'Kandala'. Itulah bahasa Makassar yang berarti penyakit kusta.
Sejak kecil, saya yang lahir dan bertumbuh di Makassar telah dicekoki oleh lingkungan tentang stigma terhadap individu penyandang kusta. Seringkali saya dan saudara-saudara saya mendapati orang tua kami bergidik ngeri ketika melihat ada orang kandala yang lewat di depan rumah. Bahkan ketika sekadar bercerita tentang tetangga yang kebetulan mengalami kusta dan akhirnya menjadi disabilitas akibat terlambat ditangani, mereka tak bisa menyembunyikan ekspresi negatif, entah ngeri, entah jijik. Mereka sangat tidak menganjurkan kami untuk dekat-dekat dengan orang kusta karena takut kami tertular.
Lebih parah lagi, kusta atau kandala seringkali dijadikan kata serapah bahkan ancaman bagi orang-orang yang dianggap melanggar janji atau berkata bohong. Misalnya, ketika ada yang menyampaikan sebuah informasi, lantas si penerima informasi itu, lantaran tidak percaya, akan mengatakan, "Kandala`ko [bila berdusta]" yang bermakna, "Kau akan terkena kusta [jika berdusta]." Kemudian untuk menyatakan kesungguhannya, si pemberi informasi akan menjawab, "Kandala`ka`" yang maknanya, "Saya akan terkena kusta [bila berdusta]." Kusta seolah menjadi hukuman terberat bagi seseorang yang berbuat ingkar.
Tidak dapat dipungkiri, stigma terhadap penyakit kusta dan penyandangnya memang telah ada sejak ribuan tahun lampau. Penduduk Nusantara yang katanya terkenal agamis tentu tidak asing dengan berbagai kisah tentang penyandang kusta dalam kitab suci. Di sana kerap ditemukan kisah penderita kusta yang dikucilkan masyarakat sehingga menjadi warga marginal dan sarat diskriminasi. Anehnya, sampai zaman kiwari, stigma itu tidak juga sirna, padahal sejatinya penyakit ini tidak berbahaya asalkan diobati sejak dini. Obatnya pun tersedia gratis di Puskesmas.
Pandangan dan pemahaman yang keliru ini ternyata tidak mudah hilang. Stigma itu masih melekat pada diri seseorang meski yang bersangkutan telah sembuh total dari kusta sehingga disebut sebagai orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), bukan lagi pasien.
Dalam sebuah gelar wicara yang diselenggarakan oleh jaringan radio KBR menyambut peringatan Hari Kusta Sedunia alias World Leprosy Day (WLD) 2022, seorang OYPMK bernama Al Qadri mengisahkan kegetiran hidup para penyandang kusta ataupun OYPMK di daerahnya di Sulawesi Selatan.
"Di kampung saya itu [perkampungan kusta], yang
perempuan tidak ada [orang luar] yang mau melamar, yang laki-laki tidak ada
yang mau terima lamarannya," ungkap Wakil Ketua Perhimpunan
Mandiri Kusta Nasional ini dalam acara Siaran Ruang Publik KBR bertajuk
"Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya", Rabu (26/1).
Masih banyak contoh lain yang dikisahkan Al Qadri tentang diskriminasi yang dialami para OYPMK dalam berbagai bidang seperti pendidikan, pekerjaan, politik, bahkan agama. "Kami [OYPMK] itu dilarang salat berjamaah di masjid karena takut menulari yang lain."
Sampai saat ini, jumlah kasus kusta di Indonesia memang masih cukup tinggi. "Kalau melihat persebaran secara global, Indonesia masih ada di peringkat tiga dengan jumlah kasus penyakit kusta tertinggi setelah India dan Brazil. Ini tentu tidak membanggakan," ujar Technical Advisor Netherland Leprosy Relief (NLR) Indonesia, Astri Ferdiana, di acara yang sama.
Melansir laman Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI (29/1/2021), Indonesia menyumbang 8 persen dari keseluruhan kasus kusta di dunia. Hingga 13 Januari 2021, tercatat sebanyak 26 provinsi dan 401 kabupaten/kota mencapai eliminasi ditandai dengan angka prevalensi kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk.
Meskipun demikian, masih banyak kantong-kantong kusta di berbagai wilayah di Indonesia. Sebanyak 9.061 kasus baru kusta ditemukan di Indonesia. Angka ini menurun dibanding penemuan kasus kusta dalam beberapa tahun terakhir, yaitu berkisar 16.000-18.000 kasus baru per tahun. Penurunan itu bisa jadi disebabkan kurangnya penelusuran selama pandemi COVID-19.
Memperingati Hari Kusta Sedunia tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat tema "United for Dignity" atau "Bersatu untuk Martabat". WLD yang diperingati setiap hari minggu terakhir bulan Januari dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini dan menyerukan kepada setiap orang untuk menghormati martabat OYPMK karena mereka pun punya hak dan kesempatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya.
Tentu yang paling penting adalah melenyapkan kepercayaan masyarakat terhadap mitos tentang penyakit kusta. Mengutip laman siloamhospitals.com (22/7/2021), berikut sejumlah mitos dan fakta mengenai kusta:
MITOS: Penyakit Kutukan dan Turun Temurun.
Faktanya, kusta disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium leprae.
MITOS: Mudah Menular.
Faktanya, kusta tidak akan mudah menular kecuali jika Anda melakukan kontak berulang dengan penderita. Banyak yang percaya bahwa kusta dapat menular dengan mudah karena penyebarannya bisa melalui udara, tetapi itu salah besar. Anda baru akan tertular kusta jika terbukti melakukan kontak langsung yang berulang dengan penderita seperti penggunaan pakaian atau handuk bersama.
MITOS: Tidak Dapat Disembuhkan.
Faktanya, penderita kusta dapat sembuh secara total jika mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Dengan terapi multiobat (Multi Drug Therapy/MDT) dan diawasi langsung oleh dokter, kusta dapat disembuhkan secara total.
MITOS: Tidak Menimbulkan Komplikasi Serius.
Faktanya, kusta yang tidak segera ditangani dapat memicu beberapa komplikasi serius, termasuk kerusakan organ. Jika tidak ditangani dengan segera, pasien akan berisiko besar mengalami komplikasi kesehatan yang serius seperti kerusakan saraf, kemunduran fungsi penglihatan, hingga cacat permanen di beberapa bagian tubuh.
Dari penjelasan di atas, simpulan yang dapat diambil adalah bahwa stigma yang masih terus melekat kepada OYPMK sama sekali tidak berdasar. Mereka bukan lagi pasien, mereka telah sembuh total. Yang masih berstatus pasien pun tidak perlu dijauhi dengan semena-mena karena justru dapat menghambat upaya penyembuhan. Proses pengobatan kusta membutuhkan waktu lama, 6-12 bulan. Untuk itulah mereka perlu dukungan orang-orang di sekitar, misalnya dengan mengingatkan untuk tidak lupa mengonsumsi obat setiap hari.
Menurut Al Qadri, semasa menjadi pasien berpuluh tahun yang lalu, dia tetap tinggal serumah dengan keluarganya, makan bersama mereka, dan tidur sekamar dengan adik-adiknya. Namun, tak seorang pun dari mereka yang tertular. Kedua anaknya pun, yang kini telah dewasa, tidak mengidap kusta meski lahir dari ayah dan ibu yang merupakan OYPMK.
Oleh karena itu, mari hapus berbagai stigma yang selama ini telanjur kita lekatkan pada penyandang kusta meski penyakit itu sendiri telah lenyap dari mereka.