Tingginya angka penularan HIV di
masyarakat serta stereotipe yang melekat pada penderita HIV, seperti dianggap
memiliki penyakit kutukan atau dapat menularkan virus mematikan jika berada
pada jerak dekat, membuat keluarga dan masyarakat merasa terancam, cemas, dan
khawatir jika berdekatan dengan pengidap HIV. Hal ini memicu prasangka negatif
dari keluarga dan masyarakat, yang berujung pada perilaku buruk, seperti
'membuang' penderita ke lembaga rehabilitasi sosial, tidak mendampingi saat
sakit, tidak mengizinkan pemakaman dekat lingkungan mereka, hingga pengucilan
jenazah penderita HIV.
Integrated Threat Theory atau teori ancaman terpadu menyatakan
bahwa kecemasan memicu penggunaan stereotipe dan mengurangi kemampuan untuk
membedakan anggota dari kelompok lain (Fiske & Taylor, 2017). Dalam konteks
ini, stereotipe seperti penyakit kutukan atau aib sosial menimbulkan kecemasan
bagi keluarga dan masyarakat, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk
memperlakukan anggota keluarga dengan HIV secara layak. Ancaman berfungsi
sebagai perantara antara anteseden, situasi langsung, dan kecemasan.
Anteseden mencakup tingginya angka kasus
HIV, berita tentang HIV yang mematikan, serta stereotipe yang melekat pada
penderita HIV. Situasi langsung adalah kehadiran anggota keluarga dengan HIV
yang menimbulkan kecemasan di kalangan keluarga dan masyarakat. Ancaman ini
terbagi menjadi ancaman simbolik dan ancaman nyata. Ancaman simbolik meliputi
ancaman terhadap nilai-nilai sosial, di mana keluarga dan masyarakat menganggap
penderita HIV sebagai aib yang merusak norma-norma sosial karena dianggap
melakukan perilaku tidak terpuji hingga terinfeksi HIV. Sedangkan ancaman nyata
seperti adanya penderita HIV di sekitar masyarakat yang dapat memberikan resiko
tertular penyakit HIV, meskipun penularannya tidak semudah yang dipersepsikan
oleh masyarakat.
Berdasarkan teori ini, prejudice
attitude yang ditampilkan oleh keluaga dan masyarakat terhadap anggota
keluarga penderita HIV diakibatkan karena kecemasan, yaitu sebuah emosi negatif
sebagai respons terhadap ancaman penularan penyakit HIV serta penilaian bahwa
penderita HIV telah merusak nilai serta norma yang ada di lingkungan
masyarakat. Teori ini erat kaitannya dengan tingginya stigma pada penderita HIV
dan orang-orang di sekitarnya di mana menurut teori stigma tentang penerapan kerangka
kerja stigma HIV, stigma muncul melalui tiga mekanisme berbeda, yakni stereotipe,
prejudice dan diskriminasi. (Earnshaw & Chaudoir dalam Earnshaw,
2012). Stereotipe adalah keyakinan kelompok tentang orang dengan HIV yang
melekat pada individu penderita HIV; prasangka digambarkan sebagai emosi
negatif yang dirasakan terhadap orang dengan HIV; serta diskriminasi yang
merupakan manifestasi kognitif, afektif dan perilaku dari stigma HIV.
(Earnshaw, 2012).
Menurut teori ancaman terpadu, terdapat
konsep antecedents predict threats plus anxiety and stereotypes, which
predict prejudiced attitudes bahwa ada rantai sebab akibat sederhana yang
dapat menjadi penyebab munculnya sikap penuh prasangka yang terjadi pada
individu (Fiske & Taylor, 2017). Konsep ini adalah anteseden, dimediasi
oleh ancaman, kemudian menghasilkan konsekuensi. Anteseden dalam kasus ini
adalah relasi antara klien dan keluarganya yang kurang baik, perbedaan kondisi
dimana klien mengalami penyakit HIV, dimensi budaya yang menganggap bahwa HIV
merupakan aib yang harus dijauhi serta situasi langsung di mana kondisi anggota
keluarganya telah terkena HIV dan pada akhirnya meninggal dunia. Sedangkan
ancaman yang memediasi adalah ancatan nyata berupa resiko penularan HIV serta ancaman
simbolik berupa terganggunya nilai dan norma yang ada di masyarakat terkait
keberadaan penderita HIV di lingkungan mereka.
Anteseden dan ancaman ini menghasilkan
sebuah konsekuensi yaitu reaksi psikologis (merasa cemas, takut, khawatir akan
keberadaan penderita HIV) serta reaksi perilaku yang ditampilkan keluarga dan
masyarakat yaitu menitipkan klien ke lembaga rehabilitasi, tidak mau merawat
klien, mengabaikan anggota keluarga penderita HIV yang mengalami sakit dan
kritis, sampai pada tindakan diskriminasi seperti melarang penderita HIV berada
di lingkungan mereka bahkan melarang jenazah penderita HIV untuk dikebumikan di
tempat mereka karena dianggap dapat menularkan penyakit berbahaya dan
mencederai nilai dan norma sosial yang dianut di masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori ancaman terpadu, sikap prasangka yang ditunjukkan oleh keluarga merupakan
hasil dari anteseden yang bertemu dengan stereotipe dan kecemasan, yang muncul
akibat ancaman, sehingga berujung pada sikap prasangka dan perilaku
diskriminatif terhadap penderita HIV. Skema ini juga menjelaskan bagaimana
stigma berkembang melalui prasangka, stereotipe, dan perilaku diskriminatif
yang mempertahankan stigma di masyarakat. (Arlette, et.al. 2023).
Harapannya, seiring
masifnya penyebaran informasi tentang hak-hak orang dengan HIV serta proses
pencegahan dan penularannya, stereotipe terhadap ODH dapat berkurang, kecemasan
di masyarakat menurun, dan sikap diskriminatif terhadap penderita HIV dapat
dihapus.