku agresi di luar rumah serta membentuk moral dan karakter baik anak di dalam maupun di luar rumah. Di era perkembangan teknologi, orang tua khususnya harus memberikan proteksi pada anak dalam penggunaan gadget dan media sosial dengan meningkatkan rasa percaya diri pada anak, membangun keterbukaan serta membuat anak percaya bahwa keluarga dapat menjadi tempat yang aman untuk bercerita dan menghadapi masalah (Brooks, 2013). Selain itu, anak harus diberikan informasi terkait konsekuensi mengirimkan data elektronik, risiko membagikan kehidupan pribadi di media sosial serta mendorong anak untuk menjaga privasi mereka (Morrison, 2015).
  2. Peran sekolah. Pihak sekolah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, ramah anak dan bebas dari perilaku bullying. Pimpinan sekolah memegang peranan penting sebagai pemangku kebijakan untuk membantu penegakan peraturan pencegahan bullying di sekolah, menetapkan zero-tolerance policy untuk bullying, meningkatkan kualitas sekolah, mengambil keputusan dalam menegakan kebijakan mengatasi bullying, mendidik tenaga pengajar, serta menyusun sistem dan model pembelajaran di sekolah untuk mencegah meningkatnya perilaku bullying (Izzah et al., 2023). Selain itu, peran guru di sekolah juga sangat besar dalam mengantisipasi dan mengatasi bullying seperti membimbing, menasehati, mengarahkan, membina dan memberikan contoh sikap yang baik di sekolah (Junindra et al., 2022). Guru harus menjadi teladan dan contoh pada siswa dalam bersikap, bertutur kata, berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan. Guru juga berperan untuk mengembangkan kepercayaan diri positif pada siswa, menangani rendahnya kepercayaan diri pada siswa, mengembangkan potensi siswa, menumbuhkan hubungan positif antar siswa, evaluator, penasihat untuk pencegahan praktik bullying antar siswa di sekolah serta memberikan layanan bimbingan konseling penanganan bullying bagi siswa di dalam maupun di luar jam pelajaran (Angelia, 2021). Pembentukan budaya sekolah yang positif, membangun kesadaran siswa tentang konsekuensi perilaku, penyediaan sarana pelaporan insiden bullying serta menjalin kolaborasi dengan orang tua juga dapat dilakukan sekolah untuk pencegahan bullying (Choiriyah et al., 2024). Terdapat metode yang dapat diajarkan kepada anak saat menghadapi bullying yakni “Talk, walk and squawk”. Talk adalah dengan mendorong anak agar dapat membela diri secara verbal saat menghadapi pelaku bullying seperti: “Tinggalkan aku sendiri” atau “Kamu tidak membautku takut” yang disampaikan dengan penampilan dan suara yang tenang. Walk adalah dengan mengajarkan anak untuk meninggalkan pelaku bullying, namun tidak berlari. Squawk adalah dengan melaporkan pada guru atau pihak yang memiliki wewenang di sekolah atau di lingkungan tersebut (Morrison, 2015).
  3. Peran masyarakat sebagai bystander (pengamat). Bystander adalah orang-orang yang menyaksikan peristiwa bullying namun tidak terlibat langsung dalam tindakan tersebut dan memiliki pilihan untuk mendukung korban, menghentikan bullying atau mengabaikan situasi tersebut. Masyarakat harus mampu meningkatkan keterampilan sosial dan empati untuk mampu dan berani menentang perilaku agresi serta membantu menciptakan lingkungan yang aman untuk setiap individu (Jenkins & Nickerson, 2017).
  4. Peran pemerintah atau pembuat kebijakan. Untuk mencegah perilaku bullying di masyarakat, pemerintah dapat berperan dalam menegakan aturan pencegahan kekerasan, membuat berbagai program sosialisasi pencegahan bullying serta mengontrol tayangan media tv di Indonesia agar tidak menampilkan adegan dan cerita yang mendorong perilaku bullying.

Peran lingkungan sosial sangat diperlukan selain dalam pencegahan bullying juga untuk mencegah fenomena victim-bully di mana seorang yang menjadi korban bullying dapat selanjutnya berperilaku agresif terhadap orang lain. Jika terdapat korban bullying di sekitar kita, maka harus dibantu untuk meningkatkan keterampilan dalam mengelola hubungan sosial dan regulasi emosi untuk mengurangi kemungkinan korban melampiaskan rasa frustasi dan kemarahan dengan melakukan bullying kepada orang lain (Espino et al., 2022).