Ilmu kesejahteraan sosial mulai berkembang sejak abad ke-17, diawali dengan kebijakan Elizabethan Poor Law yang diberlakukan pemerintah Inggris pada 1601 (Zastrow, 2010). Undang-undang yang digagas oleh pemerintahan Ratu Elizabeth I tersebut muncul sebagai respons terhadap lonjakan kemiskinan yang disebabkan oleh perubahan sosial dan ekonomi, seperti urbanisasi, peningkatan populasi, dan pengangguran. Disusun oleh Parlemen Inggris, kebijakan ini menjadi sistem kelembagaan pertama untuk mendukung kaum miskin agar keluar dari kemiskinan dan menjadi dasar bagi undang-undang kesejahteraan sosial di berbagai negara di masa mendatang.

Elizabethan Poor Law membagi kelompok miskin menjadi tiga kategori utama, yaitu the able-bodied poor (miskin yang masih kuat fisiknya dan wajib bekerja sehingga tidak berhak menerima bantuan), the impotent poor (miskin yang tidak mampu bekerja karena usia lanjut atau disabilitas, dan menjadi tanggung jawab negara), dan dependent children (anak-anak yatim piatu atau terlantar yang bergantung pada orang lain). Kebijakan ini menandai awal intervensi sosial negara terhadap kemiskinan melalui layanan terorganisir.

Pada awalnya, pemberian layanan sosial banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan di gereja yang memiliki semangat kemanusiaan (humanitarianisme) dan menggerakkan para relawan untuk membantu masyarakat kurang mampu. Aktivitas kemanusiaan ini menjadi cikal bakal berkembangnya bidang pekerjaan sosial, yang kemudian menjadi bagian integral dari kesejahteraan sosial.

Sejarah pekerjaan sosial berkaitan erat dengan aktivitas organisasi relawan seperti Charity Organization Society (COS) yang berkembang di Amerika dan Inggris. COS berperan dalam menggalang serta mengoordinasikan bantuan dari berbagai gereja untuk menjawab kebutuhan masyarakat rentan. Seiring waktu, para relawan menyadari perlunya pemahaman mendalam tentang perilaku manusia dan masalah sosial ekonomi. Pada tahun 1897, Mary Richmond menginisiasi pendirian Training School for Applied Philanthropy, yang kemudian menjadi cikal bakal kelas pekerjaan sosial (social work courses) di New York dua tahun kemudian (Friedlander, 1980).

Sebagai sebuah disiplin ilmu, pekerjaan sosial berfokus pada interaksi manusia dengan lingkungannya, dengan dasar teori perilaku manusia dan sistem sosial yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Payne (2014) menyatakan bahwa pekerjaan sosial awalnya berfokus pada masalah mikro, yaitu individu dan kelompok kecil, dan berkembang ke arah masalah yang lebih besar (mezzo), seperti keluarga dan komunitas.

Sementara itu, ilmu kesejahteraan sosial memulai intervensinya dari konteks makro, yaitu masyarakat secara luas, sambil tetap memperhatikan aspek mikro. Ilmu kesejahteraan sosial juga mencakup pengaruh dari sosiologi, pembangunan ekonomi, hukum, kesehatan, dan politik, sebagaimana dinyatakan oleh Fitzpatrick (2005).

Sejak tahun 1990-an, kedua disiplin ini mulai mengadopsi pendekatan pembangunan sosial, dengan perhatian yang semakin besar terhadap pembangunan berkelanjutan. Kesejahteraan sosial semakin mengarah pada pengentasan kemiskinan dan perbaikan kondisi sosial di tingkat masyarakat yang lebih luas, mulai dari kabupaten hingga nasional. Di sisi lain, pekerjaan sosial tetap berfokus pada masalah individu, keluarga, dan kelompok kecil dengan intervensi langsung.

Kesimpulannya, evolusi kesejahteraan sosial telah berkembang dari kebijakan kelembagaan seperti Elizabethan Poor Law hingga profesi pekerjaan sosial yang kini fokus pada individu dan kelompok kecil. Dengan pendekatan pembangunan sosial dan berkelanjutan, ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial tetap relevan dalam mengatasi masalah sosial saat ini. Contohnya, program pemberdayaan masyarakat yang efektif mengurangi kemiskinan, serta intervensi pekerjaan sosial yang membantu mengatasi isu kesehatan mental dan kekerasan rumah tangga. Perkembangan ini menunjukkan pentingnya kesejahteraan sosial dalam menciptakan sistem yang mendukung kehidupan yang lebih baik bagi semua.